TIA, Mini Stroke yang Berbahaya
TIA merupakan kondisi ketika terjadi penyumbatan sesaat pada pembuluh darah menuju otak.
Transient ischaemic attack atau serangan stroke selintas tidak boleh disepelekan. Meskipun sumbatan yang terjadi pada pembuluh darah terjadi sesaat, risiko kesehatan di kemudian hari menjadi lebih besar. Seseorang yang pernah mengalami TIA akan berisiko mengalami sumbatan berulang hingga stroke yang lebih berat.
Transient ischaemic attack (TIA) terjadi apabila pembuluh darah yang akan menuju otak mengalami sumbatan sesaat. Sumbatan tersebut membuat aliran darah ke otak akan melambat sehingga menimbulkan gejala gangguan pada fungsi otak.
Berbeda dengan stroke pada umumnya, sumbatan yang terjadi pada kondisi TIA hanya sesaat. Umumnya, gejala akan terjadi selama 30 menit hingga satu jam. Setelah itu, gejala akan menghilang dan sumbatan juga sudah terlepas. Fungsi otak pun bisa kembali normal.
”TIA ini istilahnya seperti mini stroke. Jadi, sumbatan di pembuluh darah hanya terjadi selintas. Sumbatan terjadi secara tiba-tiba, tetapi bisa terlepas lagi. Sementara stroke, sumbatannya akan menetap dan hanya bisa diatasi dengan tindakan,” kata Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo Mohammad Kurniawan ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (1/3/2024).
Sekitar 90 persen kasus stroke bisa dicegah dengan mengendalikan faktor risiko, seperti hipertensi, diabetes, merokok, diet sehat, dan kurang aktivitas fisik.
Gejala TIA serupa dengan gejala stroke pada umumnya, seperti satu sisi mulut dan wajah yang terlihat turun atau perot, lengan atau kaki yang mengalami kelumpuhan di satu sisi tubuh, ataupun berbicara menjadi tidak jelas atau pelo. Selain itu, orang yang mengalami TIA juga bisa kehilangan keseimbangan atau koordinasi tubuh. Orang tersebut juga bisa mengalami pusing, kepala seperti berputar, kebingungan, kelemahan otot, ataupun masalah penglihatan yang sangat memungkinkan terjadi kebutaan.
Sekalipun sumbatan pada TIA terjadi sesaat dan gejala juga hanya sementara, penanganan segera tetap harus diberikan. Penyebab adanya sumbatan ketika TIA terjadi harus diketahui dengan baik. Sumbatan bisa terjadi berulang jika penyebabnya tidak diatasi. TIA pun bisa menjadi tanda awal dari stroke yang sebenarnya di masa depan.
”Jika tidak diobati, risiko terjadinya sumbatan berulang dan stroke pada orang yang pernah mengalami TIA menjadi lebih tinggi. Bahkan, risiko berulang bisa terjadi dalam beberapa hari sampai tiga bulan pertama,” kata Kurniawan.
Baca juga: Anak Muda Juga Bisa Kena Stroke
Ia pun menyatakan, perawatan dan pengobatan pada orang yang mengalami TIA akan diperlakukan sama dengan orang yang mengalami stroke. Pengobatan perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk mengontrol faktor risiko yang dimiliki. Pengobatan itu pula diperlukan untuk mencegah kekentalan darah.
Faktor risiko
Kurniawan menuturkan, faktor risiko terjadinya TIA sama dengan stroke pada umumnya. Kondisi tekanan darah yang tinggi atau hipertensi, kolesterol tinggi, serta diabetes bisa menyebabkan terjadinya stroke. Itu sebabnya, gaya hidup yang tidak sehat, seperti mengonsumsi makanan tinggi gula, garam, dan minyak, merokok, kurang istirahat, serta minim aktivitas fisik juga dapat menjadi faktor risiko yang harus diwaspadai.
Risiko TIA ini tidak hanya ditemukan pada usia tua. Risiko tersebut juga bisa terjadi pada usia muda atau usia produktif. Hal ini sama dengan penyakit tidak menular lainnya yang berkaitan erat dengan perubahan gaya hidup modern yang tidak sehat.
Bagi masyarakat yang kurang tidur atau kurang istirahat juga patut waspada. Ketika waktu tidur kurang, tekanan darah bisa menjadi lebih tinggi. Kondisi ini sering kali tidak disadari sebab biasanya tidak muncul gejala yang berarti.
Namun, jika tidak diatasi, tekanan darah tinggi bisa memicu terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Gejala TIA pun bisa terjadi. Hal ini pula yang mungkin terjadi pada seseorang yang kurang istirahat, tetapi memaksakan tubuh untuk beraktivitas dengan intensitas yang berat. Itu termasuk dengan melakukan olahraga yang cukup berat.
Kewaspadaan tersebut perlu semakin ditingkatkan karena sebagian besar masyarakat tidak mengetahui kondisi gangguan tubuh yang dialami. Padahal, banyak masyarakat di Indonesia memiliki faktor risiko penyakit tidak menular.
Hipertensi, misalnya, menurut Riset Kesehatan Dasar pada 2018, prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 34,1 persen. Itu artinya, satu dari tiga penduduk mengalami hipertensi. Kondisi hipertensi ini menjadi salah satu faktor risiko penyebab stroke.
Baca juga: Periode Emas 4,5 Jam yang Menyelamatkan Pasien Stroke
Secara terpisah, Direktur Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti dalam siaran pers mengatakan, stroke menjadi penyebab disabilitas nomor satu dan kematian nomor dua di dunia. Penanganan yang cepat dan tepat menjadi kunci untuk mencegah kondisi yang lebih buruk ketika serangan stroke terjadi.
Selain itu, upaya pencegahan melalui gaya hidup yang sehat juga harus diutamakan. Sekitar 90 persen kasus stroke bisa dicegah dengan mengendalikan faktor risiko, seperti hipertensi, diabetes, merokok, diet sehat, dan kurang aktivitas fisik.
”Bagi penyandang diabetes melitus dan hipertensi sebagai kelompok risiko tertinggi terjadinya stroke dapat dilakukan pencegahan dini faktor risiko stroke dengan melakukan pemeriksaan profil lipid (prosedur pemeriksaan kadar lemak di dalam darah),” kata Eva.
Penapisan kesehatan bisa dilakukan di puskesmas ataupun pos pembinaan terpadu (posbindu). Sebagai upaya penapisan dasar, pemeriksaan yang dapat dilakukan, antara lain, ialah pengukuran indeks massa tubuh, pengukuran tekanan darah, dan pemeriksaan gula darah.
Pemeriksaan dapat dilakukan sejak usia dini, setidaknya pada masyarakat usia 15 tahun ke atas. Penapisan tersebut perlu dilakukan pada semua masyarakat, baik yang sehat maupun sakit dan memiliki faktor risiko.
Baca juga: Pemulihan Stroke
”Dengan melakukan skrining atau deteksi dini, selain lebih mudah dalam proses pengobatannya, hal itu juga akan menekan biaya kesehatan. Apabila penyakitnya baru diketahui ketika sudah parah, hal itu bisa menyebabkan seseorang mengalami stroke, penyakit kardiovaskular, ataupun masalah pada ginjal,” kata Eva.