Kemenangan Media Sosial, Kemunduran Demokrasi
Kemenangan Prabowo dan Gibran dalam pemilu kali ini bisa menandai kemenangan media sosial atas jurnalisme.
Pemungutan suara pemilihan presiden di Indonesia telah berakhir, dengan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memimpin perolehan suara berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga.
Cendekiawan Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar-Aballa, dalam tulisannya di Kompas.id pada 15 Februari 2023 menyebut, kemenangan ini menunjukkan bahwa ”rakyat, dengan suara yang begitu besar, tetap menginginkan jalan pembangunan ala Jokowi,” atau dengan kata lain sebagai kekalahan gerakan perubahan.
Baca juga: Memahami Kemenangan Prabowo
Walaupun mengakui adanya kemunduran demokrasi selama kepemimpinan Jokowi, bagi Ulil, kemenangan Prabowo adalah sinyal bahwa fenomena itu tidak menjadi keprihatinan rakyat luas. Narasi kemunduran demokrasi hanya beredar di ruang gema kalangan kelas menengah terdidik yang dianggapnya elitis.
Data menunjukkan, narasi perubahan memang cenderung beredar di kalangan menengah terdidik. Di sisi lain, profil pemilih Prabowo-Gibran, yang didominasi konstituen berpendidikan menengah ke bawah, walaupun pemilih dari kalangan berpendidikan tinggi juga banyak (Kompas, 17 Februari 2024).
Faktor media sosial
Mulai dari bantuan sosial, kenaikan gaji pegawai negeri sipil, hingga posisi aparat dan pejabat pasti berperan memengaruhi keputusan pemilih. Namun, ada faktor lain yang sangat memengaruhi hasil akhir dari Pemilu 2024, yaitu kekuatan media sosial.
Yang paling disukai orang adalah ketakutan atas ketenangan, kepalsuan atas kebenaran, kemarahan atas empati.
Freedom House melaporkan, demokrasi telah mengalami kemunduran di seluruh dunia selama 15 tahun terakhir, periode yang sama dengan kebangkitan media sosial. Dalam bukunya How Civil Wars Start: And How to Stop Them, ilmuwan politik Barbara F Walter berpendapat bahwa ini bukanlah suatu kebetulan.
Media sosial, tulisnya, telah menjadi ”kendaraan yang membawa seseorang yang memiliki dorongan otokratis menuju kekuasaan, dengan memanfaatkan gelombang dukungan masyarakat”.
Para pemimpin ini, rata-rata sukses menangguk popularitasnya menggunakan media sosial dengan cara-cara yang populis. Hal ini karena algoritma media sosial bisa memprioritaskan konten berdasarkan keterlibatan pengguna, yang mengarah pada terciptanya ruang gema dan gelembung filter.
Pengguna mungkin terpapar, terutama pada konten yang sejalan dengan keyakinan dan preferensi mereka, termasuk dari konten keliru. Dampaknya, hal ini membatasi paparan mereka terhadap beragam perspektif lain.
Pada akhirnya, media sosial juga memberikan struktur yang sangat nyata terhadap apa yang sering disebut oleh para ilmuwan politik sebagai ”afinitas elektif” atau ”paparan selektif”, yaitu kecenderungan orang memilih untuk memperkuat ikatan dengan orang-orang dan organisasi yang disukai. Peran jasa buzzer (pendengung) menjadi sangat penting dalam memenangkan algoritma ini.
Baca juga: Ambyarnya Diri Selebgram di Media Sosial
Para pendengung ini adalah ahli dalam media yang algoritmenya dirancang untuk memberikan konten yang mereka idamkan kepada pengguna. ”Ternyata,” kata Walter, ”yang paling disukai orang adalah ketakutan atas ketenangan, kepalsuan atas kebenaran, kemarahan atas empati.”
Hal ini, pada gilirannya, menjelaskan mengapa survei Monmouth pada Juni 2023 lalu menunjukkan, tiga dari 10 orang Amerika masih percaya, Presiden Joe Biden menang dalam pemilu 2020 hanya karena kecurangan pemilih. Mereka percaya, Donald Trump sebenarnya yang memenangi pemilu itu.
Kemenangan Ferdinand ”Bongbong” Marcos Jr dalam pemilu di Filipina pada 2022 juga bukti dari kekuatan media sosial. Laporan investigasi dari Rappler dan VERA Files menunjukkan, Marcos mendapat manfaat dari kampanye disinformasi yang terkoordinasi di platform media sosial, terutama melalui video di Tiktok, Facebook, dan Youtube dengan membayar pembuat konten politik sebesar 4.700 dollar AS per bulan.
Salah satu postingan terpopuler di akun Tiktok di Flipina saat itu adalah klip percakapan Bongbong dengan Juan Ponce Enrile berdurasi 13 detik. Dalam video tersebut, Enrile yang berusia 94 tahun, yang pernah menjabat sebagai menteri kehakiman dan menteri pertahanan di bawah pemerintahan ayah Bongbong, diktator Filipina, Ferdinand Marcos Sr, mengklaim bahwa negara itu sangat aman di bawah darurat militer.
Postingan lain menyebutkan, tidak ada seorang pun yang ditangkap selama masa darurat militer Filipina, dan telah ditonton lebih dari 187 juta kali pada awal masa pemilihan pada 8 Februari 2022. Dan di luar video-video ini, Bongbong juga sangat populer dengan jogetannya. Berbagai seruan dari akademisi dan ulasan kritis dari jurnalis di Filipina, pada akhirnya tidak bisa membendung kemenangan Bongbong.
Baca juga: Medsos dan Kemenangan ”Bongbong”
Melihat cara kampanye yang terjadi seperti mengikuti jalan Filipina. Jadi, pernyataan bahwa kemenangan Prabowo-Gibran sebagai ”kesombongan tersembunyi kelas menengah terdidik di Indonesia” tidak sepenuhnya tepat.
Kekuatan narasi saat ini cenderung dikuasai oleh media sosial, dan di dunia yang seperti ini, kepakaran telah mati. Di media sosial, narasi yang dibangun para guru besar dan fakta yang dipaparkan jurnalis bisa dilawan oleh propaganda pendengung, yang sosoknya bahkan anonim.
Apalagi, selama ini, mayoritas kelas menengah terdidik, termasuk industri media di Indonesia, cenderung bungkam dibandingkan riuh pendengung. Mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang kontroversial, hingga kekerasan dan kerusakan lingkungan dibalik berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN), menjadi contoh lemahnya kontrol. Menjadi terlambat ketika menjelang pemilu, sikap mereka baru berubah kritis.
Kini, kita hidup di dalam cengkeraman media sosial ini dan sudah banyak kajian yang menunjukkan kemunduran demokrasi, bahkan juga terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat hingga Eropa. Sebaiknya kita mencari cara untuk mengurangi aliran kebohongan yang mengalir dari media sosial, sebelum demokrasi menuju bunuh diri.