PNS Perempuan dan Jabatan Pimpinan Tinggi di Kementerian
Kondisi PNS perempuan yang umumnya berbeda dengan PNS laki-laki berkonsekuensi pada pengembangan karier perempuan pada posisi jabatan pimpinan tinggi di kementerian. Pengukuran kinerja berbasis hasil bisa menjadi solusi.
Oleh
HERU SAMOSIR
·7 menit baca
Dalam teori birokrasi representatif, keterwakilan yang mencakup identitas jender, ras, suku, dan lainnya diperlukan agar pelayanan yang diberikan mampu merespons kebutuhan masyarakat yang beragam serta menyelesaikan berbagai macam permasalahan sosial (Selden, 1997; Ballard, 2015). Dari sisi keterwakilan identitas jender, keterwakilan perempuan dalam birokrasi menjadi penting mengacu pada ketepatan peran dan fungsi birokrasi yang diperlukan untuk mengawasi, menghasilkan, serta menerapkan regulasi nasional, terutama berkaitan dengan isu kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, serta keselamatan dan keamanan, terutama kelompok perempuan.
Permasalahannya, kehadiran pegawai negeri sipil (PNS) perempuan pada posisi jabatan pimpinan tinggi (JPT) di kementerian masih sangat timpang dibandingkan dengan PNS laki-laki. Data PNS perempuan, terutama di kementerian, menunjukkan rasio yang hampir berimbang dari sisi jumlah PNS secara keseluruhan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Anna, et. al (2021), persentase PNS perempuan di 34 kementerian pada 2020 mencapai 42,44 persen. Angka ini cenderung meningkat jika dilihat dari tahun 2014 yang hanya mencapai 37,18 persen.
Secara umum, jumlah PNS perempuan selalu lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Kondisi ini semakin timpang ketika melihat data PNS perempuan pada jabatan pimpinan tinggi di birokrasi kementerian. Berdasarkan angka rata-rata perempuan pada jabatan pimpinan tinggi kementerian (2014-2020), persentase perempuan yang menduduki jabatan pimpinan tinggi hanya 19,21 persen. Jika dirinci, pada jabatan pimpinan tinggi pratama hanya 19,54; pada jabatan pimpinan tinggi madya hanya 16, 04 persen. Tren menunjukkan bahwa jumlah PNS perempuan selalu menurun dari posisi jabatan pimpinan tinggi pratama ke jabatan pimpinan tinggi madya.
Terdapat dua kondisi yang dialami oleh PNS perempuan berkaitan dengan kehadiran pada posisi jabatan pimpinan tinggi. Pertama, jumlah PNS perempuan cenderung menurun ketika memasuki posisi jabatan pimpinan tinggi di kementerian. Kedua, persentase PNS perempuan dari jabatan pimpinan tinggi pratama ke jabatan pimpinan tinggi madya cenderung menurun. Penurunan ini bisa dimaknai sebagai ada sejumlah hambatan yang dialami PNS perempuan ketika masuk ke posisi jabatan pimpinan tinggi .
Fenomena ”glass ceiling”
Perempuan pada umumnya mengalami fenomena glass ceiling dalam upaya merintis karier mencapai posisi kepemimpinan. Fenomena ini merupakan hambatan tak terlihat yang dialami oleh perempuan untuk naik pada posisi atau jabatan tingkatan tertentu.
Fenomena glass ceiling bisa menjelaskan mengapa PNS perempuan sangat minim kehadirannya pada posisi jabatan pimpinan tinggi di kementerian. Hambatan tak terlihat ini bersumber dari manifestasi dari kultur dan agama dalam bentuk norma jender yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, terutama berkaitan dengan relasi kuasa yang timpang dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga.
Fenomena glass ceiling bisa menjelaskan mengapa PNS perempuan sangat minim kehadirannya pada posisi jabatan pimpinan tinggi di kementerian.
Hasil penelitian yang dilakukan Anna, et. al (2021) mengidentifikasi empat hambatan yang dialami PNS perempuan ketika masuk ke posisi jabatan pimpinan tinggi di kementerian. Pertama, permasalahan beban ganda yang berkaitan dengan tanggung jawab domestik yang tetap dilakukan seiring dengan pemenuhan tuntutan peran profesional. Tanggung jawab domestik dalam hal ini berkaitan dengan mengurus anak, suami, dan keluarga yang lebih dibebankan kepada perempuan. Ini menyebabkan PNS perempuan kesulitan membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan publik.
Pada konteks posisi jabatan pimpinan tinggi, PNS perempuan cenderung kesulitan membagi waktu, di mana posisi jabatan pimpinan tinggi menuntut tanggung jawab dan kehadiran yang tinggi. PNS perempuan pada umumnya kesulitan membagi waktu antara mengurus keluarga dan tuntutan pekerjaan sehingga PNS perempuan pada umumnya memilih untuk mengurus keluarga dibandingkan dengan mengembangkan karier. Posisi karier yang semakin tinggi berkonsekuensi pada kewajiban dan tanggung jawab yang semakin besar.
Kedua, perbedaan siklus hidup antara perempuan dan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan peran reproduktif perempuan, seperti hamil, melahirkan, mengasuh anak, serta kondisi haid yang sering kali berbenturan dengan peran produktif perempuan. Kondisi ini menyebabkan PNS perempuan cenderung menunda karier untuk naik ke posisi jabatan pimpinan tinggi.
Peran reproduktif perempuan selalu dibenturkan dengan peran produktif. Norma jender yang berlaku menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara dan berdampak pada pembebanan tanggung jawab domestik, baik melahirkan, merawat, maupun mengasuh anak. Kondisi ini menyebabkan PNS perempuan cenderung menunda karier, terutama mengisi posisi jabatan pimpinan tinggi pada kementerian.
Ketiga, aturan yang tidak mengenali hambatan tak kasatmata yang dialami perempuan. Kondisi ini berkaitan dengan kerja-kerja di posisi jabatan pimpinan tinggi kementerian yang membutuhkan mobilitas perjalanan dinas serta intensitas kerja yang tinggi. Aturan yang ada belum mengenali permasalahan yang dihadapi perempuan, terutama berkaitan dengan urusan domestik. Kondisi ini menyebabkan perempuan dihadapkan dengan kondisi pilihan antara mengurus rumah tangga dan pekerjaan profesional.
Keempat, pengisian jabatan yang bias jender menghambat perempuan meniti karier di jabatan pimpinan tinggi. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa terdapat sejumlah posisi jabatan pimpinan tinggi yang hanya cocok diisi oleh laki-laki atau hanya cocok diisi oleh perempuan. Pada umumnya, pandangan yang bias jender ini kerap kali merugikan PNS perempuan, terutama ketika ingin menduduki posisi jabatan pimpinan tinggi. Pandangan yang bias ini bisa menimbulkan keraguan bagi PNS perempuan untuk mendaftar pada jabatan tertentu.
Hambatan tak kasatmata yang dihadapi oleh PNS perempuan, terutama berkaitan dengan beban ganda, menimbulkan keengganan PNS perempuan untuk meniti karier lebih tinggi.
Hambatan tak kasatmata yang dihadapi oleh PNS perempuan, terutama berkaitan dengan beban ganda, menimbulkan keengganan PNS perempuan untuk meniti karier lebih tinggi. Walaupun terdapat PNS perempuan yang mau meniti karier ke jenjang yang lebih tinggi, hal ini tidak terlepas dari kondisi PNS perempuan, setidaknya didukung oleh suami atau keluarga yang berdampak pada berkurangnya beban ganda yang dihadapi oleh PNS perempuan.
Pengaturan kerja yang fleksibel
Hambatan yang dialami oleh PNS perempuan setidaknya harus diurai melalui kebijakan yang memiliki kepekaan terhadap kondisi PNS perempuan. Permasalahannya, kebijakan yang dikeluarkan pada dasarnya sering kali tidak mengenali hambatan yang dialami oleh PNS perempuan. Permasalahan yang dialami perempuan pada umumnya adalah permasalahan pembagian waktu karena harus membagi peran antara mengurus keluarga dan melaksanakan pekerjaan publik.
Norma jender yang berlaku di masyarakat menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan memiliki relasi kuasa yang timpang sehingga perempuan kerap kali harus mengutamakan keluarga dan melakukan tugas-tugas domestik serta menunda untuk meniti karier.
Dalam konteks birokrasi, penilaian kinerja berbasis kehadiran juga turut menjadi permasalahan yang dihadapi oleh PNS perempuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, salah satu hal yang harus dipenuhi adalah pengaturan masuk kerja dan ketentuan jam kerja yang berlaku di kementerian.
Pada umumnya, pengaturan masuk kerja sering kali dilaksanakan dengan membutuhkan kehadiran secara fisik di lingkungan kerja. Kondisi ini tidak mengenali permasalahan tak kasatmata yang dialami oleh PNS perempuan. Penilaian kinerja berbasis kehadiran dan ketepatan waktu kerap menjadi hambatan untuk perempuan.
Kondisi yang dihadapi PNS perempuan pada umumnya berbeda dengan apa yang dialami PNS laki-laki sehingga berkonsekuensi pada pengembangan karier pada posisi jabatan pimpinan tinggi di kementerian. Hambatan tak kasatmata yang dihadapi PNS perempuan perlu dipahami dan diakui agar bisa merumuskan kebijakan yang responsif jender.
Hal ini bisa disiasati dengan salah satunya melalui pengaturan kerja yang fleksibel dalam birokrasi. Dalam hal ini, diperlukan inovasi kebijakan yang bisa mengakomodasi keselarasan antara pemenuhan tanggung jawab publik atau tempat kerja dan domestik. Inovasi kebijakan yang diharapkan setidaknya bisa mengurangi hambatan tak kasatmata yang dihadapi oleh PNS perempuan.
Inovasi kebijakan melalui pengaturan Flexible Working Arrangement (FWA) mengutamakan ukuran kinerja berbasis hasil. Pengaturan kerja yang fleksibel atau lebih sering dikenal dengan FWA setidaknya memberikan fleksibilitas dalam pengaturan waktu mulai kerja, kehadiran fisik, dan kapan akan berhenti bekerja dengan mengedepankan work-life balance. Penerapan FWA ini tidak terbatas hanya untuk PNS perempuan, tetapi juga pada PNS laki-laki.
Pelaksanaan FWA ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi hambatan yang dialami PNS perempuan, terutama masalah kehadiran dan ketepatan waktu yang sering kali berbenturan dengan urusan domestik bagi PNS perempuan. Penerapan FWA bukan berarti sebagai bentuk pembenaran bahwa perempuan semestinya melakukan urusan dalam rumah tangga, melainkan sebagai salah satu bentuk upaya mengurai permasalahan yang dihadapi perempuan dalam konteks budaya patriarki yang masih kuat mengakar di Indonesia.
Heru Samosir, Peneliti pada Lembaga Penelitian Cakra Wikara Indonesia, Twitter @herusamosir