Pensiun pada Perempuan Pekerja Kasar Berdampak pada Kesehatan Mental
Tingkat rawat inap pekerja kerah biru karena kecemasan, depresi, dan stres meningkat setelah pensiun.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Bagi sebagian orang, masa pensiun diharapkan dapat membawa pada suasana santai untuk menikmati kehidupan. Namun, bagi sebagian orang lain, mengakhiri jadwal kerja rutin dapat menimbulkan stres dan ketidakpastian mengenai kemampuan membayar tagihan, termasuk untuk mendapatkan perawatan medis yang memadai.
Studi baru oleh para peneliti di Yale School of Public Health menunjukkan, pensiun dapat memengaruhi kesehatan mental dan perawatan kesehatan mental rawat inap yang terkait di kalangan perempuan pekerja di China. Studi ini juga menyandingkan dengan kebijakan usia pensiun yang unik di China dan data klaim medis rawat inap yang representatif secara nasional.
Penelitian ini secara khusus mengamati perbedaan antara perempuan yang bekerja pada pekerjaan kerah biru (blue collar/pekerja kasar), seperti buruh pabrik dan perdagangan, dan peran kerah putih (white collar), seperti pegawai kantor. Hasil riset ini dimuat dalam jurnal Economics & Human Biology, edisi April 2024 yang sudah bisa diakses secara daring pada 7 Maret 2024.
Dalam sistem ketenagakerjaan di China, batas usia pensiun perempuan berbeda-beda. Bagi perempuan yang bekerja di bidang kerah biru, usia pensiunnya 50 tahun dan perempuan yang bekerja di bidang kerah putih biasanya bekerja hingga usia 55 tahun.
Studi ini menganalisis catatan rumah sakit sebelum dan sesudah batas usia pensiun. Bagi pekerja kerah biru, tingkat rawat inap di rumah sakit karena penyakit mental, termasuk kecemasan, depresi, dan gangguan terkait stres, meningkat setelah pensiun pada usia 50 tahun. Namun, tidak ada peningkatan serupa pada perempuan kerah putih yang pensiun lima tahun kemudian.
Pensiunan perempuan kerah biru juga lebih sering menggunakan ruang gawat darurat (UGD) untuk mengatasi krisis kesehatan mental setelah usia 50 tahun. Penelitian tersebut menemukan peningkatan 16,6 persen dalam kunjungan UGD untuk kondisi kesehatan mental darurat setelah perempuan pekerja kerah biru pensiun. Namun, sekali lagi, tidak ada pertumbuhan serupa dalam layanan darurat yang terlihat di kalangan pensiunan pegawai kantoran.
”Alasan mengapa perempuan kerah biru mengalami kesehatan mental yang lebih buruk setelah pensiun masih belum jelas,” kata Xi Chen, pakar kesehatan masyarakat (kebijakan kesehatan) di Yale School of Public Health (YSPH) dan penulis senior studi tersebut, dalam situs internet YSPH, akhir Februari 2024.
Para perempuan pekerja kerah biru mengalami dampak yang lebih berat saat kehilangan pekerjaan serta mendapatkan pendapatan yang rendah.
Ia menduga para perempuan pekerja kerah biru mengalami dampak yang lebih berat saat kehilangan pekerjaan serta mendapatkan pendapatan yang rendah. Dampak yang mereka alami secara psikologis dan finansial ini lebih berat dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bekerja di kantor.
”Pekerja kerah biru juga cenderung memiliki lebih sedikit sumber daya untuk beradaptasi dengan perubahan besar dalam hidup,” kata Xi Chen.
Temuan ini menunjukkan kebijakan pensiun di China memberikan dampak yang berbeda-beda terhadap perempuan pekerja, bergantung pada sifat pekerjaan mereka. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk membantu mengidentifikasi usia pensiun yang optimal dan skema pensiun yang lebih fleksibel seiring dengan bertambahnya usia penduduk.
”Dukungan yang menyasar perempuan pekerja kerah biru yang berisiko dapat membantu mereka melakukan transisi keluar dari dunia kerja dengan lebih lancar, termasuk meningkatkan persiapan mental mereka,” kata Tianyu Wang, salah satu penulis utama studi tersebut dan mantan mahasiswa pascasarjana di YSPH.
Perundangan
Jody L Sindelar, profesor di YSPH yang juga penulis senior studi tersebut, mengatakan, hasil studi ini dapat memberikan informasi kepada pembuat kebijakan di China terkait dengan ketenagakerjaan. Ia memberikan masukan, kesehatan mental karyawan harus dipertimbangkan dalam perencanaan pensiun selain masalah keuangan.
Hal itu bisa dilakukan dengan menaikkan upah dan tunjangan bagi perempuan pekerja berpenghasilan rendah dan membantu mereka mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk pensiun pada usia 50 tahun. Dengan demikian, upaya tersebut akan membantu meringankan beberapa tekanan pada mereka yang juga masih memiliki tanggung jawab merawat orang yang lebih tua.
Penelitian ini berfokus pada konsekuensi kesehatan dari pensiun dini. Laki-laki tidak diikutsertakan dalam riset ini karena usia pensiun mereka 60 tahun, menurut undang-undang di China.
Meskipun studi yang dilakukan saat ini terbatas pada perempuan pekerja di China, para peneliti mengatakan, temuan ini dapat memberikan informasi kepada pembuat kebijakan di negara-negara lain. Hal ini terutama pada negara berkembang dan maju yang mengalami peningkatan harapan hidup pekerja, pertumbuhan populasi menua, dan kekhawatiran mengenai kemampuan ekonomi para pensiunannya.