TPPK Juga Bertanggung Jawab atas Perilaku Pelajar di Luar Sekolah
TPPK harus mampu mendeteksi, mengintervensi, hingga merespons setiap perilaku agresif semua warga sekolah.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek terus mendorong semua sekolah membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan atau TPPK demi memberikan rasa aman bagi semua warga sekolah. Tim ini tidak hanya bertanggung jawab pada kejadian di dalam sekolah, tetapi juga di luar sekolah.
Pelaksana Tugas Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kemendikbudristek I Nyoman Rudi Kurniawan mengatakan, pembentukan TPPK adalah kewajiban yang diamanatkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Aturan ini diterbitkan sebagai bagian dari upaya menghapus tiga dosa besar pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.
”Aturan ini untuk melindungi peserta didik dari tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan ataupun dalam kegiatan di luar sekolah,” kata Rudi Kurniawan, Jumat (23/2/2024).
TPPK dibentuk tidak hanya untuk memenuhi target administrasi, tetapi juga harus bekerja optimal dengan proaktif melakukan pencegahan.
Data Kemendikbudristek menunjukkan, jumlah TPPK yang terbentuk di sekolah tingkat pendidikan anak usia dini sampai menengah atas hingga kini hanya 345.161 tim di 434.761 sekolah atau baru 79,39 persen. Jumlah ini masih di bawah target 100 persen yang seharusnya tercapai pada 4 Februari 2024.
Di tingkat regional, baru 15 dari 38 provinsi yang membentuk satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan. Sementara itu, dari 514 kabupaten/kota, baru 252 satgas di tingkat kabupaten/kota yang dibentuk. Pemerintah daerah didorong untuk serius pada hal ini.
TPPK, kata Rudi, harus mampu mendeteksi, mengintervensi, hingga merespons setiap perilaku agresif semua warga sekolah. Caranya dengan memberikan konseling dan pendidikan karakter yang kuat agar perilakunya bisa dikontrol.
Ketika perilaku agresif tersebut bisa dikontrol atau diubah, maka kegiatan belajar-mengajar di sekolah akan menjadi lebih aman dan menyenangkan. ”Dengan begitu, kita dapat mencegah eskalasi potensi tindak kekerasan di satuan pendidikan,” ucapnya.
Selain itu, TPPK juga perlu melibatkan para peserta didik agar bisa menampung aspirasi mereka, bukan hanya guru dan orangtua, termasuk tenaga pendidik, staf administrasi, dan petugas keamanan juga harus dilibatkan. Tim ini diharapkan bisa mengedepankan dialog menuju perdamaian dalam setiap penanganan masalah.
Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menambahkan, TPPK dibentuk tidak hanya untuk memenuhi target administrasi, tetapi juga harus bekerja optimal dengan proaktif melakukan pencegahan. Kanal aduan harus dibuka untuk siapa pun dan segera ditindaklanjuti.
”Jangan sampai anak-anak tidak tahu caranya mengadu atau bahkan anak-anak sampai takut untuk mengadu. Kalau anak sudah mengadu lalu kemudian muncul ancaman, perlindungan harus diberikan,” kata Retno.
Pendidikan karakter
Pelatih Utama Pendekatan Disiplin Positif Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Jean Hendry Souisa menegaskan, TPPK harus mengedepankan pendidikan karakter kepada siswa agar lebih disiplin. Hal ini penting untuk melatih siswa mampu memahami dan mengontrol perilakunya dalam kesadaran dan bertanggung jawab atas perilakunya sebagai wujud penghormatan pada diri sendiri dan orang lain.
”Emosi dan logika anak harus dikontrol. Anak-anak melakukan sesuatu karena perasaan atau ego. Ini harus dibenahi dengan membangun logika dan kesadaran diri pada anak,” kata Jean.
Kecerdasan moral ini perlu dimiliki setiap peserta didik dalam penerapan disiplin positif di sekolah. Setiap anak harus ditanamkan rasa empati, hari nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan, toleransi, dan bersikap adil.
Sebab, kondisi pendidikan Indonesia hari ini sudah mengkhawatirkan. Kasus demi kasus kekerasan yang bermunculan diyakini hanya sebagian kecil dari puncak gunung es. Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dibuat Organization for Economic Cooperation and Development tahun 2022 menunjukkan, 8,8 persen siswa responden di Indonesia mengetahui ada geng di sekolah mereka.
Kemudian, 13,7 persen responden pernah mendengar seorang siswa mengancam akan menyakiti siswa lain. Bahkan, 2,4 persen responden pernah melihat siswa lain membawa senjata ke sekolah.
Data PISA 2022 juga menunjukkan, 17 persen siswa responden merasa tidak merasa aman di tempat lain di sekolah, seperti lorong, kantin, dan kamar kecil (rata-rata OECD: 10 persen). Sekitar 25 persen siswa perempuan dan 30 persen siswa laki-laki menjadi korban perundungan, setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Fenomena ini berdampak buruk terhadap prestasi belajar korban.