Anak Semakin Rentan Jadi Korban Kejahatan di Ruang Digital
Anak-anak rentan jadi korban kejahatan di ruang digital. Orangtua perlu memproteksi anak ketika mengakses internet.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak di masa sekarang merupakan generasi digital native yang lahir dan tumbuh di era digital. Sejak kecil mereka terpapar konten-konten digital yang positif ataupun negatif. Namun, banyak orangtua tak melindungi anak ketika mengakses internet sehingga anak makin rentan menjadi korban kejahatan di ruang digital.
Kemajuan teknologi internet telah memberikan banyak dampak positif, termasuk mendukung pembelajaran anak. Namun, ruang digital belum sepenuhnya aman. Kasus eksploitasi seksual anak secara daring terus terjadi. Anak-anak juga sangat berisiko terpapar konten pornografi karena dapat mengaksesnya dengan mudah.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum, internet membuat berbagai informasi atau konten positif dan negatif bisa diakses dengan cepat. Karena itu, pengawasan oleh orangtua saat anak mengakses internet dibutuhkan.
Mayoritas konten negatif yang diadukan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika sepanjang tahun 2018-2023 bermuatan pornografi dan judi daring. ”Ini adalah gambaran bagaimana kerentanan anak-anak memanfaatkan internet. Perlu kerja bersama antara pemerintah, orangtua, masyarakat, dan banyak pihak untuk membentengi mereka dari informasi negatif,” ujarnya dalam puncak peringatan Safer Internet Day di Jakarta, Sabtu (24/2/2024).
Woro menuturkan, rata-rata anak mengakses internet selama 4-5 jam per hari. Penggunaannya untuk berbagai tujuan, mulai dari belajar, bermain media sosial, hingga mengakses beraneka konten di jagat maya.
Tanpa pengawasan dan pengaturan berarti, anak-anak sangat berisiko terpapar konten yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, orangtua didorong untuk lebih peduli dalam mendampingi anak mengakses internet dan mengatur penggunaannya.
”Sayangnya, sekitar 74 persen anak yang menggunakan gawai dan internet tidak mempunyai pengaturan dengan orangtuanya. Padahal, dengan pengaturan, anak-anak akan lebih terkawal dan termonitor dalam mengakses internet,” ucapnya.
Pengaturan itu dapat diterapkan dengan membatasi durasi anak memakai gawai. Sebagai contoh, anak diberi waktu menggunakan gawai pada hari tertentu seperti pada akhir pekan. Sementara bagi anak usia sekolah yang membutuhkan internet untuk pembelajaran, dapat dibatasi hanya dua jam.
Kadang-kadang orangtua lebih gaptek (gagap teknologi) daripada anaknya. Jadi, harus dua arah. Literasi orangtua diperkuat, pengawasan pada anak juga diperkuat. Pembatasan waktu mengakses internet harus dilakukan karena konten-konten negatif akan terus muncul.
Menurut Woro, orangtua juga perlu dibekali literasi digital yang memadai. Hal ini bertujuan untuk menyadari bahwa ruang digital juga memiliki dampak buruk bagi anak. Dengan begitu, anak tidak sepenuhnya dibebaskan berselancar di dunia maya.
”Kadang-kadang orangtua lebih gaptek (gagap teknologi) daripada anaknya. Jadi, harus dua arah. Literasi orangtua diperkuat, pengawasan pada anak juga diperkuat. Pembatasan waktu mengakses internet harus dilakukan karena konten-konten negatif akan terus muncul,” jelasnya.
Pengasuhan digital
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ciput Eka Purwianti menegaskan, peran orangtua dalam pengasuhan di era digital menjadi kunci untuk menghindari anak menjadi korban kejahatan berbasis daring. Jadi, pengasuhan digital oleh orangtua perlu diperkuat.
”Kami bersama pemerintah daerah memperkuat kapasitas orangtua melalui Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga). Memang ini belum tersedia di semua daerah. Pelatihan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga aliansi pengasuhan dan sukarelawan hingga di basis desa,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Keumala Dewi menuturkan, kerentanan anak di dunia digital sangat tinggi. Filter mereka dalam mencari informasi juga lemah. Selain itu, banyak orang yang belum memahami perlindungan data pribadi dan privasi.
Di sisi lain, anak ingin eksis dan diakui, baik di dunia nyata maupun digital. Namun, mereka tidak memahami risiko yang ditimbulkan, salah satunya menjadi korban eksploitasi data. Celah ini dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab dengan menyebarkan foto-foto anak.
”Sekarang, mengakses konten pornografi sangat mudah, bisa memakai uang elektronik. Jadi, modus kejahatan (di dunia digital) kian besar, tetapi kerentanan anak semakin tinggi,” katanya.
Perundungan
Dampak negatif lain dari mengakses internet yang tidak terkontrol adalah perundungan. Hal ini tidak hanya bisa terjadi di ranah digital, tetapi juga di dunia nyata. Banyak anak menjadi korban perundungan siber. Namun, ada juga yang terinspirasi melakukan perundungan setelah terpapar konten negatif saat mengakses internet.
Woro mengatakan, dalam beberapa kasus perundungan, para pelaku mempelajarinya lewat internet. Kemudian mereka terdorong untuk menerapkannya di lingkungan sekitarnya. “Tidak hanya bullying, tetapi termasuk kasus pornografi dan kekerasan seksual. Kita lihat sekarang kekerasan seksual berbasis online (daring) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Terkait kasus dugaan perundungan oleh siswa Binus School Serpong, Tangerang Selatan, yang terjadi di salah satu warung dekat sekolah, Woro mengingatkan pentingnya perlindungan anak terhadap korban, saksi, dan anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan terhadap korban diprioritaskan karena harus segera direhabilitasi dan memulihkan traumanya.
”Anak yang menjadi saksi juga perlu dilindungi. Begitu juga dengan anak sebagai pelaku, dimulai dari memastikan identitas mereka terlindungi,” ucapnya.
Selain itu, hak anak-anak tersebut untuk mendapatkan pendidikan harus tetap diberikan. Sejumlah pihak menyesalkan keputusan pihak sekolah yang mengeluarkan siswa-siswa yang terlibat perundungan tersebut.
”Ini tidak benar. Apa pun proses yang dia (siswa) lalui, dia harus mendapatkan haknya. Kami akan mendorong agar anak-anak itu tetap mendapat pendidikan. Tak mesti melalui sekolah formal,” ujarnya.