Nyepi dan Ramadhan Jadi Momentum Memperkuat Toleransi di Lombok
Pawai Ogoh-ogoh dan Nyepi yang bersamaan dengan Ramadhan, diharapkan perkuat toleransi umat beragama di NTB.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Pawai ogoh-ogoh untuk menyambut hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946, digelar di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (10/3/2024). Penyelenggaraannya yang berdekatan dengan Ramadhan bagi umat Islam, diharapkan jadi momen memperkuat toleransi umat beragama di NTB.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pawai ogoh-ogoh berlangsung di kawasan Jalan Pejanggik, Kota Mataram. Menurut data panitia, total ada 103 ogoh-ogoh. Jumlahnya lebih sedikit dari tahun sebelumnya, yakni 180 ogoh-ogoh. Selain dari Mataram, ogoh-ogoh tersebut dari Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Meski demikian, baik peserta maupun masyarakat terpantau antusias. Sejak Sabtu malam, para peserta telah membawa ogoh-ogoh mereka ke lokasi acara di Jalan Pejanggik. Sebelum dibawa, ada prosesi sembahyang di banjar masing-masing.
Sejak Minggu pukul 10.00 Wita, jalur utama pawai ogoh-ogoh juga ditutup untuk umum. Hal itu untuk memudahkan kelancaran pawai sekali setahun tersebut. Warga yang menonton, bisa menggunakan gang-gang yang terhubung ke jalur utama yang ditutup.
Sesuai jadwal, pawai ogoh-ogoh berlangsung pukul 12.00-16.00 Wita. Tetapi sejak pukul 10.00 Wita, warga yang ingin menonton sudah tiba di lokasi. Kepadatan semakin terasa setelah pukul 13.00 Wita.
Setelah dilepas secara resmi, pawai dimulai. Ogoh-ogoh yang sudah menunggu dan mendapat giliran, kemudian diarak melewati Jalan Pejanggik. Saat berada di depan panggung utama, mereka menyuguhkan atraksi.
Atraksi itu berupa gerakan memutar ogoh-ogoh sambil diiringi alat musik tradisional. Para anggota banjar yang membawa ogoh-ogoh, sesekali meneriakkan yel-yel masing-masing.
Warga yang datang untuk menonton, terlihat bergembira atau bertepuk tangan setiap atraksi selesai. Mereka juga tidak ingin melewatkan momen itu. Sehingga langsung mengambil ponsel pintar dan mengabadikannya dalam bentuk foto atau video.
”Senang sekali bisa menyaksikan ogoh-ogoh lagi tahun ini. Ogoh-ogohnya juga bervariasi. Selain itu, pawai berjalan lancar dan damai, tidak ada keributan,” kata Junaidi (33), warga Cakranegara, Kota Mataram.
Selain warga lokal, terpantau juga wisatawan mancanegara yang datang menyaksikan pawai ogoh-ogoh tersebut.
Hingga pawai berakhir pada Minggu sore, suasana terjaga di bawah pengamanan ketat dari aparat kepolisian dan TNI. Sempat turun hujan sekitar pukul 15.30 Wita, tetapi semarak pawai ogoh-ogoh tetap terjaga.
”Kita bisa lihat sendiri euforia masyarakat. Sangat bergembira karena bisa pawai ogoh-ogoh lagi. Semoga tahun-tahun berikutnya makin meriah,” kata I Gusti Bagus Sueca (25), Pembina Sekka Teruna Teruni (STT) Eka Cita Padma Karang Sidemen Kota Mataram.
Menurut Gusti, kegembiraan itu sudah terasa khususnya di STT mereka sejak mulai mengerjakan ogoh-ogoh pada Desember lalu. Ogoh-ogoh yang mereka tampilkan adalah konsep ”Waringin Sungsang” atau salah satu ilmu pengleakan di Bali.
Ketua STT Dharma Yasa Tohpati Cakranegara Ida Bagus Grand (23) juga mengaku senang bisa mengikuti ogoh-ogoh tahun ini. Keterlibatan mereka, kata Bagus, adalah bagian dari upaya melestarikan adat budaya leluhur.
Tahun ini, mereka membuat ogoh-ogoh berdasarkan cerita ”Dadong Guliang” di Klungkung, Bali. ”Kami kerjakan dua bulan. Sejak Januari. Memang susah membuatnya, tetapi tim sangat kompak sehingga bisa menyelesaikannya,” kata Bagus.
Toleransi
Dalam catatan Kompas, Ogoh-ogoh disimbolkan dengan makhluk seram yang pada akhirnya dimusnahkan. Hal itu melambangkan setiap diri individu di alam semesta yang selain punya sifat baik, juga punya buruk.
Pawai Ogoh-ogoh adalah salah satu rangkaian Hari Raya Nyepi. Sebelumnya, umat Hindu juga menggelar upacara Melasti yang di Lombok digelar pada Rabu (6/3/2024) lalu.
Setelah pawai ogoh-ogoh, Umat Hindu melaksanakan Tawur Agung Kesanga atau Upacara Sakral sebagai simbolisasi untuk meninggalkan segala sifat buruk ini kembali ke jati diri kita sebagai masyarakat Hindu kepada kebaikan. Pada upacara ini, ogoh-ogoh biasanya dibakar untuk menutup rangkaian kegiatan Umat Hindu sebelum Catur Brata Penyepian.
Semoga tidak terjadi pergesekan antarumat beragama. Itu yang paling kita takuti di hari raya. Semoga di NTB dan khusus di Mataram, selalu damai dan rukun
Catur Brata Penyepian adalah empat pantangan bagi umat Hindu selama Nyepi, yaitu amati karya (larangan bekerja), amati geni (larangan menyalakan api atau lampu), amati lelungan (larangan bepergian), dan amati lelanguan (larangan bersenang-senang).
Gusti dan Bagus sama-sama berharap, Nyepi bisa menjadi momen untuk mempererat hubungan antar umat beragama. Apalagi bersamaan dengan dimulainya puasa Ramadhan bagi umat Islam. “Semoga umat beragama semakin memperkuat toleransi,” kata Bagus.
“Semoga tidak terjadi pergesekan antarumat beragama. Itu yang paling kita takuti di hari raya. Semoga di NTB dan khusus di Mataram, selalu damai dan rukun,” tambah Gusti.
Berdasarkan hasil pengataman hilal di Mataram, kemungkinan besar 1 Ramadhan akan jatuh pada Selasa (13/3/2023). Sehingga pada Senin malam atau saat Umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian, umat Islam memulai terawih pertama.
Terkait hal itu, Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Islam Kanwil Kemenag RI Provinsi NTB Azharuddin mengatakan, Kepala Kanwil telah mengumpulkan seluruh tokoh dan instansi terkait.
Dalam pertemuan itu, disepakati untuk saling menghormati penyelenggaraan kegiatan keagamaan yang berdekatan. Dalam hal ini hari raya Nyepi dan Ramadhan.
”Kampung yang berbatasan, misalnya Lombok Barat dan Mataram, yang mayoritas atau banyak Hindu dan Muslim, kita berharap saling menghomati dan menjaga kegiatan-kegiatan antar umat beragama. Supaya daerah kita tetap tenang aman dan kondusif," kata Azharuddin.