Ziarah Kubro, Tradisi Refleksi Diri Menyambut Ramadhan
Peserta ziarah kubro di Palembang diharapkan bisa meneladankan ulama dan umara terdahulu untuk memberikan keberkahan.
Setiap 10 hari menjelang Ramadhan, sebagian warga Palembang, Sumatera Selatan, membaur melaksanakan tradisi ziarah kubro alias ziarah mengunjungi makam sejumlah ulama dan umara/pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam (abad XVII-XIX). Tradisi tahunan yang identik dengan budaya komunitas Arab ini menjadi sarana refleksi diri untuk menyambut Ramadhan.
Di antara ribuan orang bersorban ataupun peci dan berjubah putih yang mengikuti rangkaian hari terakhir ziarah kubro di Palembang, Minggu (3/3/2024), terselip sosok dengan paras berbeda dibandingkan peserta lain yang mayoritas berperawakan Timur Tengah. Sosok itu adalah Haji Sulaiman alias Haji Abok alias Huang Ching Lai (58), warga Palembang keturunan Tionghoa.
Baca juga: Ziarah Kubro, Tradisi Masyarakat Arab-Palembang Menyambut Ramadhan
Haji Abok menjadi mualaf sejak tahun 1988. Panggilan hati yang mengantarkannya memeluk Islam. Setelah itu, dia berusaha menjadi Muslim yang kafah (total) dan aktif mengikuti kegiatan religius, termasuk yang sering diselenggarakan warga Palembang keturunan Arab.
Salah satunya, Haji Abok aktif mengikuti ziarah kubro dalam 10 tahun terakhir. Meski cenderung berbeda, Haji Abok tidak canggung menjalani tradisi yang konon sudah ada sejak era Kesultanan Palembang Darussalam tersebut. Bahkan, dia dianggap saudara oleh peserta lain yang didominasi warga keturunan Arab.
Acap kali berpapasan dengan teman-teman keturunan Arab, Haji Abok langsung mendapatkan sapaan akrab, salam, dan pelukan hangat. Beberapa orang malah berusaha mencium tangan Haji Abok, tetapi dia buru-buru menepisnya sebagai tanda berbalas hormat.
”Walau berbeda latar belakang suku atau etnik, di sini, kami dipersatukan sebagai saudara sesama Muslim. Maka itu, saya tidak merasa asing setiap mengikuti kegiatan ini,” ujar Haji Abok yang juga Ketua Pengurus Masjid Muhammad Cheng Ho Palembang.
Walau berbeda latar belakang suku atau etnik, di sini, kami dipersatukan sebagai saudara sesama Muslim. Maka itu, saya tidak merasa asing setiap mengikuti kegiatan ini.
Secara pribadi, Haji Abok menganggap ziarah kubro bukan sekadar kegiatan mengunjungi makam. Bagi dia, ziarah kubro adalah sarana refleksi diri sebelum menyambut Ramadhan. Itu karena ziarah kubro diisi dengan kegiatan berkumpul bersama ulama, ceramah, pengajian, dan mengenang jasa para ulama ataupun umara terdahulu. ”Semua kegiatan itu membuat saya merasa semakin dekat dengan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW,” katanya.
Animo masyarakat
Selama pelaksanaan, ziarah kubro diikuti oleh para ulama, habib (keturunan Nabi Muhammad SAW), dan muhibbin (orang saleh). Barisan terdepan adalah pemegang bendera panji-panji Islam dan penabuh rebana yang memimpin lantunan shalawat (pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW). Barisan tengah adalah para ulama dan habib yang dinaungi payung-payung kuning khas Palembang. Barisan terakhir adalah para muhibbin ataupun peserta umum.
Semua peserta adalah laki-laki. Saat rombongan melintasi jalanan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya, kaum perempuan hanya bisa melihat dan mendokumentasikan dari pinggir jalan ataupun rumah. Selain itu, tak sedikit warga yang bergotong royong menyediakan makanan dan minuman ringan secara gratis untuk peserta di sejumlah tempat.
Sebagaimana penjelasan Haji Abok, ziarah kubro berkembang untuk semua pemeluk Islam dengan latar belakang etnik apa pun. Didukung publikasi yang semakin baik, gaung ziarah kubro menyedot peserta bukan hanya dari Palembang ataupun Sumsel, melainkan dari sejumlah daerah lain di Indonesia hingga mancanegara, seperti dari Malaysia, Yaman, dan Arab Saudi.
Baca juga: Suasana Ziarah Kubra di Palembang
Tak pelak, jumlah peserta ziarah kubro terus bertambah dari tahun ke tahun. Dalam setiap penyelanggaraan, ribuan orang tumpah ruah mengikuti kegiatan tersebut. Sebagian besar peserta berdatangan secara kolektif, antara lain menggunakan perahu dan bus, serta sebagian lain secara individu.
Salah satu peserta dari luar Sumsel adalah Zainuddin Fanani (63) yang berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur. Zainuddin tampak bersemangat meski berjalan dengan ditopang tongkat kayu di antara ratusan orang yang berdesak-desakan menuju makam Sultan Mahmud Badaruddin I (berkuasa 1724-1757) di Kompleks Pemakaman Kesultanan Palembang Darussalam Kawah Tengkurep.
Zainuddin mengatakan, ini momen perdananya mengikuti ziarah kubro. Dia terkesan dengan antusiasme peserta yang begitu mencintai ulama dan umara di Palembang. Itu adalah bukti bahwa tatkala ulama menyampaikan kebenaran sesuai Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW serta umara yang amanah, mereka akan terus dicintai sepanjang zaman. ”Inilah hikmah ziarah kubro yang patut dijadikan teladan oleh ulama dan para pemimpin kita di zaman sekarang,” tuturnya.
Di samping itu, menurut Zainuddin, ziarah kubro adalah momen mempererat tali silaturahmi antarpemeluk Islam dengan latar belakang etnik yang beragam. Apalagi, ziarah kubro adalah salah satu kegiatan bernuansa Islam terbesar di Indonesia sehingga memungkinkan peserta berjumpa handai tolan yang lama tak bertemu ataupun berkenalan dengan orang-orang baru.
”Selain untuk memperkuat keimanan sebelum berjumpa Ramadhan, ziarah kubro adalah wadah mempererat persatuan umat Islam di Nusantara. Itulah sebabnya, terlepas dari Zirah Kubro di sini, sebagian orang Islam merasa kurang afdal kalau tidak melakukan ziarah ke makam keluarga, ulama, ataupun umara sebelum Ramadhan,” ujar Zainuddin yang berkerabat dengan Kesultanan Sambaliung di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Doa dan keberkahan
Sekretaris Panitia Ziarah Kubro Habib Rafiq Husin bin Syekh Abubakar menuturkan, ziarah kubro adalah pengejawantahan sunah Nabi Muhammad SAW. Kalau ziarah ke makam orangtua ataupun keluarga, tujuannya untuk mendoakan agar Allah SWT mengampuni dosa dan mengangkat derajat mereka.
Kalau ziarah ke makam ulama yang saleh dan umara yang amanah, tujuannya untuk mengambil berkah dari mereka. ”Dengan mendoakan ulama yang saleh dan umara yang amanah, kita berharap dikenal mereka agar kita mendapatkan keberkahan dari Allah SWT,” kata Rafiq.
Rafiq tidak tahu persis kapan ziarah kubro pertama kali dilakukan. Yang pasti, tradisi itu diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Akan tetapi, tradisi itu tidak eksklusif untuk warga keturunan Arab. Hanya saja, kebetulan, banyak ulama dan murid-muridnya yang keturunan Timur Tengah. Mereka pun menziarahi makam umara karena berdampingan dengan makam ulama.
Baca juga: Ziarah Kubro, Tradisi Khas Palembang
”Di masa lalu, ulama dan umara tidak bisa dipisahkan. Sebagai contoh, Sultan Mahmud Badaruddin I adalah hafiz Al-Quran dan paham persoalan agama. Kendati demikian, dalam kepemimpinannya, dia tetap tidak melepaskan peran ulama. Bahkan, dia berwasiat agar di samping makamnya harus ada makam ulama yang mendampingi selama hidupnya,” tutur Rafiq.
Seiring adanya usulan dari para ulama, zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, dan Pemerintah Palembang yang genjar mengembangkan sektor pariwisata, ziarah kubro mulai dikelola lebih profesional mulai 2003. Panitia tidak hanya mengundang ulama, habib, dan muhibbin di Palembang ataupun Sumsel, tetapi juga di sejumlah daerah di Indonesia hingga mancanegara.
Tamu dari luar yang rutin datang umumnya dari Jakarta, sejumlah daerah di Jawa dan Kalimantan, Malaysia, Yaman, dan Arab Saudi. Tahun ini, panitia mengundang beberapa ulama dari luar, seperti Asy Syaikh Umar bin Husein al-Khatib dari Hadramaut (Yaman), Habib Ali bin Abdullah al-Aydrus dari Tarim (Yaman), Habib Ridho bin Yahya dari Jakarta, dan Habib Abubakar bin Abdulkodir Maula Dawileh dari Malang (Jawa Timur).
”Oleh karena itu, ziarah kubro tidak hanya kegiatan mendoakan para ulama dan umara terdahulu yang banyak berjasa dalam penyebaran Islam, tetapi juga sebagai ajang silaturahmi atau bermaaf-maafan sebelum Ramadhan. Sebab, di momen ini, banyak tamu adalah keluarga ataupun kerabat dari luar kota yang mungkin lama tak berjumpa,” ucap Rafiq.
Baca juga: Tradisi Sambut Bulan Suci
Jadwal kegiatan
Jadwal pelaksanaan ziarah kubro pun dikemas lebih proporsional. Semula, ziarah kubro dilakukan setiap hari Ahad (Minggu) pada 10 hari terakhir bulan Syakban. Agendanya terdiri dari Haul Al-Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan Al-Habib Abdurrahman bin Hamid di Kampung Sungai Bayas, ke Pemakaman Pangeran Syarif Ali bin Syekh Abubakar di belakang RS Pelabuhan Boom Baru Palembang, Kawah Tengkurep, dan Pemakaman Auliya Kambang Koci di tengah Pelabuhan Peti Kemas Pelabuhan Boom Baru.
Kemudian, ada ziarah lain yang dilakukan pada Jumat dan Sabtu terakhir sebelum Ramadhan. Agendanya meliputi Rauhah dan Haul Ad-Da’i Ilallah Al-Habib Ahmad bin Abdullah al-Habsyi di Pondok Pesantren Ar-Riyadh pada Jumat.
Pada hari Sabtu ada pembacaan kasidah burdah di rumah Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Habsyi di Kampung Al-Habsyi, ke Pemakaman Auliya dan Habaib Telaga Sewidak, serta ke Pemakaman As-Seggaf dan Haul Al-Habib Abdurrahman bin Alwi As-Seggaf di Kompleks As-Seggaf.
Haul Al-Fiqihil Muqqadam Tsani al-Imam al-Habib Abdurahman as-Segaf di Kampung Al-Munawwar yang menjadi agenda terakhir di hari Sabtu. ”Sejak zaman nenek moyang kami hingga sekarang, rute ziarah kubro tidak pernah berubah,” kata Rafiq.
Sejak 2006/2007, ziarah kubro dilakukan selama tiga hari secara berturut-turut dari Jumat hingga Minggu dengan agenda yang sama. ”Tujuannya untuk mengakomodasi para peserta dari luar Palembang yang ingin mendapatkan rangkaian kegiatan secara penuh dalam waktu mereka yang terbatas,” ungkap Rafiq.
Selain sebagai kegiatan keagamaan, ziarah kubro merupakan wujud hubungan harmonis antara ulama dan umara, kecintaan masyarakat kepada orang-orang saleh dan pemimpin amanah, serta jejak puncak kejayaan Islam di Palembang.
Pemerhati sejarah sekaligus budayawan Sumatera Selatan, Febri Irwansyah, mengatakan, ziarah kubro sejatinya tradisi yang dibawa warga keturunan Arab di Palembang yang berasal dari Hadramaut. Tradisi itu boleh jadi ada sejak lama di Palembang seiring berkembangnya Islam di sana, terutama di era Kesultanan Palembang Darussalam. Terbukti, ada perkampungan Arab di Palembang, antara lain Kampung Al-Munawwar dengan rumah tertua telah berusia 300-an tahun.
Tingginya animo masyarakat mengikuti ziarah kubro, termasuk dari luar Palembang, tidak lepas dari pengaruh perkembangan Islam di ”Bumi Sriwijaya”. Di era keemasannya antara abad XVIII dan XIX, Kesultanan Palembang Darussalam melejit sebagai salah satu kerajaan terkaya di Nusantara berkat dominasi dalam perdagangan rempah dan timah.
Berkat itu, Palembang semakin banyak dikunjungi pendatang, khususnya ulama dari Timur Tengah, sehingga Palembang pernah menjadi salah satu pusat pengajaran Islam di Nusantara.
”Selain sebagai kegiatan keagamaan, ziarah kubro merupakan wujud hubungan harmonis antara ulama dan umara, kecintaan masyarakat kepada orang-orang saleh dan pemimpin amanah, serta jejak puncak kejayaan Islam di Palembang,” ujar Febri yang bernama pena Vebri Al-Lintani.
Penjabat Wali Kota Palembang Ratu Dewa menuturkan, ziarah kubro telah menjadi atraksi wisata andalan di Palembang setiap tahun. Efeknya bisa membantu mengangkat perekonomian karena meningkatnya keterisian hotel dan penjualan di restoran.
Lebih dari itu, ribuan hingga puluhan ribu orang yang mengikuti ziarah kubro diharapkan bisa meneladankan ulama dan umara yang didoakan untuk memberikan keberkahan kepada masyarakat secara luas.