Tidak Perlu Memaksa, Dampingi Anak Berpuasa dengan Penuh Kehangatan
Mengajarkan anak untuk berpuasa sejak dini sangat baik dilakukan. Namun, pastikan itu tidak dilakukan dengan paksaan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bulan Ramadhan telah tiba. Puasa pun telah dimulai. Meski belum wajib, mulai mengenalkan dan mengajarkan anak untuk berpuasa sejak dini baik untuk dilakukan. Dengan melatih anak berpuasa sejak dini, anak diharapkan bisa terbiasa melakukannya hingga usia dewasa.
Namun, tidak sedikit orangtua yang kesulitan mengajarkan anak untuk pertama kali berpuasa. Persiapan pun bisa dilakukan agar puasa tidak menjadi beban, baik bagi orangtua maupun anak.
Psikolog klinis anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menuturkan, perkenalan puasa pada anak bisa dilakukan sedini mungkin.
Belajar berpuasa dapat dimulai dari observasi atau pengamatan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Hal itu mulai dari mengamati orangtua yang bangun untuk sahur ataupun melihat orangtuanya yang tidak makan dan minum saat berpuasa.
”Untuk mencoba berpuasa, biasanya bisa dimulai sejak usia 4-5 tahun. Tentu dengan aturan yang lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kemampuan anak, misalnya puasa hanya beberapa jam atau puasa setengah hari saja,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (12/3/2024).
Vera menjelaskan, tidak ada tahapan yang perlu dilakukan secara khusus oleh orangtua ketika pertama kali mengenalkan puasa pada anak. Setiap keluarga bisa memiliki tahapan masing-masing sesuai dengan nilai dan kebiasaan yang dilakukan. Tahapan tersebut juga bisa disesuaikan dengan kemampuan setiap anak.
Pelibatan anak dalam aktivitas yang khas dengan Ramadhan juga termasuk tahap awal perkenalan atau pembiasaan anak mengenai puasa. Kebiasaan itu bisa dimulai dengan kegiatan sederhana, seperti turut melibatkan anak ketika menyiapkan menu buka puasa.
”Yang terpenting, tidak perlu memaksa anak ketika mengajarkan berpuasa. Tunjukkan bagaimana puasa dengan penuh kenikmatan dan ketenangan. Dengan begitu, anak-anak bisa tertarik untuk melakukannya dengan sendirinya. Anak belajar utamanya dari contoh. Orangtua perlu mencontohkan bagaimana tetap beraktivitas selama puasa,” tuturnya.
Yang terpenting, tidak perlu memaksa anak ketika mengajarkan berpuasa. Tunjukkan bagaimana puasa dengan penuh kenikmatan dan ketenangan.
Hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diperhatikan orangtua ketika mengajarkan anak untuk berpuasa adalah membangun suasana puasa sebagai sesuatu yang dijalani dengan riang gembira, bukan sebagai beban.
Puasa perlu dibangun sebagai sesuatu yang penuh dengan kehangatan keluarga. Suasana yang baik ini amat penting karena anak akan terpengaruh oleh suasana yang dirasakannya.
Melatih berpuasa pada anak memiliki berbagai manfaat yang baik. Selain manfaat spiritual, berpuasa juga mengajarkan anak untuk bisa menahan diri, mengendalikan emosi, serta belajar untuk berbagi. Dengan berpuasa, anak juga bisa belajar mengenai kesederhanaan dengan tidak makan berlebihan saat berbuka.
Dengan berpuasa, kebersamaan keluarga juga bisa lebih terbangun dengan baik. ”Anak juga belajar untuk berempati pada orang lain, termasuk dengan orang non-Muslim yang tidak berpuasa,” kata Vera.
Sementara Rini Sekartini, Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, dalam artikel yang diunggah di laman resmi FKUI memaparkan, melatih anak untuk berpuasa sejak dini dapat menjadi tantangan bagi orangtua. Sebab, anak yang pertama kali puasa akan sulit menahan rasa lapar ataupun haus.
Pada usia prasekolah, daya tangkap anak masih lebih banyak dipenuhi dengan imajinasi. Anak pun belum dapat membayangkan manfaat dari berpuasa. Meski begitu, orangtua diharapkan tetap bisa memberikan contoh bagaimana berpuasa dengan baik. Orangtua juga perlu memperhatikan saat anak tidak makan dan minum ketika sedang belajar berpuasa.
”Karena durasi puasa untuk satu hari lebih kurang 13 jam dari sahur hingga azan Maghrib, jika anak merasa lemas dan tidak aktif, cukup berpuasa setengah hari dari sahur. Namun, kalau anak mampu bisa diteruskan. Jangan juga dipaksakan hingga anak tidak melakukan aktivitas apa-apa atau tiduran saja,” ungkap Rini.
Nutrisi
Rini menambahkan, hal yang perlu diperhatikan pula ketika mengajarkan anak berpuasa adalah asupan gizi yang dikonsumsi ketika sahur dan berbuka. Pola menu yang seimbang tetap harus diberikan saat sahur, mulai dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air.
Asupan protein menjadi sangat penting. Jika perlu, asupan protein bisa diberikan dengan dua menu, misalnya telur dan daging. Sementara porsi sayur dan buah pada anak dapat dikurangi sehingga lebih banyak konsumsi protein dan karbohidrat. Selain itu, air mineral perlu dikonsumsi lebih banyak. Air mineral lebih baik untuk dikonsumsi dibandingkan minuman dengan kandungan gula tinggi.
Selain asupan makanan, waktu tidur anak perlu diperhatikan. Tidur siang sangat dianjurkan agar anak tidak kekurangan waktu tidur. Tidur siang bisa dilakukan sekitar 30 menit hingga satu jam.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan, ketika menyajikan menu sahur dan berbuka, sebaiknya hindari makanan siap saji atau junk food. Pemberian mi instan juga perlu dihindari.
Jenis makanan tersebut mengandung karbohidrat tinggi yang dapat memicu kadar gula dalam darah. Selain berbahaya bagi kesehatan, makanan dengan kadar gula tinggi juga lebih cepat menimbulkan rasa lapar.
”Makanan yang dikonsumsi anak ketika berpuasa harus diperhatikan. Pastikan asupan nutrisinya tetap terpenuhi sehingga anak tidak mengalami malanutrisi. Protein hewani menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam menu makan anak,” ucapnya.