Pemeriksaan Kasus Tuberkulosis Resistan Obat Belum Optimal
Kapasitas diagnosis tuberkulosis resistan obat perlu ditingkatkan melalui dukungan teknologi yang mumpuni. Diagnosis yang tepat akan mendukung upaya penemuan kasus yang lebih cepat sehingga penanganan juga lebih baik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Cirebon menunjukkan sampel dahak untuk pemeriksaan tuberkulosis di Auditorium Adang Hamara Lapas Narkotika Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pertengahan Maret 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus tuberkulosis resistan obat yang terdeteksi diperkirakan baru mencapai 40 persen. Hal ini dapat menghambat target eliminasi kasus tuberkulosis pada 2030. Peningkatan kapasitas diagnostik tuberkulosis resistan obat pun harus diperkuat di seluruh wilayah.
Data Kementerian Kesehatan per 2021 menunjukkan, estimasi kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 969.000 kasus. Namun, kasus yang ditemukan baru mencapai 443.235 kasus. Dari jumlah itu, 8.269 kasus merupakan kasus tuberkulosis (TBC) resistan obat atau sekitar 40 persen dari jumlah kasus TBC RO sebenarnya.
Peneliti dari Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Kindi Adam, dalam acara arahan media yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin (20/3/2023), mengatakan, pemeriksaan kasus TBC resistan obat (TBC RO) di Indonesia masih belum optimal. Jumlah kasus yang diperiksa pun masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan negara lain yang juga memiliki kasus TBC tinggi, seperti India dan China.
”Pemerintah terus berupaya untuk terus memperluas distribusi alat pemeriksaan tuberkulosis serta laboratorium pemeriksaannya. Setidaknya untuk alat tes cepat molekuler sudah tersedia sebanyak 2.201 alat yang tersebar di 34 provinsi,” katanya.
Kindi menyampaikan, tes cepat untuk pemeriksaan TBC RO bisa dilakukan dengan menggunakan Xpert MTB/RIF atau yang lebih dikenal dengan GeneXpert. Selain itu, tes cepat juga bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi line probe assay (LPA). Saat ini, terdapat tujuh laboratorium LPA di Indonesia, antara lain di Palembang, DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Makassar.
”Kami pun telah mengembangkan metode pemeriksaan dengan whole genome sequencing (pengurutan genom). Metode ini digunakan untuk diagnostik level kedua dan ketiga. Selain itu, ini juga untuk mendukung upaya surveilans dan analisis mendalam,” tuturnya.
Ketua Perhimpunan dan Organisasi Pasien TB Indonesia yang juga penyintas TBC RO, Budi Hermawan, menuturkan, infrastruktur yang kuat didukung dengan teknologi mumpuni amat dibutuhkan dalam deteksi TBC RO. Gejala TBC RO tidak berbeda dengan TBC biasa sehingga pemeriksaan harus dilakukan secara tepat.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon bersiap mengambil sampel darah warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Cirebon untuk pemeriksaan tuberkulosis dan HIV di Auditorium Adang Hamara Lapas Narkotika Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pertengahan Maret 2020.
Ia menambahkan, kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan tuberkulosis juga perlu ditingkatkan. Banyak orang enggan untuk melakukan pemeriksaan karena masih tingginya stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Padahal, terapi bisa terhambat dan risiko TBC RO menjadi lebih besar.
”Stigma dan diskriminasi seperti penyakit kedua dari pasien tuberkulosis. Itu yang menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal. Tuberkulosis bisa disembuhkan dengan pengobatan sampai tuntas,” ucap Budi.
Stigma dan diskriminasi seperti penyakit kedua dari pasien tuberkulosis. Itu yang menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal. Tuberkulosis bisa disembuhkan dengan pengobatan sampai tuntas.
Director of AMEA Asia Pacific, Middle East and Africa Product Marketing and Emerging Markets Illumina Anna Carrera mengatakan, dukungan akan diberikan untuk negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam upaya peningkatan deteksi kasus TBC di masyarakat. Dukungan tersebut dilakukan melalui kemitraan dengan pengadaan alat uji berbasis next-generation sequencing (NGS). Alat ini ditargetkan untuk mendeteksi TBC RO secara cepat dan ekstensif.
”Pengujian NGS juga akan bermanfaat untuk pengendalian tuberkulosis melalui penyediaan data surveilans tentang resistansi obat,” ucapnya.
Kasus anak
Secara terpisah, Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia Rina Triasih menyampaikan, kewaspadaan juga diperlukan untuk kasus TBC pada anak. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah kasus TBC pada anak sebanyak 42.187 kasus.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Hasil rontgen paru warga dalam kegiatan penapisan tuberkulosis (TB) di GOR Otista, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (9/2/2023). Kegiatan penapisan melalui rontgen, tes mantoux, dan pemeriksaan dahak ini menjadi bagian dari upaya penanganan kasus tuberkulosis sejak dini di masyarakat.
”TBC pada anak dan remaja juga penting untuk diperhatikan karena selama ini TBC pada anak tidak menjadi prioritas penanganan karena dianggap tidak menularkan. Kenyataannya, remaja cenderung memiliki tipe TBC yang sama dengan dewasa sehingga risiko penularan juga tinggi,” katanya.
Selain itu, Rina menuturkan, anak berisiko untuk tertular TBC karena banyak pasien yang belum berobat. Daya tahan tubuh anak yang rendah dapat memunculkan risiko kondisi TBC berat yang dapat mengakibatkan kematian.
Itu sebabnya, orangtua pun perlu waspada akan gejala TBC pada anak. Umumnya, gejala yang ditimbulkan berupa batuk dalam waktu lama lebih dari dua pekan meskipun sudah mendapatkan pengobatan. Gejala lain, demam lebih dari dua pekan tanpa sebab jelas, berat badan turun atau menetap selama dua bulan, lesu dan tidak seaktif biasanya.
Rina menyampaikan, pada kondisi tersebut, orangtua perlu waspada akan penularan TBC. Pengobatan yang cepat dan tepat diperlukan pada anak yang tertular TBC. Jika sakit TBC, anak bisa sembuh secara total melalui pengobatan teratur dan tuntas. Pada kasus TBC ringan, pengobatan perlu diberikan setidaknya selama enam bulan. Sementara pada TBC ekstra paru berat, seperti TBC otak dan TBC tulang, perlu dilakukan pengobatan selama 12 bulan.
”TBC pada anak juga bisa dicegah dengan memberikan vaksin BCG pada bayi usia 0-3 bulan serta obat pencegahan TBC bagi anak dan remaja yang melakukan kontak erat dengan pasien TBC,” katanya.