Pendidikan Tinggi yang Kita Dambakan
Pendidikan seharusnya menegaskan dan memperkaya kemampuan memikir kritis dan logis. Ini adalah etos yang hendak dikembangkan dan dihormati serta diakomodasi baik oleh sivitas akademika maupun mahasiwa.
Universitas adalah hasil karya abad pertengahan, peninggalan Roma dan Yunani. Walaupun kelihatannya aneh, tetapi benar, masyarakat Yunani dan Romawi purba tidak mengenal universitas dalam pengertian abad ke-21. Mereka memiliki balai pendidikan tinggi, tetapi tidak sinonim dengan universitas dan kelengkapannya.
Mahasiswa datang mencari guru, pembimbing. Instruksi pendidikan, umpama ilmu hukum, retorika, dan falsafah, walaupun berkadar tinggi tetapi tidak terstruktur dalam kelembagaan seperti fakultas atau jurusan. Pendito, misalnya Sokrates, mengajar dengan cara berdialog, tukar pikiran, sementara siswa bersimpuh di depannya. Kalau guru atau pendito utama puas dengan hasil dialog, maka pencari ilmu itu dipercaya untuk mandiri dan menumbuhkan pusat pemikiran baru. Legitimasi tidak ditandai dengan diploma, tetapi karakter pemilik kepercayaan yang memancarkan wibawa, kecakapan, dan wawasan pembaruan.
Di Indonesia, guru dan cantriknya mempunyai tautan-hubungan terhormat. Tradisi itu pernah ditampakkan ketika para pemuda datang menemui guru, atau pendito, untuk menjadi cantrik. Tali-temali intelektual pendito-cantrik itu begitu indah dan menghasilkan, pada waktunya, lembaga pendidikan.
Baca juga : Prinsip Dasar Perguruan Tinggi
Technische Hoogeschool te Bandoeng (TH Bandung yang kemudian menjadi ITB) dapat disebut sebagai salah satu pusat pengecambahan pemikiran tanpa surat keputusan. Kepercayaan sistem terbentuk oleh kemampuan novice membesarkan pusat unggulan, mengetengahkan pemikiran dan hasil kajian. Konsep dasar menuju ke puncak piramida kekuatan keilmuan bukan kekuasaan, tetapi tertata menurut jenjang pertanggungjawaban dan penguasaan keilmuan yang dibenarkan oleh standar keunggulan.
Institusi pendidikan yang ditandai adanya birokrasi di Indonesia dibawa oleh tradisi Belanda. Ada staf pengajar, ujian, dan lain sebagainya, menandai atribut universitas yang kita kenal sekarang. Universitas itu sendiri adalah ”masyarakat ilmuwan”. Menurut De Conde (1971), universitas adalah masyarakat yang mempunyai hak-hak khusus, terhormat tetapi dengan tarikan gravitasi ke bawah besar, alias berat tanggung jawabnya.
Hal lain yang menggembirakan adalah militansi kemahasiswaan, seperti yang tercatat dalam sejarah dunia. Mahasiswa ternyata dapat menjadi agen tepercaya, konsisten melawan kediktatoran dan ketidakadilan. Peran mereka merupakan aset istimewa dalam struktur sosial yang tertindas.
Dengan mempergunakan universitas sebagai tempat berlindung, mereka merupakan kelompok di dalam suatu tatanan otoritarian yang masih leluasa berdebat. Muncul adagium bahwa untuk mengerti struktur politik suatu negara berkembang harus mengerti peran mahasiswa. Beberapa pemimpin pemerintahan bahkan memanfaatkan kekuatan politik mahasiswa (Marx, 1999).
Dengan demikian, seharusnya lahir pula upaya penegakan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat, antara suatu kekhasan terhadap nilai universal. Kekhasan Indonesia tidak boleh selalu dilihat hanya sebagai pembatas, tetapi juga harus dapat diangkat sebagai nilai tambah. Hak istimewa generasi muda yang terhimpun dalam suatu universitas seperti itu patut disyukuri. Tetapi, berbarengan dengan tumbuhnya hak itu didapati sederet kewajiban. Dalam himpunan yang membentuk ”kelas” dengan pagar adi etik dan norma, gerakan itu harus mempunyai penunjuk arah perbaikan bersama yang taut dengan kepentingan di luar lingkaran kebersamaan.
Dengan mempergunakan universitas sebagai tempat berlindung, mereka merupakan kelompok di dalam suatu tatanan otoritarian yang masih leluasa berdebat.
Kini kita hidup dalam masa ”reformasi” yang dicanangkan 24 tahun lalu setelah, katanya, menumbangkan suatu rezim yang ”totaliter”. Janganlah etos itu tampak melumer jiwa dan kadar pengertiannya, ketika kita memasuki periode masa transisi tanpa batas waktu karena nilai dan interest yang tumbuh dan berkembang. Kita tidak hanya belum sempat mengubah nilai dan etika internal, tetapi juga tidak mengubah nilai eksternal yang perlu diperbaiki (Imam Prihadiyoko, 2002; Suyanto, 2002).
Berita dominan dalam media massa dewasa ini berupa tingkah laku menyimpang banyak pemimpin. Kondisi ini muncul akibat pilihan yang belum sempurna walaupun legal. Dilihat melalui kaca pembesar, hal itu memperlihatkan bahwa masyarakat kita mengalami krisis ”moral”, yang sering disebut korupsi hak. Aristoteles menyatakan bahwa seorang yang baik tidak hanya mempunyai satu kebajikan; tetapi sikap dan tindak-tanduk orang tersebut adalah panduan moralitas dalam segala hal.
Sejarah masa depan
Telah diulas bahwa kepemimpinan moral perlu untuk membangun masyarakat. Keberadaan kita semua dalam suatu lingkungan universitas (yang juga sekuler) ini memberi sisi kompetitif: yakni dapat lebih bebas mengeluarkan pendapat dan memilih berbagai tuntutan tentang kebenaran yang tersedia. Perlu dikemukakan bahwa tidak sepantasnya kalau pemilihan suatu kebenaran hanya didasari angin prasangka atau semangat partisan saja. Kita harus menentukan pilihan atas dasar rasio dan nurani. Kita harus menjadikan universitas sebagai pulau karang yang memberi umpan keberanian yang berkarakter dan mengajak unsur akademi kembali pada kiprah sebagai penyalur nilai.
Prof Slamet Imam Santosa (almarhum), dalam kompendium Pembinaan Watak (2004) mengutarakan dalam bab ”Kebebasan Mimbar” dan ”Kebebasan Mimbar Ilmiah” (halaman 221) tentang hakiki kebebasan dalam kehidupan universitas dalam rangka membangun negara melalui jalur pendidikan. Pada dasarnya kebebasan mimbar tidak dapat dipisahkan dari tujuan agung dan mulia. Artinya, kebebasan itu tidak untuk mengeluarkan makian, tetapi untuk menghantar pemikiran positif dan konstruktif.
Baca juga : Pendidikan yang Mencerdaskan
Pendidikan kita seharusnya menegaskan dan memperkaya kemampuan memikir kritis dan logis, menganalisis argumen (dan kontra-argumen), belajar dan mengingat, melihat analogi keadaan dan kejadian, baik yang metaforik maupun yang riil, serta memilah fakta dari pendapat. Ini adalah etos yang hendak dikembangkan dan dihormati serta diakomodasi baik oleh sivitas akademika maupun mahasiwa.
Tergantung daya tangkal apakah proses sejarah itu regresif bagi kemasyarakatan kita, ataukah bersifat konstruktif untuk memperbaiki citra Indonesia. Persiapan yang kita adakan bukan hanya membuat benteng kokoh dan kaku seperti garis Maginot, dalam Perang Dunia I, tetapi membuat struktur lentur sehingga dapat tegak kembali setelah benturan dan terpaan peristiwa itu berlalu. Kegigihan menahan cobaan adalah kata sehari-hari yang baik sebagai parabel.
Mengingat hal tersebut, generasi muda adalah penerus tradisi yang membawa atribut keindonesiaan (lihat, umpama, kumpulan tulisan Keindonesiaan untuk menyongsong masa depan bangsa (Jennifer Jones and Maya HT Liem, KITLV Jakarta 2011; Toeti Heraty Noerhadi, AIPI 2012; Daoed Joesoef dan Ponco Sutowo, Jakarta 2012; Bambang Hidayat, Majalah Atikan 2, 2012, hlm 195).
Kurikulum tidak hanya harus mengetengahkan masalah teknis dewasa ini, tetapi juga ikut menumbuhkan pemikir kritis yang mau meneliti kemungkinan menadah warisan masa depan.
Kurikulum tidak hanya harus mengetengahkan masalah teknis dewasa ini, tetapi juga ikut menumbuhkan pemikir kritis yang mau meneliti kemungkinan menadah warisan masa depan yang berupa: sedikitnya lapangan kerja, bertambah lebarnya celah yang menganga antara yang kaya dan yang miskin, mengerutnya sumber daya alami, mewabahnya penyakit degeneratif, dan memburuknya kesehatan.
Tidak ada salahnya, bahkan harus, sivitas akademika dan mahasiswa mencoba melihat masyarakat masa depan melalui lensa yang menjanjikan: masyarakat yang menemukan kembali dunia kerja nyata, hidup berbahagia dengan penghasilan yang kecil, menyaksikan restorasi lingkungan dan penghematan eksploitasi sumber yang terbatas. Tidak kalah penting, mengajak menanamkan pikiran untuk lebih banyak membagi waktu bagi keluarga serta menikmati kelengketan sosial dan ketetanggaan. Individualisme tidak berarti kita mengurung diri dalam keterpencilan, tetapi individualisme harus diartikan kebebasan menentukan pilihan masa depan dalam kontrak sosial yang ada.
Pentas yang dihadapi
Dengan pandangan yang tidak myopic, kita dapat segera mengindera struktur masyarakat masa depan. Di sana setidaknya ada tiga komponen strategik yang mewarnai upaya membangun masyarakat. Pertama, ekonomi. Ada pergeseran dari pembuatan, manufacturing, kepada jasa dan ekonomi yang berbasis keilmuan. Kedua, teknologi. Bagaimana membesarkan industri berlandaskan sains, seperti komputer, elektronik, optik, polimer, nanoteknologi. Ketiga, sosiologi. Ini bertandakan munculnya elite teknologi di samping adanya strata sosial yang lama.
Sebagian dari ciri itu tanpa kita sadari sudah berada di tengah kita sekarang ini. Seperti halnya penggunaan komputer untuk database atau untuk sarana komunikasi, telah mendesakkan norma baru pada masyarakat kita. Dengan cepat pula arus teknologi yang segar keluar dari tembok studio dan laboratoria, melanda kehidupan kita.
Kemampuan kita bertahan tampaknya sangat tergantung kepada cara kita mencampur adonan kompetisi dengan dosis kolaborasi yang tepat.
Masyarakat dengan inersianya yang besar perlu tempo panjang untuk menyerap sikap budaya dan pranata teknis untuk me-rumah-kan teknologi baru itu ke dalam genggaman hidup. Sementara itu penemuan dan produk baru datang bertubi, melanda sendi kehidupan kita. Dampak ini memperlihatkan bahwa kita tidak dapat hidup sendiri, tetapi harus hidup bersama dalam dunia yang berubah dan harus bersedia menampung azas kompetisi menjadi kolaborasi.
Kemampuan kita bertahan tampaknya sangat tergantung kepada cara kita mencampur adonan kompetisi dengan dosis kolaborasi yang tepat. Kolaborasi antar komponen bangsa apalagi antar bangsa akan mendesakkan paradigma baru yang mencetak persyaratan-persyaratan baru seperti kemampuan berbahasa dan lain sebagainya.
Siklus pembaharuan masyarakat masa depan itu diperoleh dari kodifikasi pengetahuan sains teoritik, bukan seperti halnya pada kebanyakan masyarakat industri, ketika memperoleh sumber pembaharuan dari penemuan acak, atau mungkin secara kebetulan. Setiap masyarakat, dalam sejarah panjang kemanusiaan yang telah kita lampaui, sangat tergantung kepada pengetahuan teoritis akademik sebagai petunjuk arah dan gaya pengubah.
Langkah kita
Disiplin adalah unsur penentu watak. Namun hendaknya kita sadar bahwa dalam kata sesederhana “disiplin”, tergambar satu rentang spektrum sikap dan tabiat. Dan, karena yang kita songsong adalah dunianya ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan etika dan ketaatazasan maka runtutlah kiranya kalau kita tanamkan pengertian disiplin yang bertautan dengan ciri krida kedua cabang kebudayaan yang bernama sains dan teknologi itu.
Sains dan teknologi tidak datang dengan sendirinya. Dia harus kita cari, dirawat dan dikembangkan. Praktik 300 tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa keberadaan sains dan teknologi pada suatu bangsa hanya dapat ditumbuhkan melalui usaha yang sistematik dan sinambung. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa usaha sistematik itu hampir selalu diasosiasikan dengan pengajaran di sekolah, dan pendidikan harus lebih dari sekedar pengajaran. Penanaman “sikap disiplin”, taat azas, harus merupakan usaha sadar yang dibina di manapun juga, termasuk di rumah tangga, dan di lingkungan budaya lokal.
Baca juga: Jembatan Ilmu-ilmu
Dari bidang panoramik masa lalu yang baru saja beranjak ke belakang punggung, kita diingatkan antara lain oleh Peju (2002) yang mempertanyakan apakah universitas kita dewasa ini organisasi militer atau akademik. Pertanyaan Peju itu patut didalami, dan diingat jawabannya, karena polesan citra universitas kita yang cenderung birokratik. Keputusan penting masional yang mengakomodasi harkat hidup orang banyak seharusnya berbasis informasi ilmu pengetahuan. Derap kejiwaan laboratorium penelitian, laboratorium kalibrasi, apalagi laboratorium pengembangan, masih meminta tidak hanya dukungan dana tetapi, yang lebih vital, adalah dukungan manusia ilmuwan itu sendiri yang mau “mengalah” tinggal bersama anak asuhnya dalam arena pengembangan ilmu melalui ketekunan dan dalam kesunyian pamrih materiil.
Bambang Hidayat, Anggota AIPI; Pensiunan Guru Besar Astronomi ITB