Estimasi Kasus TBC di Indonesia Naik Jadi Lebih dari 1 Juta Kasus
Kasus TBC di Indonesia diperkirakan lebih dari 1 juta kasus. Penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan amat penting.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Estimasi kasus tuberkulosis secara global mengalami peningkatan. Peningkatan estimasi kasus tersebut juga terjadi di Indonesia yang diperkirakan menjadi lebih dari 1 juta kasus. Peningkatan estimasi kasus tersebut perlu direspons dengan meningkatkan penemuan kasus, memaksimalkan terapi pengobatan, serta mulai menginisiasi penggunaan vaksin baru tuberkulosis.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia diestimasikan mencapai 1.060.000 kasus. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2021 yang sebanyak 969.000 kasus dan tahun 2020 sebanyak 824.000 kasus. Peningkatan insidensi tuberkulosis di Indonesia 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan dunia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi yang dihubungi di Jakarta, Rabu (7/2/2024), mengatakan, estimasi kasus yang meningkat di Indonesia telah diiringi pula dengan peningkatan pada upaya penemuan kasus. Setidaknya tercatat kasus yang ditemukan pada 2023 mencapai 816.297 kasus. Jumlah itu meningkat dari tahun 2021 yang sebanyak 443.235 kasus dan 2022 sebanyak 724.309 kasus.
”Kita harus terus meningkatkan angka penemuan kasus atau minimal mempertahankannya di angka lebih dari 70 persen dari estimasi kasus. Namun, pemerintah telah menargetkan penemuan kasus bisa mencapai lebih dari 90 persen dan kemudian diobati,” tuturnya.
Ia menuturkan, upaya lain yang juga harus dilakukan untuk menurunkan insidensi kasus TBC di Indonesia, antara lain dengan mencapai keberhasilan pengobatan lebih dari 90 persen, memastikan alat skrining dan diagnostik yang lebih akurat bisa diakses dengan mudah, serta memastikan penemuan kasus secara intensif, termasuk pada kasus TBC tanpa gejala yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) juga perlu dilakukan dengan cakupan lebih dari 60 persen pada kontak serumah dengan pasien TBC terkonfirmasi.
Imran menambahkan, pemerintah akan berupaya pula dengan mulai menginisasi penggunaan vaksin baru TBC dengan sasaran minimal 30 persen populasi berisiko tertular TBC. Inisiasi vaksin TBC akan mulai dilakukan pada 2025. Adapun opsi lain dari pemberian vaksin TBC yakni pemberian vaksin BCG untuk dewasa.
Kenaikan insidensi
Imran menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan angka insidensi TBC di masyarakat mengalami peningkatan. Terjadinya disrupsi layanan TBC selama masa pandemi turut menjadi penyebabnya. Selama masa pandemi, upaya penemuan kasus juga pemberian terapi mengalami kendala. Dampaknya pun terjadi beberapa tahun kemudian pascapandemi terjadi.
Banyak orang, terutama satu juta lebih orang dengan tuberkulosis, yang berharap adanya kejelasan di debat tema kesehatan kemarin.
”Jumlah kasus yang tidak dilaporkan atau under-reporting juga tidak diketahui secara pasti. Karena itu, kita sekarang akan memperkuat pengumpulan data epidemiologis melalui survei untuk menghasilkan perhitungan beban yang lebih presisi lewat studi inventori dan survei prevalensi TBC nasional,” tuturnya.
Imran menambahkan, banyaknya kasus yang tidak dilaporkan itu kendala yang dihadapi dalam pengentasan TBC di Indonesia. Kendala lain yang dihadapi adalah kasus TBC yang telah ditemukan dan diobati di fasilitas kesehatan, tetapi tidak dilaporkan di sistem pencatatan dan pelaporan nasional. Selain itu, kasus tuberkulosis yang ada di masyarakat juga masih ada yang belum ditemukan dan belum terdiagnosis (underdiagnosed).
Menurut dia, intervensi seperti perbaikan sistem pelaporan dan Public-Private Mix (PPM) akan cepat menurunkan angka kasus yang tidak terlaporkan. Sementara upaya skrining TBC secara massal ataupun pencarian kasus secara aktif (active case finding/ACF) dapat menurunkan angka kasus yang tidak terdiagnosis.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Henry Diatmo dalam siaran pers mengatakan, berbagai hal masih harus dilakukan untuk mencapai target eliminasi TBC pada 2030. Selain stigma dan diskriminasi, kendala lain adalah masih tingginya kesenjangan antara angka pasien yang terkonfirmasi positif dengan pasien yang memulai pengobatan.
Seharusnya semua pasien yang sudah terkonfirmasi positif TBC bisa mendapatkan pengobatan hingga tuntas. Mengutip data Kementerian Kesehatan, dari 816.297 kasus TBC yang ditemukan pada 2023 baru sekitar 691.304 kasus yang mendapatkan pengobatan.
Terkait hal itu, Henry pun menyayangkan isu TBC sama sekali tidak disinggung dalam debat kelima capres 2024 pada Minggu, 4 Januari 2024. ”Banyak orang, terutama satu juta lebih orang dengan tuberkulosis, yang berharap adanya kejelasan di debat tema kesehatan kemarin. Hal ini menunjukkan bahwa tuberkulosis masih belum menjadi isu prioritas,” katanya.