Gen Z Cemaskan Perubahan Iklim dan Dampak Bencana yang Ditimbulkan
Generasi Z sangat mencemaskan perubahan iklim dan dampak bencana yang ditimbulkan di masa depan meski hanya sedikit yang terlibat dalam aktivisme iklim.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi Z alias gen Z, orang yang lahir pada 1997-2015, sering dipersepsikan sebagai generasi yang apatis, termasuk dalam isu lingkungan. Namun, penelitian terbaru menyebutkan gen Z sangat mencemaskan perubahan iklim dan dampak bencana yang ditimbulkan di masa depan.
Riset yang dilakukan peneliti di Curtin University, Australia, mengungkapkan, anak muda mempunyai kekhawatiran besar terhadap perubahan iklim. Laporan hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Sustainable Earth Reviews, Selasa (5/3/2024).
Penelitian dilakukan melalui survei representatif terhadap 446 mahasiswa di Australia pada September 2021 dan April 2022. ”Perubahan iklim adalah masalah lingkungan hidup utama bagi generasi Z. Banyak dari mereka yang mencemaskan dampak perubahan iklim,” tulis laporan penelitian itu.
Lebih dari 80 persen responden mengaku prihatin dan sangat prihatin terhadap perubahan iklim. Kecemasan itu menggambarkan keresahan mereka terhadap potensi tekanan hidup akibat bencana iklim di masa depan.
Akan tetapi, sekitar 65 persen responden tidak terlibat langsung dalam aktivisme iklim. Namun, para gen Z tersebut aktif menggunakan berbagai perangkat teknologi untuk menyuarakan keprihatinan mereka.
Sebagai pengambil keputusan di masa depan, gen Z didorong untuk mempercepat aksi iklim dengan terlibat aktif dalam meminimalkan dampak perubahan iklim. Hal ini sangat penting demi memastikan ruang hidup yang layak huni bagi semua orang di masa mendatang.
Bukan hanya gen Z yang bertanggung jawab untuk mengatasi perubahan iklim. Sebab, kerusakan lingkungan yang memicu banyak bencana turut disebabkan aktivitas manusia yang dilakukan generasi sebelumnya.
Peneliti di Curtin University, Dora Marinova, mengatakan, kecemasan terhadap perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kegelisahan generasi Z terhadap masa depan. ”Anak-anak muda ini sangat prihatin dan terintimidasi oleh kurangnya tindakan nyata yang diambil untuk memerangi perubahan iklim,” ujarnya.
Meskipun gen Z mengungkapkan kekhawatirannya, hanya 35 persen responden yang secara teratur terlibat dalam aktivisme iklim, seperti penggalangan dana, menyumbangkan uang untuk perbaikan lingkungan, mendukung kampanye lingkungan, atau berpartisipasi dalam pawai atau protes. Para responden justru rutin memakai media sosial untuk menyuarakan keprihatinan dan mencari informasi terkait perubahan iklim.
Peneliti lainnya, Diana Bogueva, mengatakan, meskipun aktivitas secara daring tetap dibutuhkan, gen Z perlu terlibat dalam cara lain untuk mendorong perubahan dan mengurangi kecemasan terhadap dampak perubahan iklim. ”Gen Z harus mempertimbangkan untuk berpartisipasi dalam aktivisme yang lebih nyata atau mainstream, seperti kampanye politik, guna berinteraksi dengan para pembuat kebijakan. Selain itu, menjalin hubungan lebih baik dengan generasi lain untuk memengaruhi para pengambil keputusan, mempercepat aksi iklim, dan membantu menjaga planet yang layak huni bagi semua orang,” ucapnya.
Bogueva menekankan, bukan hanya gen Z yang bertanggung jawab untuk mengatasi perubahan iklim. Sebab, kerusakan lingkungan yang memicu banyak bencana turut disebabkan aktivitas manusia yang dilakukan generasi sebelumnya.
Oleh sebab itu, penting bagi setiap orang untuk menjadi bagian dari solusi dari masalah perubahan iklim tersebut. ”Meskipun tantangan perubahan iklim bisa jadi menakutkan, belum terlambat bagi gen Z untuk membuat perbedaan dalam memperjuangkan masa depan yang berkelanjutan,” katanya.