Geng sekolah bisa menjadi wadah untuk menampung gejolak kawula muda yang positif jika dibimbing dengan benar.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
Gejolak kawula muda yang tak terbendung membuat sekumpulan geng remaja pencari jati diri ramai diperbincangkan hari-hari ini. Ikhtiar menghapus tiga dosa besar pendidikan pun ternodai dan seperti tidak berkesudahan. Pendidikan karakter perlu diperkuat agar generasi penerus menjadi manusia yang memanusiakan manusia lain.
Satu hari kemarin, publik dihebohkan dengan kasus perundungan oleh sekelompok geng dari SMA Binus School Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Dalam video yang beredar di jagat maya, mereka berkumpul di satu warung depan sekolah sambil beramai-ramai memelonco anak lain yang ingin bergabung dalam geng tersebut.
Kepolisian Resor Tangerang Selatan masih menyelidiki kasus ini. Sementara korban masih menjalani perawatan di rumah sakit. Tubuhnya memar dan terdapat luka bakar. Disebutkan pula bahwa para ”anggota baru” diminta membelikan makanan serta mendapat kekerasan fisik dan verbal.
Data PISA 2022 menunjukkan, 8,8 persen siswa di Indonesia menyatakan mengetahui ada geng di sekolah mereka.
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia Pusat Andik Matulessy menilai, seorang remaja SMA saat dalam fase mencari jati diri biasanya ingin hidup berkelompok atau bergabung dalam geng. Mereka memiliki keinginan kuat untuk menunjukkan eksistensi diri dan ikatan kelompok yang kuat sehingga sering kali ”anggota baru” hanya bisa pasrah dirundung ”senior”-nya.
”Geng adalah bentuk eksistensi diri dan (sarana) menguatkan ikatan emosional dengan grupnya. Ikatan ini akan mengarahkan prasangka dan kebencian pada kelompok lain, maka bullying terjadi untuk menunjukkan kekuasaan. Mereka akan menjadi irasional, emosional, sugestif, dan destruktif,” kata Andik, Selasa (20/2/2024).
Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dibuat Organization for Economic Cooperation and Development tahun 2022 menunjukkan, 8,8 persen siswa responden di Indonesia mengetahui ada geng di sekolah mereka.
Kemudian, 13,7 persen responden pernah mendengar seorang siswa mengancam akan menyakiti siswa lain. Bahkan, 2,4 persen responden pernah melihat siswa lain membawa senjata ke sekolah.
Data PISA 2022 juga menunjukkan, 17 persen siswa responden merasa tidak merasa aman di tempat lain di sekolah, seperti lorong, kantin, dan kamar kecil (rata-rata OECD: 10 persen). Sekitar 25 persen siswa perempuan dan 30 persen siswa laki-laki menjadi korban perundungan, setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Fenomena ini berdampak buruk terhadap prestasi belajar korban.
Menurut Andik, ini bukan fenomena baru, tetapi selalu mengkhawatirkan, sebab keberlangsungan geng di sekolah bisa turun-temurun ke adik tingkatnya. Orangtua diminta tidak sekadar menitipkan anaknya ke sekolah, tetapi juga menanamkan pendidikan karakter.
”Tautan emosional yang kuat antara orangtua dan anak akan mengarahkan perilaku empati, penghargaan pada orang lain, dan menurunkan keinginan untuk bertindak agresif. Jangan hanya fokus masalah ekonomi, asupan emosional pada anak sangat berarti,” ucapnya.
Sekolah juga perlu mengubah gejolak kawula muda yang negatif ini agar menjadi kegiatan yang positif. Sebab, naif rasanya jika pihak sekolah tidak mengetahui kegiatan geng siswanya di warung yang hanya sepelemparan batu dari gerbang sekolah.
”Salurkan energi negatif mereka ke arah yang positif dengan ekstrakurikuler atau membuat suasana pelajaran yang menyenangkan agar menurunkan keinginan mereka melakukan kegiatan yang negatif,” tutur Andik.
Namun, jika sejumlah kegiatan positif dari sekolah dan bimbingan orangtua sudah difasilitasi, tetapi kasus perundungan tetap terjadi, hukum harus ditegakkan. Publik berharap polisi bertindak tegas demi memberikan efek jera dan kasus serupa tidak menjalar ke sekolah lain. Sebab, kasus ini pun diyakini hanya puncak gunung es.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga mengecam aksi perundungan tersebut. Kementerian sudah mengeluarkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sebagai bagian dari upaya menghapus tindakan kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di sekolah.
”Kemendikbudristek secara tegas mengecam kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan terus berkomitmen untuk memberantas praktik-praktik kekerasan di lingkungan pendidikan,” kata Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Anang Ristanto.
Pada kenyataannya, implementasi permendikbudristek ini pun terbilang masih berjalan lambat. Jumlah tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) yang terbentuk di sekolah tingkat pendidikan anak usia dini sampai menengah atas hingga kini hanya 273.671 tim di 437.851 sekolah atau baru 62,5 persen. Jumlah ini masih di bawah target 100 persen yang seharusnya tercapai pada 4 Februari 2024.
Di tingkat provinsi, baru delapan dari 38 provinsi yang membentuk TPPK. Sementara itu, dari 514 kabupaten/kota, baru 140 satgas di tingkat kabupaten/kota yang dibentuk.