Akhiri Kekerasan Berbasis Jender dalam Berbagai Bentuk
Perempuan hingga kini rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Negara diharapkan hadir melindungi perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Peringatan Hari Perempuan Internasional atau Internasional Women’s Day 2024 merupakan tonggak perjuangan perempuan di seluruh dunia untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi berbasis jender. Hari Perempuan Internasional diharapkan menjadi momentum bagi semua pihak untuk memastikan seluruh perempuan bebas berekspresi dan berpartisipasi di setiap bidang pembangunan.
Di tingkat global saat ini, termasuk di Indonesia, perempuan menghadapi kejahatan dalam bentuk kekerasan berbasis jender, yang ruang lingkupnya semakin luas dan lintas negara. Salah satunya adalah kejahatan perdagangan orang dalam berbagai modus yang menjerat perempuan.
Hal ini disuarakan para perempuan dari berbagai organisasi dan komunitas pada puncak peringatan Hari Perempuan Internasional 2024, Jumat (8/3/2024). Di Jakarta, sejak Jumat pagi hingga Jumat petang, berbagai organisasi perempuan turun ke jalan menggelar peringatan Hari Perempuan Internasional 2024 dengan mengusung tema masing-masing.
Selain mengusung tema demokrasi dan pemenuhan hak perempuan, para perempuan mengangkat isu perlindungan perempuan dari kekerasan seksual dan perdagangan orang yang kian hari kian marak. Pemerintah diminta melindungi perempuan pekerja migran, pekerja rumah tangga, perempuan pembela hak asasi manusia dan lingkungan, perempuan adat, perempuan lanjut usia, dan perempuan di kelompok rentan.
Para perempuan juga menuntut pemerintah dan DPR segera mengesahkan sejumlah rancangan undang-undangan (RUU) yang terkait dengan perempuan, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Antidiskriminasi, serta mewujudkan aturan pelaksana pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ratusan perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia memperingati Hari Perempuan Internasional 2024, dengan berjalan kaki dari depan Gedung Bawaslu hingga kawasan Monas Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Di Jakarta, aksi dalam peringatan Hari Perempuan Internasional lebih banyak terkonsentrasi di kawasan Monumen Nasional (Monas). Beberapa kelompok perempuan, Jumat pagi, melakukan long march, seperti yang dilakukan Aliansi Perempuan Indonesia berjalan dari depan Kantor Badan Pengawas Pemilu hingga ke kawasan Monas.
Tak hanya menyuarakan isu perempuan, Aliansi Perempuan Indonesia mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai merusak demokrasi. Bahkan, para perempuan membawa spanduk besar dengan tulisan, ”Perempuan Indonesia Geruduk Istana, Adili Jokowi Perusak Demokrasi”.
Pada Jumat siang, sejumlah aktivis perempuan Pembela HAM menggelar aksi di kawasan Monas. Aksi yang sama digelar organisasi buruh dan mahasiswa di kawasan Monas.
Korbannya perempuan di ruang-ruang senyap dan ruang digital.
Pada Hari Perempuan Internasional 2024, para aktivis perempuan di Indonesia mengingatkan ancaman global yang dihadapi perempuan dunia, termasuk perempuan Indonesia. Hal ini menyusul pola kekerasan berbasis jender yang semakin luas, yaitu terjadi di lintas negara.
Aktivis perempuan yang juga Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas) periode 2010-2014, Yuniyanti Chuzaifah, menyatakan, hingga kini perempuan di dunia menjadi sasaran kejahatan lintas negara. Perempuan terdidik tak lepas dari sasaran, terutama dari ancaman tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus penipuan daring (online scam).
”Jadi, korbannya ada, tetapi seperti tanpa pelaku karena sulitnya menjerat karena kejahatan lintas negara. Jumlah korban perdagangan orang makin tinggi dan migrasi tak aman semakin masif. Korbannya perempuan di ruang-ruang senyap dan ruang digital,” kata Yuniyanti.
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dalam General Recommendation (GR) 35 mengingatkan, penanganan kekerasan berbasis jender harus lintas batas. Hal ini karena kejahatan yang semakin tidak kenal ruang dan negara.
Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar BumiI) pada Hari Perempuan Internasional 2024 menyuarakan agar perempuan migran dan keluarganya bebas dari kekerasan dan perbudakan modern. Perlindungan perempuan pekerja migran sangat mendesak karena dari 9 juta buruh migran Indonesia, sebanyak 70 persen di antaranya adalah perempuan.
”Sampai saat ini perempuan migran masih mengalami kekerasan ekonomi, fisik, seksual dan psikis, serta menjadi korban perdagangan orang. Bahkan, pada tahun 2023, Provinsi NTT menerima 143 jenazah, ini belum provinsi lainya,” ujar Karsiwen, Ketua Pusat Kabar Bumi.
Penegakan hukum yang lemah telah memberi peluang bagi para sindikat perdagangan orang untuk terus merekrut korban dengan modus yang semakin beragam. Hal ini mulai dari modus dijebak menjadi kurir narkoba, penipu daring, dan sebagainya.
Disabilitas
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menyuarakan pentingnya dukungan pada perempuan disabilitas di bidang pendidikan. Dukungan tersebut melalui peningkatan kapasitas dan pelatihan keterampilan yang membantu perempuan disabilitas mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
Tidak hanya itu, menurut Ketua Umum HWDI Revita Alvi, perempuan muda dengan disabilitas juga memiliki peran penting dalam menghadapi perubahan iklim dan mengatasi tantangan yang mereka hadapi. ”Dengan memahami perubahan iklim membantu anak muda disabilitas merasa terhubung dengan isu global. Ini memperkuat solidaritas dan kesadaran kolektif tentang perlunya tindakan bersama untuk melindungi planet bumi,” kata Revita.
Selain menghadapi ancaman lintas negara, aktivis perempuan, Dian Kartika Sari, menilai, perempuan Indonesia dihadapkan pada situasi yang semakin sulit. Dia mencontohkan, harga pangan yang terus naik, terutama, beras, telor, minyak goreng, dan cabai.
Tingginya harga pangan akan membuat perempuan dalam keluarga miskin dan keluarga berpendapatan rendah akan semakin terpuruk dan kesulitan memenuhi kebutuhan pangan. Situasi tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan politik, termasuk saat Pemilu 2024.
”Hal ini mengakibatkan seluruh kerja, kerja-kerja pendidikan pemilih yang dilakukan oleh gerakan perempuan untuk menolak politik uang, menjadi sama sekali tidak efektif,” kata Dian yang juga Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) tahun 2009-2014.
Sementara itu, upaya meningkatkan keterwakilan politik perempuan di parlemen dan di lembaga penyelenggara pemilu juga mengalami hambatan besar. Aspirasi agar keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen tidak mendapat dukungan dari penyelenggara pemilu.