International Women's Day, Bagaimana Semuanya Bermula?
International Women's Day diawali masuknya perempuan ke dunia industri dan perlakuan tidak adil yang mereka terima.
JAKARTA, KOMPAS - Bagaimana International Women's Day yang diperingati perempuan sedunia pada tanggal 8 Maret ini bermula? Semua berawal dari Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-18.
Fase ini mengubah secara fundamental sistem produksi barang dari yang tadinya manual berganti dengan mesin. Lalu, pabrik-pabrik pun berdiri.
Berdirinya pabrik diikuti kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah banyak dan bisa diupah dengan murah. Perempuan yang tadinya terkungkung dalam rumah jadi punya kesempatan untuk bekerja di ruang publik.
“Zaman industrialisme di Eropa menghela perempuan keluar dari kegelapan rumah, masuk ke dalam struggle for life produksi masyarakat,” demikian Bung Karno melukiskan zaman itu dalam bukunya Sarinah, Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.
Baca juga : Berinvestasi Pada Perempuan, Mempercepat Kemajuan
Baca juga : International Women's Day dan Keterwakilan Perempuan Indonesia
Baca juga : Perempuan Indonesia Lebih Banyak Mengakses Pendidikan Tinggi daripada Laki-laki
Berkecimpungnya perempuan di ranah industri telah menyadarkan dan membuka mata mereka akan kondisi yang tidak adil. Mereka mendapat upah tidak layak dengan jam kerja yang panjang. Mereka mengalami diskiriminasi karena sangat terbatasnya kesempatan untuk menempati jabatan publik. Dalam politik, suara mereka nyaris tak terdengar.
Mengutip situs International Women's Day, awal mulai Hari Perempuan Internasional dimulai dari ekspansi dan turbulensi besar-besaran di negara industri sejak dimulainya revolusi industri. Dampak besar revolusi industri menimbulkan efek lain yakni pertumbuhan populasi perkotaan yang pesat dan munculnya ideologi radikal.
Pada tahun 1908, 15.000 perempuan berunjuk rasa di Kota New York Amerika Serikat menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, dan hak memilih.
Setahun berikutnya, Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional yang pertama untuk diperingati di seluruh Amerika Serikat pada tanggal 28 Februari. Selanjutnya sampai tahun 1913, perempuan di AS memperingati Hari Perempuan Nasional pada hari Minggu terakhir bulan Februari.
Sementara itu di Eropa, pada tahun 1910, diadakan Konferensi Internasional Perempuan Pekerja yang kedua di Kopenhagen Denmark. Seorang aktivis buruh perempuan bernama Clara Zetkin yang juga pimpinan urusan perempuan pada Partai Sosial Demokrat di Jerman mengemukakan gagasan tentang Hari Perempuan Internasional.
Zetkin mengusulkan agar setiap tahun di setiap negara diadakan perayaan di hari yang sama yakni Hari Perempuan. Perayaan ini untuk mendesak tuntutan perempuan pekerja. Konferensi yang dihadiri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara, yang mewakili serikat pekerja, dan aktivis partai sosialis, menyetujui usulan Zetkin hingga akhirnya diperingatilah Hari Perempuan Internasional.
Setahun setelah keputusan di Kopenhagen, Hari Perempuan Internasional diperingati untuk pertama kalinya di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss pada tanggal 19 Maret. Saat itu dilaporkan lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki menghadiri demonstrasi Hari Perempuan Internasional yang juga sekaligus mengampanyekan hak-hak perempuan untuk bekerja, memilih, mendapatkan pelatihan, memegang jabatan publik dan mengakhiri diskriminasi.
Saat di Eropa pekerja perempuan merayakan Hari Perempuan Internasional, di AS pada 25 Maret justru terjadi tragedi kebakaran di Pabrik Triangle Shirtwaist, di kawasan Manhattan, New York yang menewaskan ratusan pekerja perempuan.
Tragedi ini menarik perhatian besar terhadap kondisi kerja dan undang-undang ketenagakerjaan di Amerika Serikat yang kemudian menjadi fokus acara Hari Perempuan Internasional berikutnya. Pada tahun 1911 juga terjadi kampanye Roti dan Mawar untuk perempuan.
Selama tahun 1913-1914 atau menjelang Perang Dunia I, dalam rangka mengampanyekan perdamaian, perempuan Rusia memperingati Hari Perempuan Internasional pertama mereka pada tanggal 23 Februari. Saat itu hari Minggu terakhir di bulan Februari.
Tahun 1917, hari Minggu terakhir bulan Februari jatuh pada tanggal 23 Februari dalam kalender Julian yang saat itu jamak digunakan di Rusia, para perempuan di sana memulai pemogokan sebagai tanggapan atas kematian lebih dari 2 juta tentara Rusia dalam Perang Dunia I.
Aksi para perempuan Rusia yang dikenal sebagai gerakan Roti dan Perdamaian itu berhasil, karena empat hari kemudian Tsar Rusia turun tahta dan pemerintahan sementara memberi perempuan hak untuk memilih.
Tanggal dimulainya pemogokan perempuan yakni 23 Februari pada kalender Julian, dalam kalender Gregorian adalah tanggal 8 Maret. Sejak itulah tanggal 8 Maret kemudian disepakati sebagai Hari Perempuan Internasional.
Kekerasan
Di Indonesia, isu kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi masalah serius. Jajak pendapat Kompas pada November 2022 mengungkapkan sebanyak 12,4 persen responden mengakui memiliki pengalaman terkait kasus ini yang menimpa anggota keluarga perempuannya.
Semua berawal dari Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-18. Fase ini mengubah secara fundamental sistem produksi barang dari yang tadinya manual berganti dengan mesin
Sebagian besar responden yang anggota keluarganya pernah mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan ini cenderung menghindari penyelesaian hukum. Hampir separuh responden menyebutkan, kasus kekerasan yang menimpa anggota keluarga perempuannya ini diselesaikan secara kekeluargaan.
Bahkan, tidak sedikit yang justru menganggap kasus kekerasan yang menimpa keluarga mereka menjadi ”aib” sehingga cenderung mendiamkan. Setidaknya gejala ini juga tertangkap dalam jajak pendapat tersebut. Sebanyak 17,5 persen responden yang keluarganya pernah mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan mengaku cenderung menyimpan kasus tersebut sebagai rahasia keluarga korban. (Kompas.id, 21/11/2022).
Baca juga : Tangani Serius Kekerasan terhadap Perempuan
Dalam peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini, sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia menuntut pemerintah agar lebih serius menegakkan hukum yang melindungi kaum perempuan.
Aliansi Perempuan Indonesia dalam rilisnya Jumat (8/3/2024) menyatakan, belenggu kekerasan terhadap perempuan bersifat sistematis dan terstruktur. Ini membuat perempuan belum bisa berpartisipasi secara maksimal dalam institusi politik dan ekonomi.
Karena itu, Aliansi Perempuan Indonesia menuntut dan menyerukan agar pemerintah menegakkan demokrasi dan supremasi hukum. Selain itu, pemerintah juga diminta mewujudkan kebijakan yang melindungi perempuan dan mendukung penghapusan kekerasan.