Perencanaan jurusan kuliah sebaiknya mulai dilakukan sejak pemilihan jurusan di SMA. Jangan hanya ikut-ikutan teman.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Rangkaian seleksi nasional untuk masuk perguruan tinggi negeri telah dimulai. Para calon mahasiswa perlu mengenali potensi diri agar tak salah memilih jurusan kuliah. Pemilihan jurusan yang benar amat krusial dan memiliki efek domino bagi kesuksesan perjalanan karier seseorang.
Psikolog dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Anrilia E M Ningdyah, menjelaskan, perencanaan jurusan kuliah sebaiknya dimulai sejak pemilihan jurusan di SMA. Sebelum memilih juga mesti melalui tes minat bakat pada kelas 1 SMA, tidak hanya melalui nilai rapor akhir.
Oleh karena itu, sekolah seharusnya memfasilitasi peserta didiknya untuk menjalani tes psikologi sebelum menentukan pilihan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), atau Bahasa. Jika itu tak dilakukan, para murid cenderung mengikuti teman-temannya tanpa mengenal potensi diri.
”Banyak anak dari dulu sampai sekarang yang memilih jurusan di SMA tidak memproyeksikan untuk pilihan ke pendidikan tinggi. Jadi, sekolah harus membantu mereka juga,” kata Anrilia, Minggu (3/3/2024).
Tes psikologi ini juga perlu diikuti orangtua agar mereka memahami potensi yang ada dalam diri anaknya. Orangtua juga tidak boleh memaksakan anak untuk memilih jurusan seperti yang mereka inginkan. Sebab, hal ini bisa mengakibatkan anak tidak nyaman dan pendidikannya terganggu.
Satu tahun pertama atau dua semester awal itu biasanya anak kaget-kagetan, ternyata belajar ini, tidak seperti yang dibayangkan.
Tes ini biasanya menggunakan tes tertulis untuk mengetahui kemampuan kognitifnya ditambah dengan metode wawancara untuk mengetahui minat dan bakat siswa bersangkutan. Orangtua juga akan diwawancarai agar menemui jalan tengah antara keinginan orangtua dan anak.
Jika sudah mendapati penilaian potensi diri dan jurusan yang pas melalui tes psikologis, anak dengan bimbingan guru dan orangtua harus memahami prospek karier dari jurusan tersebut. Sebab, jika salah jurusan, kuliah menjadi tidak nyaman dan berujung pada karier yang terganggu.
”Konseling hasilnya nanti harus dibedakan juga sama orangtua lalu anak, baru keduanya, lalu dicari komitmen keduanya titik tengahnya,” ucapnya.
Muthia Karini (17) dari SMA Negeri 1 Prabumulih, Sumatera Selatan, menuturkan, dirinya memilih jurusan psikologi ke salah satu perguruan tinggi negeri (PTN). Untuk menuju ke sana, ia mengikuti sejumlah tes minat bakat yang difasilitasi sekolah dan orangtua sehingga ia lebih mantap memilih jurusan IPS di SMA.
Setelah mencari tahu banyak soal psikologi, dia meyakini jurusan ini memiliki prospek karier yang baik untuk masa depannya. Bahkan, dia mempersiapkan ini sejak SMP dengan bimbingan orangtua yang mendukung apa pun pilihannya.
”Minat saya di disabilitas dan anak, dan pas banget tes minat bakatnya bilang aku potensinya di bidang konseling. Sebenarnya bisa juga ke dokter spesialis anak, tetapi saya peminatannya di sosial jadi masuk IPS dan paling mungkin masuk ke psikologi,” kata Muthia.
Sementara itu, Mohamad Firman (19) dari SMA Negeri 1 Pangale, Mamuju, Sulawesi Selatan, bercerita, dirinya sudah menentukan pilihan untuk mendaftar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Duta SMA Nasional 2023 ini memilih jurusan tersebut untuk menghindari pelajaran hitung-hitungan. Padahal, ilmu komunikasi juga mempelajari statistika yang berhubungan dengan numerik.
Berbeda dengan Muthia, Firman mengaku belum pernah menjalani tes minat bakat, pengetahuannya tentang ilmu komunikasi hanya bermodal dari internet dan cerita dari alumni. Namun, hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk mendaftar jurusan ilmu komunikasi.
”Sejak terpilih duta SMA itu dengan kemampuan komunikasi saya yakin masuk ke ilmu komunikasi. Sebelumnya sempat mau pilih hubungan internasional juga,” kata Firman.
Proses adaptasi
Tak berhenti di situ, Anrilia menambahkan, ketika sudah mendaftar dan mendapat jurusan sesuai tes psikologinya, proses adaptasi anak dengan dunia perkuliahan harus dibimbing. Contohnya, adaptasi mahasiswa yang tinggal dengan orangtua beda dengan yang meninggalkan rumah tinggal di indekos.
Mereka yang tinggal dengan orangtua masih dalam pengawasan orangtua langsung dan tidak perlu banyak memikirkan kebutuhan rumah sehingga bisa fokus kuliah. Sementara yang tinggal di indekos harus belajar mandiri dengan lingkungan barunya sekaligus belajar beradaptasi dengan kuliahnya.
”Satu tahun pertama atau dua semester awal itu biasanya anak kaget-kagetan, ternyata kok belajar ini, tidak seperti yang dibayangkan. Jadi dukungan adaptasi anak tetap harus dikawal,” tutur Anrilia.
Sebab, data Data Indonesia Career Center Network tahun 2017 menyebutkan, lebih dari 87 persen pelajar dan mahasiswa ketika mengambil jurusan di sekolah ataupun perkuliahan tak sesuai minatnya. Selain itu, lebih dari 71,7 persen orang bekerja tidak linier dengan pendidikannya.