Dinanti Terobosan untuk Kemajuan Pendidikan Tinggi
Debat capres 2024 untuk pendidikan tinggi belum menyentuh pembenahan dasar untuk mengatasi liberalisasi pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan pendidikan yang fundamental belum tersentuh dalam program-program yang ditawarkan calon presiden dalam Pemilu 2024. Tawaran program bersifat biasa-biasa saja, tanpa ada terobosan baru untuk membenahi akar persoalan pendidikan.
Dalam debat kelima calon presiden (capres) 2024 pada Minggu (4/2/2024) malam, sejumlah isu pendidikan tinggi muncul, antara lain tentang biaya kuliah yang mahal dan seharusnya bukan ditawarkan dengan alternatif pinjaman daring. Selain itu, terlontar pula peran tridarma dosen dan perguruan tinggi, beban administratif yang membelenggu dosen, hingga kesejahteraan dosen.
Ada pula pembicaraan tentang perlunya pengembangan program studi yang berfokus pada sains, teknik, engineering, dan matematika (STEM) untuk mendukung daya saing bangsa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, penambahan program studi kedokteran, hingga pengiriman talenta terbaik ke perguruan tinggi luar negeri untuk kedokteran dan STEM. Debat juga mengarahkan pendidikan tinggi sebagai investasi dan modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya keluarga miskin.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji di Jakarta, Senin (5/2/2024), menyayangkan tawaran program dan jawaban para calon presiden yang bersifat biasa-biasa saja, tanpa ada terobosan baru dan tawaran sebuah sistem pendidikan yang lebih berkeadilan.
Di jenjang pendidikan tinggi, misalnya, tidak ada solusi konkret untuk menghentikan agenda liberalisasi di pendidikan tinggi. Padahal, biaya kuliah yang tinggi dikeluhkan dan membuat akses ke perguruan tinggi tidak bisa melesat tajam akibat terkenda biaya kuliah tinggi, meskipun kuliah di perguruan tinggi negeri.
Terkait biaya kuliah mahal yang mendorong mahasiswa terbelit pinjaman daring, Anies Baswedan mengungkit ini dengan melempar pertanyaan kepada Ganjar Pranowo. Anies mengatakan, Kampus Merdeka bukan berarti kampus (bersikap) merdeka menaikkan biaya pendidikan sehingga banyak mahasiswa yang sulit membayar uang kuliah tunggal (UKT). Bahkan, mahasiswa yang kesulitan membayar UKT sampai dianjurkan mengakses pinjaman online.
Baca juga : Pendidikan Tinggi yang Kita Dambakan
Liberalisasi pendidikan
Ganjar mengatakan, liberalisasi pendidikan harus dihentikan. Berikan kepada mahasiswa proporsi pembiayaan yang benar sesuai kemampuan. Dia menyampaikan tentang program satu keluarga miskin satu sarjana sebagai ikhtiar untuk mengangkat derajat para mahasiswa miskin. Dahulu, ada program kredit Mahasiswa Indonesia yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran pendidikan pascapanen.
”Liberalisasi pendidikan perlu dihentikan. Yang kurang mampu harus dibantu dan perguruan tinggi perlu menunjukkan bahwa ada asas proporsional sesuai strata sosial ekonomi,” kata Ganjar.
Ganjar menegaskan, jika mau membangun sumber daya manusia (SDM), tidak boleh diingkari bahwa pendidikan adalah investasi. Karena itu, pendidikan jangan dihitung sebagai biaya atau cost. Dalam hal ini, kehadiran negara jadi penting untuk memastikan adanya kebijakan yang berpihak pada kelompok lemah, yakni orang miskin, perempuan, dan penyandang disabilitas supaya mendapat akses pendidikan tinggi yang murah.
Baca juga: Pengajuan Keringanan Biaya Kuliah Selalu Tinggi
Anies sepakat agar biaya perguruan tinggi terjangkau bagi semua. Menurut Anies, pendidikan tinggi harus dilihat sebagai penyedia atau supplier pembentukan kelas menengah Indonesia. Karena itu, unsur pembiayaan dari negara harus lebih besar sehingga negara harus mengambil alih biaya itu, bukan justru dibebankan ke universitas. Hal ini agar dosen bisa fokus bekerja pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
”Negara harus menempatkan pendidikan tinggi sebagai eskalator sosial ekonomi. Jadi, kalau cara pandangnya begitu, maka biaya pendidikan tinggi ada dua penyedia, yaitu negara dan orangtua. Unsur pembiayaan dari negara harus lebih besar,” kata Anies.
Menanggapi soal liberalisasi pendidikan tinggi yang berdampak pada mahalnya biaya kuliah, menurut Ubaid, hal tersebut harus dipertanyakan, bagaimana ide dari capres yang mendukung penghentian liberalisasi pendidikan tinggi bisa direalisasikan. Dalam masalah ini, tidak disinggung akar masalah dasar adanya status PTN Badan Hukum dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
”Jika para kandidat itu menginginkan perubahan sistem yang kini dianggap sebagai liberalisasi pendidikan, maka ide terobosannya adalah harus berani menghapus status PTN Badan Hukum sebagai biang kerok mahalnya biaya kuliah. Sayangnya, tidak ada satu pun kandidat yang mempersoalkan soal status PTN Badan Hukum dan sistem yang tidak berkeadilan yang termaktub dalam UU Pendidikan Tinggi,” kata Ubaid.
Kedokteran dan STEM
Sementara itu, Prabowo Subianto mengatakan, di perguruan tinggi perlu diperkuat bidang STEM serta menambah prodi kedokteran. Saat ini, fakultas kedokteran yang jumlahnya 92 institusi perlu dibangun lagi menjadi 300 fakultas agar bisa memenuhi kekurangan tenaga dokter sebanyak 140.000 dokter.
Pemenuhan ini dilakukan dengan mengirimkan 10.000 lulusan SMA lewat pemberian beasiswa ke luar negeri untuk belajar kedokteran dan 10.000 lulusan SMA/SMK untuk mendalami STEM guna merebut penguasaan pada teknologi dan sains.
Prabowo mencontohkan, di Atambua, Nusa Tenggara Timur, misalnya, satu rumah sakit seharusnya punya 16 dokter, tetapi hanya ada 1 dokter di sana sehingga dokter yang ada sangat kewalahan melayani pasien. ”Jadi, bagaimanapun pemerintah harus ambil tindakan-tindakan yang cukup darurat untuk itu. Menurut kami, kita harus mengambil langkah berani (dengan) mengirim sebanyak mungkin anak pintar,” ujar Prabowo.
Baca juga : Utak-atik Sekolah Dokter
Terkait pendidikan kedokteran, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Zainal Muttaqin dalam Opini Kompas (8/9/2023) mengatakan, terlihat ada arah untuk mengapitalisasi pendidikan dokter menjadi industri dengan target memproduksi dokter sebanyak-banyaknya seperti produksi mobil dan sepeda motor. Dampak yang paling menakutkan adalah kompetensi institusi ataupun lulusannya yang layak dipertanyakan. Tanpa ada regulasi terkait standar biaya sekolah di fakultas kedokteran serta tanpa subsidi dan kehadiran negara dalam pendidikan fakultas kedokteran, maka kelak lulusannya akan berpraktik kejar setoran demi mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Persoalan kronis dan krusial terkait layanan kesehatan di negara ini adalah maladistribusi dokter. Rasio dokter di DKI Jakarta saat ini 1:680, tetapi di Sulawesi Barat rasionya 1:10.417. Jadi, diskrepansinya 52 kali lipat. Untuk dokter spesialis, rasionya 52 per 100.000 penduduk di DKI Jakarta dan 3 per 100.000 penduduk di Papua. Diskrepansinya 17 kali lipat.
Secara terpisah, Deputi Bidang Pembangunan, Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami mengatakan, salah satu fokus untuk penguatan pendidikan tinggi ialah memperbanyak prodi terkait STEM. Saat ini masih banyak prodi sosial humaniora. Dengan perkembangan, multidisiplin, kolaborasi prodi STEM dan sosial humaniora dapat memperkuat pengembangan iptek yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi bangsa.