Perempuan dengan HIV yang Masih Hidup dalam Stigma dan Kekerasan
Kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV hingga kini masih menjadi fenomena gunung es. Banyak yang tidak terungkap.
Perempuan yang hidup dengan HIV memiliki kerentanan berlapis, yaitu menjadi korban kekerasan berbasis jender dan diskriminasi. Perlakuan ketidakadilan, stigma, dan bahkan perlakuan tidak manusiawi kerap mereka alami.
Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mencatat, hingga kini ketidakadilan terus terjadi secara konstan dan sistematis. Alasannya, ketiadaan hukum yang dapat memberikan perlindungan kepada perempuan yang hidup dengan HIV dari stigma, diskriminasi, dan kekerasan.
Selain mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, sejumlah perempuan yang hidup dengan HIV juga harus memiliki resiliensi. Hal ini harus mereka miliki agar mereka tetap mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak mereka serta mempertahankan dan mendapat dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pihak.
Baca juga: Perempuan Muda dengan HIV Rentan Menjadi Korban Kekerasan
Karena itulah, IPPI dan sejumlah lembaga terus menyosialisasikan pentingnya perlindungan terhadap perempuan (termasuk anak) yang hidup dengan HIV. Mereka juga mendorong pemerintah dan masyarakat agar meningkatkan sensitivitas pada situasi dan kondisi perempuan yang hidup dengan HIV dan kerentanannya pada kekerasan berbasis jender. Dorongan tersebut termasuk upaya integrasi layanan kesehatan HIV dan layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan yang lebih ramah dan memenuhi kebutuhan pada perempuan dengan HIV.
Salah satu cara menyosialisasikan pentingnya perlindungan terhadap perempuan dengan HIV adalah melalui media film. Seperti pada film berjudul Harus yang diluncurkan IPPI sekitar 10 tahun yang lalu. Film tersebut dibuat berdasarkan kisah nyata dari para perempuan dengan HIV yang mengalami kekerasan berlapis, baik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan dari orang yang berada di lingkungannya.
Adalah cerita tentang kehidupan Eli, seorang perempuan pekerja migran di Malaysia yang menikah dan memiliki anak yang diceritakan dalam film tersebut. Ketika Eli bekerja ke Malaysia, sang suami ternyata berhubungan dengan perempuan lain di lokasi prostitusi.
Ketika anak perempuan mereka meninggal setelah sakit, suaminya dan keluarganya malah menyalahkan Eli. Di rumah, Eli mengalami KDRT. Belakangan, suaminya meninggal akibat virus HIV, dan Eli harus berjuang keras untuk melanjutkan hidup.
Yang terburuk dan baru kami temui di tahun 2023 adalah angka kasus pada perempuan usia muda serta eskalasi tindak kekerasan pada perempuan dengan HIV yang berujung pada femisida atau kematian pada perempuan.
Film tersebut hanyalah satu dari sekian situasi kekerasan yang dialami oleh para perempuan dengan HIV. Ada sejumlah kekerasan lain yang masih dialami mereka seperti yang tampak dalam pengaduan yang diterima IPPI.
Pada kegiatan Peluncuran Catatan Tahunan Delila: Data Penerimaan Pengaduan Kekerasan Perempuan Dengan HIV Periode Pendokumentasian Tahun 2023 yang dilakukan oleh IPPI di Jakarta, Rabu (7/2/2024), film tersebut juga ditayangkan. Catatan Tahunan Delila IPPI berisi pengaduan kekerasan berbasis jender pada perempuan yang hidup dengan HIV di 10 provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT), DKI Jakarta, Lampung, Jawa Tengah, Bali, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
Koordinator Nasional IPPI, Ayu Oktariani, mengungkapkan dalam pengaduan yang diterima sepanjang Januari-Desember 2023, IPPI menemukan kembali kekerasan berbasis jender pada perempuan dengan HIV (fisik, psikis, kekerasan seksual, stigma, penelantaran ekonomi, kekerasan berbasis jender daring). Bahkan, ada perempuan dengan HIV penyintas yang berulang kali mengalami kekerasan.
Mengalami kekerasan di usia muda
Sepanjang tahun 2023, angka kasus kekerasan pada perempuan dengan HIV di usia muda dan perempuan pekerja seks anak meningkat. ”Yang terburuk dan baru kami temui di tahun 2023 adalah angka kasus pada perempuan usia muda serta eskalasi tindak kekerasan pada perempuan dengan HIV yang berujung pada femisida atau kematian pada perempuan,” kata Ayu.
Pada tahun lalu, petugas penerima pengaduan IPPI menerima 54 kasus pengaduan dari perempuan dengan HIV yang mengalami kekerasan berbasis jender. Dari 54 data kasus tersebut, korban paling banyak di rentang usia 20-39 tahun.
Ada juga enam korban berusia anak berusia 10-19 tahun, yang di antaranya adalah pekerja seks yang berusia 14, 17, dan 18 tahun. Ada juga yang menjadi ibu rumah tangga muda (18 tahun) dan anak perempuan berusia 15 tahun yang terinfeksi HIV dari kedua orangtuanya.
Baca juga: Cegah Penularan Vertikal HIV dari Ibu ke Anak
Pengaduan kasus kekerasan paling terbesar dari NTT, yakni 21 kasus, disusul DKI Jakarta (10), Lampung (5), Jateng (5), Bali (4), Jawa Barat (3), Kalbar (2), DIY (2), Sumut ( 1), dan Sulut (1). ”Di tahun 2023 ini, kasus kekerasan berbasis jender yang dialami oleh perempuan yang hidup dengan HIV paling banyak dilaporkan langsung oleh korban, yakni perempuan dengan HIV itu sendiri, berjumlah 49 kasus,” papar Ayu.
Sementara 4 kasus sisanya dilaporkan oleh keponakan dan ibu kandung korban serta paralegal dan pendamping sebaya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Adapun pelaku kekerasan paling banyak adalah suami (22) dan pacar (6), sisanya atasan, teman, dan lain-lain.
Empat kasus menonjol
Dari Catahu IPPI, ada empat kasus menonjol dari semua pengaduan yang diterima. Keempatnya yaitu pengaduan tentang perempuan dijadikan kurir narkoba, pekerja seks anak, pengaduan didominasi kasus perempuan dengan HIV kekerasan dari atasan kerja, dan kematian akibat kekerasan.
Pada kasus perempuan yang dijadikan kurir narkoba, Catahu IPPI menemukan situasi dari perempuan yang tidak hanya rentan pada penularan HIV, tetapi juga rentan mengalami kekerasan berlapis. Perempuan tersebut berhadapan dengan hukum, menjadi pelaku, dan menjalani hukuman di rumah tahanan.
Pada 2023, IPPI menemukan tren peningkatan angka kasus HIV pada perempuan usia remaja dikarenakan perilaku berisiko. Sejumlah kondisi seperti permasalahan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga membuat anak-anak rentan mengalami eksploitasi seksual.
”Anak-anak yang hidup dengan HIV sangat membutuhkan pendidikan serta pola asuh dan perlindungan yang baik sehingga pengobatan ARV dapat terpenuhi, kesehatan terjaga, serta anak dan remaja perempuan dapat melindungi dirinya dari kekerasan berbasis jender,” ucap Ayu.
Pada 2023 juga terdapat sejumlah kekerasan dari atasan kerja yang dialami oleh perempuan yang hidup dengan HIV. Mereka mengalami pemaksaan pemeriksaan HIV yang berujung pada penghentian status pekerja dan pemecatan karena kondisi HIV diketahui.
Jika tidak diminum, berisiko untuk kesehatannya di masa mendatang.
Adapun kasus kematian perempuan yang hidup dengan HIV akibat KDRT. Satu kasus tersebut dialami perempuan pekerja seks yang menikah selama dua tahun, tetapi dia belum memberi tahu statusnya dan tidak melakukan pengobatan. Saat suaminya mengetahui status HIV, korban dituduh berkhianat dan mendapat kekerasan verbal yang berujung pada kondisi korban memburuk yang akhirnya berujung pada kematian.
Pengaduan yang dicatat oleh IPPI mendapat perhatian dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Endang Lukitosari, Ketua Tim Kerja HIV Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Kemenkes, mengungkapkan, sebaran usia orang dengan HIV bisa terjadi di semua siklus, mulai dari saat masih di kandungan, dilahirkan, anak, remaja, hingga dewasa dan lanjut usia. Semua usia ada dalam laporan dengan HIV.
Walaupun laki-laki dengan HIV lebih banyak jumlahnya sekitar 60 persen dan perempuan sekitar 40 persen, situasi perempuan lebih kompleks. Misalnya, seorang ibu hamil saat dilakukan pemeriksaan HIV dan status HIV positif, tidak semua mau diberikan obat ARV.
Beberapa dari mereka menyampaikan ketakutan bakal ada kekerasan. Bahkan, kekerasan tersebut sudah terjadi sehingga menyebabkan mereka tidak mau minum obat atau yang sudah minum obat memilih berhenti daripada berisiko atas keselamatannya.
”Padahal, obat jika tidak diminum berisiko untuk kesehatannya di masa mendatang,” ujar Endang. Karena itu, ia berharap Catahu IPPI bisa ditindaklanjuti.
Baca juga: Perempuan dengan HIV Butuh Lebih dari Sekadar Obat
Dukungan untuk perlindungan terhadap perempuan dengan HIV juga disampaikan Theresia Sri Endras Iswarini (Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan) dan Eni Widiyanti (Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).
Iriantoni Almuna dari UN Women mengingatkan, kekerasan yang dialami perempuan termasuk perempuan dengan HIV harus menjadi perhatian. Kekerasan ini hingga kini masih menjadi fenomena gunung es karena masih banyak yang belum dilaporkan. dan kemungkinan jumlahnya lebih besar dari yang dilaporkan.
Data pengaduan kekerasan yang dicatat oleh IPPI menjadi alarm bagi semua pihak. Sebab, ketika seorang perempuan terinfeksi HIV, tidak hanya sebatas masalah kesehatan, tetapi risiko mereka mengalami kekerasan dan diskriminasi juga semakin meningkat. Maka, upaya melindungi perempuan dengan HIV dari kekerasan seharusnya semakin ditingkatkan, bukan sebaliknya.