Program “Mustika Rasa Kini” Memotret Kekayaan Gastronomi Indonesia
Para pegiat seni menginisiasi program Mustika Rasa Kini sebagai katalog cita rasa masakan Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Indonesia memiliki beragam resep dan sumber pangan lokal yang bisa dioptimalkan dalam mencapai kedaulatan pangan. Para pegiat seni pun menginisiasi program Mustika Rasa Kinisebagai katalog cita rasa masakan Indonesia yang akan dikemas dengan menghibur, informatif, dan edukatif melalui sembilan turunan karya.
Mustika Rasa Kini merupakan program untuk menggali, meneliti, dan membandingkan resep-resep kuliner Indonesia dari masa lalu hingga kini.Program ini dijalankan oleh para pegiat seni yang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Program ini terinspirasi dari sebuah buku monumental berjudul Mustikarasa:Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno. Buku setebal 1.200 halaman ini mencerminkan upaya Bung Karno dalam merancang politik kedaulatan pangan pada awal dasawarsa 1960-an.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menyampaikan, Ditjen Kebudayaan tertarik untuk terlibat dalam program ini karena terdapat kesamaan visi. Apalagi, Mustika Rasa selama ini dikenal sebagai dokumen sejarah yang patut dilestarikan.
”Jadi, program ini merupakan sebuah upaya untuk memotret kekayaan gastronomi yang dimiliki Indonesia. Berbagai sumber pangan lokal untuk ketahanan pangan juga terekam dengan baik dalam buku ini,” ujarnya dalam acara peluncuran program Mustika Rasa Kini di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Menurut Hilmar, upaya menggali dan membandingkan resep kuliner Indonesia dari masa lalu hingga kini yang melihat literatur pada buku Mustika Rasa pasti memiliki tantangan. Sebab, buku ini merekam resep hingga tradisi kuliner Nusantara pada 60-70 tahun lalu.
Saat itu, Indonesia masih memiliki makanan lokal yang sangat beragam dan tidak didominasi oleh beras. Akan tetapi, masuknya dominasi beras di Indonesia selama 40 tahun terakhir juga diyakini membuat pergeseran selera kuliner di masyarakat.
”Hari ini, konsumsi gandum per kapita kita juga sudah lebih tinggi dari beras. Jadi, memang akan selalu ada perubahan. Melalui proyek ini dengan berbagai kumpulan kegiatan bisa mengangkat narasi dan tantangan yang tengah kita hadapi sekarang,” ucapnya.
Menggali pengetahuan dalam ’Mustika Rasa’ sangat penting untuk mempelajari bagaimana menjadi orang Indonesia, termasuk mendalami politik pangan nasional.
Hilmar menekankan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber pangan lokal. Kekayaan ini seharusnya bisa membuat masyarakat Indonesia terlepas dari berbagai persoalan, seperti kekurangan gizi, kelaparan, maupun tengkes atau stunting.
”Tantangan terbesar saat ini yaitu kita menyerahkan urusan pangan pada pasar. Orang sudah tidak lagi menggali sumber pangan karena semuanya sudah tersedia di warung. Berbagai kemudahan yang diberikan dalam sistem sekarang yang justru membuat upaya untuk menggali kembali pengetahuan tentang pangan menjadi melemah,” tuturnya.
Secara keseluruhan, Mustika Rasa Kini nantinya memiliki sembilan program atau turunan karya, yakni seminar, lokakarya, aktivasi acara dan sosialisasi, duta program, situs web dan aplikasi, konten (audio, video, dan siniar), series dokumenter, film cerita, serta buku Mustika RasaEdisi Revisi. Semua karya tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas.
Sutradara dan produser film Ismail Basbeth selaku penginisiasi program ini mengatakan, salah satu turunan karya yang menarik dalam program ini ialah adanya revisi buku Mustika Rasa. Nantinya, penyusunan revisi buku yang menyajikan resep-resep masakan Nusantara ini akan melibatkan berbagai pihak, termasuk komunitas di berbagai daerah.
”Kita akan melibatkan para ahli makanan dan komunitas untuk bersama-sama mengumpulkan kondisi resep di daerahnya masing-masing. Jadi, kita betul-betul akan memanfaatkan sembilan turunan karya ini tidak hanya untuk mempromosikan gagasan Mustika Rasa, tetapi juga melihat situasi masa lalu dan kini,” ujarnya.
Sejarawan JJ Rizal menambahkan, menggali pengetahuan dalam Mustika Rasa sangat penting untuk mempelajari bagaimana menjadi orang Indonesia, termasuk mendalami politik pangan nasional. Semua orang harus memahami bahwa kedaulatan pangan tidak hanya terkait sumber karbohidrat, tetapi juga protein.
”Pergantian kekuasaan saat itu membuat politik pangan nasional kita dikerucutkan menjadi pemakan nasi dan roti. Inilah yang membuat kita menjadi orang asing dan dapur-dapur lokal kita menjadi mati. Jadi, yang terpenting sekarang ialah kita harus sadar untuk kembali menjadi orang Indonesia, terutama dalam hal selera di lidah,” katanya.