Perempuan Muda dengan HIV Rentan Menjadi Korban Kekerasan
Perempuan dan anak dengan HIV membutuhkan perlindungan dari berbagai kekerasan. Kehadiran negara dan masyarakat penting.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan yang hidup dengan HIV di Indonesia hingga kini masih mengalami ketidakadilan, baik sebagai perempuan maupun sebagai perempuan korban kekerasan. Sepanjang 2023, jumlah kasus kekerasan pada perempuan dengan HIV di usia muda dan perempuan pekerja seks anak meningkat.
Pengaduan yang diterima Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), sepanjang Januari-Desember 2023, menemukan kembali kekerasan berbasis jender yang dialami para perempuan dengan HIV. Kekerasan tersebut berupa fisik, psikis, kekerasan seksual, stigma, penelantaran ekonomi, serta kekerasan berbasis jender daring. Ditemukan pula perempuan dengan HIV penyintas yang berulang kali mengalami kekerasan.
”Sebenarnya hambatan dan tantangannya tidak berubah, hampir sama, masih di situ-situ saja. Mulai dari lemahnya posisi tawar hingga mereka tidak paham apa itu kekerasan, jadi korban hanya cerita, tapi tidak mau menindaklanjutinya,” ujar Koordinator Nasional IPPI Ayu Oktariani pada ”Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Delila: Data Penerimaan Pengaduan Kekerasan Perempuan dengan HIV Periode Pendokumentasian Tahun 2023” di Jakarta, Rabu (7/2/2024).
Peluncuran Catahu dihadiri Ketua Tim Kerja HIV Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Kementerian Kesehatan Endang Lukitosari dan Iriantoni Almuna dari UN Women Indonesia. Kegiatan ini menghadirkan penanggap Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini dan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Eni Widiyanti.
Catahu Delila IPPI berisi pengaduan kekerasan berbasis jender pada perempuan yang hidup dengan HIV di 10 provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, Lampung, Jawa Tengah, Bali, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
Sepanjang 2023, petugas penerima pengaduan IPPI menerima 54 kasus pengaduan dari perempuan dengan HIV yang mengalami kekerasan berbasis jender. Dari 54 data kasus tersebut, korban paling banyak berusia 20-39 tahun. Sementara itu, ada enam korban berusia anak (usia di bawah 19 tahun).
Catahu IPPI juga menemukan adanya pelanggengan stigma diskriminasi pada perempuan yang hidup dengan HIV (PDHA). Temuan lain adalah adanya penyangkalan situasi HIV pada pelaku yang berdampak pada pelarangan pengobatan antiretroviral (ARV) pada korban serta meningkatnya kekerasan pada PDHA dengan situasi hamil.
Perempuan yang positif HIV lebih rentan empat kali lipat mengalami kekerasan seksual dan enam kali lipat rentan mengalami kekerasan fisik di masa kehamilan.
”Yang terburuk dan baru kami temui tahun 2023 adalah angka kasus pada perempuan usia muda serta eskalasi tindak kekerasan pada perempuan dengan HIV yang berujung pada femisida atau kematian pada perempuan,” kata Ayu.
Masih banyak hambatan dan tantangan
Kendati ada peningkatan kesadaran komunitas PDHA untuk melaporkan kasusnya, hingga kini pengaduan dan penanganan berbagai kasus masih menghadapi tantangan dan hambatan. Selain posisi tawar PDHA yang lemah, hingga kini masih ada ketakutan dan keraguan untuk melaporkan karena khawatir status HIV mereka akan terbuka oleh publik.
Di sisi lain, masih banyak petugas layanan kesehatan yang tidak memahami hak PDHA dalam mengakses layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan kebutuhan lainnya sebagai perempuan. Mispersepsi tersebut menyebabkan terjadinya stigma diskriminasi pada perempuan.
Karena itu, Catahu IPPI merekomendasikan pentingnya sosialisasi kekerasan berbasis jender kepada semua pihak, termasuk kepada perempuan dengan HIV, pendamping, dan petugas layanan kesehatan. Hal ini bertujuan agar semua pihak lebih memahami dan lebih sensitif pada kemungkinan dan potensi terjadinya kekerasan terhadap PDHA.
Rekomendasi lain adalah pentingnya menguatkan kualitas penerimaan pengaduan kepada para petugas penerima pengaduan IPPI di seluruh daerah dan melatih para petugas dinas kesehatan dan Dinas PPPA serta komunitas pendamping sebaya tentang pemahaman kekerasan berbasis jender, apa yang harus dilakukan mereka saat berhadapan perempuan dengan HIV korban kekerasan.
Endang Lukitosari mengungkapkan pentingnya perhatian pada perempuan dengan HIV karena mereka menghadapi persoalan yang kompleks. Misalnya, perempuan dengan HIV yang dalam kondisi hamil sering tidak mau diberikan obat ARV meskipun sudah mengetahui statusnya positif terkena HIV.
”Beberapa takut nanti ada tindakan kekerasan, bahkan sudah terjadi ada yang tidak mau minum obat, karena takut akan berisiko pada keselamatannya,” katanya.
Karena itu, Endang berharap upaya mengurangi kekerasan pada perempuan dan anak dengan HIV harus terus dilakukan semua pihak. Hal tersebut juga menjadi bagian untuk menyukseskan program Indonesia Bebas AIDS 2030.
Iriantoni Almuna menyatakan, UN Women mengapreasiasi data di Catahu IPPI. Data pengaduan kekerasan yang dicatat IPPI menjadi alarm bagi semua pihak.
”Data ini mengingatkan kita bahwa ketika seorang perempuan terinfeksi HIV, isu ini tidak hanya sebatas masalah kesehatan, tapi juga berkait erat dengan isu sosial lainnya, yaitu meningkatnya kerentanan mereka terhadap kekerasan dan diskriminasi,” ujar Iriantoni.
Catahu IPPI juga mendapat tanggapan dari Komnas Perempuan dan Kementerian PPPA. Eni Widiyanti menyatakan, perempuan kelompok rentan, seperti perempuan dengan HIV, membutuhkan perhatian lebih, termasuk dalam hal akses layanan kesehatan serta perlindungan. ”Komitmen negara sudah sangat lengkap untuk pemenuhan hak dasar dari perempuan,” tuturnya.
Terkait kekerasan terhadap perempuan, Theresia mengungkapkan, hingga kini Komnas Perempuan menerima berbagai pengaduan kekerasan yang dialami perempuan, termasuk terkait perempuan dengan HIV/AIDS. ”Perempuan yang positif HIV lebih rentan empat kali lipat mengalami kekerasan seksual, dan enam kali lipat rentan mengalami kekerasan fisik di masa kehamilan,” kata Theresia.