Vaksin tuberkulosis baru dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari penularan serta mendukung eliminasi TBC pada 2030.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyediaan vaksin tuberkulosis baru semakin dinanti. Vaksin tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk melindungi masyarakat dari penularan tuberkulosis sekaligus mengurangi dampak ekonomi akibat biaya perawatan dan kehilangan produktivitas dari pasien yang tertular.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, vaksin tuberkulosis (TBC) diharapkan bisa segera tersedia di masyarakat. Hal ini diperlukan untuk mendukung upaya eliminasi tuberkulosis yang ditargetkan bisa dicapai pada 2030.
”Apabila eliminasi TBC ingin dicapai pada 2030, kita hanya memiliki waktu tiga tahun untuk mengembangkan vaksin TBC agar dapat digunakan pada 2028. Pengembangan vaksin harus dilakukan secara fokus,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (12/2/2024).
Saat ini, vaksin tuberkulosis yang tersedia ialah vaksin BCG (bacillus calmette-guerin). Vaksin tersebut hanya memberikan perlindungan secara parsial untuk mencegah TBC berat pada bayi dan anak usia dini. Namun, vaksin ini kurang efektif untuk melindungi penularan TBC pada anak dan usia dewasa.
Karena itu, pengembangan vaksin TBC yang efektif untuk semua usia sangat ditunggu. Vaksin TBC juga berpotensi untuk mencegah penyebaran TBC resistan obat. TBC resistan obat atau TB-RO merupakan jenis penyakit tuberkulosis yang tidak merespons pengobatan standar.
Budi menuturkan, sejumlah bakal vaksin TBC sedang dikembangkan di dunia. Vaksin tersebut berpotensi untuk mencegah penyakit TBC pada anak dan orang dewasa sehingga dapat menggantikan atau menguatkan vaksin BCG yang selama ini sudah beredar di masyarakat.
Selain itu, vaksin TBC yang baru juga diharapkan mampu mencegah kekambuhan pada pasien yang telah menyelesaikan pengobatan ataupun memperpendek durasi pengobatan.
Ia menyampaikan, Indonesia telah aktif berkontribusi dalam tiga uji klinis bakal vaksin TBC. Vaksin pertama ialah vaksin yang dikembangkan oleh Bill and Melinda Gates Foundation. Vaksin tersebut dikembangkan berbasis protein rekombinan.
Apabila eliminasi TBC ingin dicapai pada 2030, kita hanya memiliki waktu tiga tahun untuk mengembangkan vaksin TBC agar dapat mulai digunakan pada 2028.
Vaksin kedua ialah vaksin yang dikembangkan antara CanSinoBio, perusahaan farmasi asal China, dan Etana, perusahaan biofarmasi asal Indonesia. Vaksin ini dikembangkan berbasis vektor virus dan kini telah diuji untuk uji klinis fase pertama.
Sementara vaksin ketiga dikembangkan oleh BioNTech, perusahaan bioteknologi dari Jerman, dengan PT Biofarma, perusahaan asal Indonesia. Vaksin ini dikembangkan dengan teknologi mRNA yang saat ini sedang penjajakan untuk lokasi uji klinis fase kedua di Indonesia.
Budi menyampaikan, Indonesia juga memastikan agar pengobatan tuberkulosis dapat diakses oleh semua orang, termasuk obat jenis terbaru. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang pertama kali meluncurkan terapi BPaL dan BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid, dan moksifloksasin). Terapi dengan pengobatan tersebut merupakan regimen oral jangka pendek untuk pasien TB-RO.
Regimen ini membantu mempersingkat pengobatan TB-RO menjadi enam bulan dari sebelumnya 9–11 bulan. Pada pengobatan sebelumnya juga harus diberikan dengan menggunakan suntikan.
”Indonesia mendukung pula penelitian operasional mengenai potensi regimen pengobatan yang lebih singkat untuk tuberkulosis sensitif obat (TB-SO). TB-SO dapat diobati dengan regimen standar, tetapi durasi pengobatan TB-SO saat ini masih 6-9 bulan,” kata Budi.
Indonesia merupakan negara dengan beban tertinggi kedua terbesar di dunia setelah India. Kasus tuberkulosis di Indonesia diestimasikan mencapai 1.060.000 kasus. Estimasi tersebut meningkat dari tahun 2021 yang diperkirakan sebanyak 969.000 kasus.
Budi mengatakan, upaya penemuan kasus tuberkulosis semakin ditingkatkan. Setidaknya pada 2023, kasus tuberkulosis yang terdeteksi mencapai 800.000 kasus dari sebelumnya sekitar 700.000 kasus pada 2022. Ditargetkan, penemuan dan deteksi kasus bisa semakin meningkat menjadi 900.000 kasus dari estimasi 1 juta kasus saat ini. Penemuan kasus tersebut terutama untuk menyaring 2,2 juta populasi yang berisiko tinggi tuberkulosis.
”Kami melibatkan masyarakat untuk membentuk TB Army, sebuah komunitas terlatih bagi para penyintas TB yang membantu mendeteksi dan mengawasi pasien TB-MDR (multidrug-resistant tuberculosis),” ujar Budi. TB-MDR merupakan jenis tuberkulosis yang kebal terhadap dua obat antituberkulosis. Bakteri tuberkulosis yang ada di dalam tubuh pasien TB-MDR tidak lagi mempan untuk dibunuh oleh obat-obatan tersebut.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan, berbagai upaya juga dilakukan untuk menurunkan angka kejadian kasus tuberkulosis di Indonesia.
Upaya tersebut antara lain dengan mencapai keberhasilan pengobatan lebih dari 90 persen, memastikan alat penapisan dan diagnostik yang lebih akurat dan bisa diakses dengan mudah, serta memastikan penemuan kasus secara intensif, termasuk pada kasus TBC tanpa gejala yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan.