Utak-atik Sekolah Dokter
Kebijakan pembukaan FK baru dan peningkatan produksi dokter perlu ditinjau kembali. Kebijakan semacam ini berpotensi menimbulkan ”oversupply” dokter yang berujung pada penurunan kualitas lulusan.
Fakultas kedokteran masih terus menjadi primadona pendidikan tinggi. Saat ini, berbagai institusi seolah berlomba membuka fakultas kedokteran.
Dalam beberapa bulan terakhir, 12 institusi telah membuka fakultas kedokteran (FK) baru. Menariknya, beberapa institusi yang selama ini terkenal fokus pada bidang keilmuan teknis dan spesifik, seperti Institut Teknologi Surabaya dan Institut Pertanian Bogor, juga ikut membuka FK.
Maraknya pembukaan FK baru ini dipicu narasi Kementerian Kesehatan bahwa Indonesia saat ini kekurangan dokter. Bahkan, ada narasi lanjutan yang menyebut negeri ini mengalami defisit darurat dokter. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun merespons dengan membuka keran pendirian FK-FK baru.
Perubahan drastis kebijakan
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan drastis kebijakan (complete policy reversal) terkait stok dokter. Tahun 2016, Kemenkes menarasikan tentang berlebihnya (oversupply) jumlah dokter di Indonesia. Menurut mereka, berdasarkan beban kerja (workload), satu dokter seharusnya dapat melayani 2.500 penduduk.
Jumlah dokter saat itu 111.000, sementara jumlah penduduk 262 juta. Artinya, jumlah dokter telah melebihi rasio 1:2.500 ini. Dengan alasan ini, Kemenkes meminta Kemendikbudristek melakukan pembatasan produksi dokter. Muncullah SK moratorium No 2/M/SE/IX/ 2016. Target moratorium ini adalah mengurangi produksi dokter dari 10.000 menjadi 2.000 per tahun. Pada saat bersamaan, puluhan FK bermasalah tidak dibolehkan menerima mahasiswa baru.
Maraknya pembukaan FK baru ini dipicu narasi Kementerian Kesehatan bahwa Indonesia saat ini kekurangan dokter.
Namun, kebijakan moratorium ternyata tidak berlangsung lama. Akhir 2022, moratorium ini dicabut. Kemenkes punya narasi baru yang berbeda drastis dengan narasi sebelumnya, yaitu jumlah dokter Indonesia sangat kurang. Alasannya, negeri ini tidak memenuhi standar WHO, yaitu tersedianya 1 dokter untuk 1.000 penduduk (1:1.000).
Jumlah dokter harus ditingkatkan segera, di antaranya dengan memperbanyak produksi dokter dan mendatangkan dokter asing. Selain mencabut moratorium, beberapa bulan lalu muncul pula Surat Keputusan Bersama No 02/KB/2022 yang ditandatangani oleh Kemendikbudristek dan Kemenkes. FK-FK yang ada diminta meningkatkan kuota mahasiswanya. Saat bersamaan, marak pembukaan FK-FK baru.
Perubahan kebijakan drastis ini menimbulkan pertanyaan serius tentang metrik yang digunakan dalam menghitung stok dokter; seberapa akurat metrik ini? Bagaimana bisa hanya dalam periode enam tahun terjadi pergeseran fenomena dari oversupply menjadi undersupply dokter? Kecil kemungkinan moratorium bisa memberikan efek reversal signifikan hanya dalam waktu enam tahun. Malah sejumlah FK baru justru didirikan saat fase moratorium. Apa sebenarnya yang terjadi?
Defisiensi data akurat
Perubahan kebijakan drastis produksi dokter dipicu oleh penggunaan data dan metrik yang tidak tepat dan akurat.
Dalam berbagai kesempatan, Menkes selalu menyatakan Indonesia tak memenuhi standar WHO, yaitu tersedianya 1 dokter untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1.000). Dengan rasio ini, Menkes menyebut mestinya terdapat 270.000 dokter untuk 270 juta penduduk. Padahal, menurut Menkes lagi, saat ini hanya terdapat 130.000 dokter. Artinya, negeri ini masih perlu tambahan 140.000 dokter lagi.
Sejatinya, penggunaan rasio 1:1.000 tak relevan. Meski rasio 1:1.000 sering disebut dalam literatur, profil ini hanya digunakan sebagai metrik perbandingan dan bukan rasio standar WHO. WHO tidak pernah mengeluarkan standar rasio dokter terhadap penduduk. WHO paham betul, setiap negara memiliki sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran yang berbeda. Tingkat sosial ekonomi dan kapabilitas pengembangan program kesehatan juga sangat bervariasi.
Oleh karena itu, tak relevan menetapkan sebuah standar pada negara-negara dengan variabilitas lebar sumber daya dan kapabilitas. Kasarnya, prinsip one size fits all tak berlaku.
Selain itu, parameter rasio ini juga terlalu sederhana. Ia dibangun berdasar asumsi bahwa semua dokter yang tercatat masih aktif bekerja di bidang klinis dan semua penduduk memiliki kebutuhan kesehatan yang sama. Padahal, tak semua dokter aktif bekerja klinis. Kebutuhan kesehatan setiap penduduk pun berbeda. Sebagian mungkin membutuhkan dokter umum, sebagian lagi membutuhkan dokter spesialis tertentu. Tidak bisa dipukul rata.
Penggunaan parameter ini bisa menimbulkan bias dan kesalahan estimasi. Karena itu, penggunaannya dalam penentuan status kekurangan dokter tidak relevan.
Ketidakakuratan lain terjadi pada perhitungan jumlah dokter. Kemenkes menyebut jumlah dokter di Indonesia 130.000. Rinciannya: dokter yang bekerja di puskesmas 25.000, rumah sakit (RS) 73.000, klinik mandiri 11.000, praktik mandiri 5.000. Total 114.000. Mungkin ada tambahan lain yang menggenapkannya menjadi 130.000 sesuai versi Kemenkes.
Namun, di sisi lain, catatan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menunjukkan jumlah lain. Dokter yang memiliki surat tanda registrasi (STR) tercatat sebanyak 221.000; 170.000 dokter umum dan 51.000 dokter spesialis. Mengapa terdapat selisih 91.000 antara data Kemenkes dengan KKI?
Kemungkinannya, data Kemenkes hanya mencakup data dokter yang berpraktik klinis secara aktif. Dokter yang berkiprah di luar praktik klinis aktif tak dimasukkan. Padahal bisa jadi mereka juga memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk pendidikan, promosi kesehatan, atau bentuk lain.
Apabila Kemenkes berkeras ingin menggunakan rasio 1:1.000, mestinya semua dokter yang jumlahnya 221.000 ini dimasukkan dalam hitungan; bukan hanya menghitung dokter yang praktik klinis aktif. Terminologi rasio 1:1.000 merujuk kepada adanya 1 dokter untuk 1.000 penduduk dan bukan tersedianya satu dokter praktik klinis untuk 1.000 penduduk.
Apabila terminologi ini dipakai secara tepat oleh Kemenkes, termasuk menggunakan jumlah dokter versi KKI, maka rasio dokter terhadap penduduk saat ini adalah 0,8:1.000. Artinya, untuk mencapai rasio 1:1.000, Indonesia hanya butuh tambahan 50.000 dokter dan bukan 140.000 dokter. Bahkan, kalau menggunakan rasio 1:2.500, seperti yang pernah dipakai Kemenkes dan disebut dalam Permenkumham No 34/2016, jumlah dokter di Indonesia bahkan sudah kelebihan 113.000.
Apakah pemerintah punya program mitigasi, atau sekadar memicu produksi dokter demi ambisi pencapaian rasio tertentu tanpa memikirkan nasib dokter?
Bukan solusi relevan
Maraknya pembukaan FK baru tentu memberi keuntungan pada pihak-pihak tertentu. Meski demikian, dalam tatanan lebih komprehensif, fenomena ini tidak rasional dan berpotensi menggerus pendidikan kedokteran sendiri. Selain tidak didasarkan pada data dan metrik yang adekuat, sejumlah isu membayangi fenomena medical school rush ini.
Pertama, jika Kemenkes berkeras ingin menggunakan rasio 1:1.000 sebagai standar kebutuhan dokter, maka kekurangan dokter di Indonesia berdasarkan jumlah 221.000 dokter adalah 50.000. Saat ini semua FK di Indonesia memproduksi 10.000-12.000 dokter per tahun.
Dengan kapasitas ini, kekurangan 50.000 dokter sebenarnya bisa dipenuhi dalam lima tahun ke depan tanpa perlu menambah FK-FK baru. Menunggu lima tahun tidaklah lama. Bahkan lebih cepat dibandingkan dengan mengandalkan produksi dokter oleh FK-FK baru, yang minimal perlu 6-7 tahun.
Kedua, penambahan puluhan FK baru akan meningkatkan produksi dokter menjadi 11.000-13.000 per tahun. Artinya, dalam 10 tahun mendatang, jumlah dokter di Indonesia akan mencapai 340.000.
Akan terjadi ketidakseimbangan laju produksi dokter dengan laju pertambahan populasi. Pada tahun itu, jumlah dokter meningkat 55 persen, sementara jumlah penduduk hanya meningkat 11 persen dari saat ini. Terjadi oversupply signifikan. Pertanyaannya: bagaimana kesiapan pemerintah dan sektor kesehatan menyerap produksi dokter yang meningkat lima kali lipat dibandingkan dengan laju pertambahan penduduk?
Apakah pemerintah punya program mitigasi, atau sekadar memicu produksi dokter demi ambisi pencapaian rasio tertentu tanpa memikirkan nasib dokter? Ataukah pemerintah akan membiarkan insan profesi ini bersaing bebas dengan risiko merebaknya konflik kepentingan, etika, dan moral, yang ujungnya membahayakan pasien?
Ketiga, salah satu yang dapat dipertimbangkan dalam pembukaan FK adalah rasio jumlah FK terhadap jumlah penduduk. Rasio ini berbeda dari satu negara ke negara lain. Di Amerika dan Kanada, rasionya satu 1 FK untuk dua juta populasi. Di Afrika, satu FK untuk tujuh juta populasi. Di Asia Selatan dan Asia Timur, satu FK biasanya untuk 4-5 juta populasi.
Jika Indonesia sepakat menggunakan figur Asia, mestinya hanya terdapat 50-70 FK di negeri ini. Faktanya, saat ini telah terdapat lebih 100 FK. Ironisnya, kebanyakan FK itu berada di Jawa. FK-FK yang baru-baru ini didirikan hampir semuanya berlokasi di Jawa.
Sentralisasi ini tak sejalan dengan misi pengembangan FK yang salah satunya adalah memberi peluang kepada daerah untuk mendirikan FK agar mahasiswanya lebih banyak berasal dari daerah bersangkutan.
Keempat, pembukaan FK baru tak boleh dilakukan tergesa-gesa dan serampangan. Lulusannya akan bekerja dengan kesehatan dan nyawa manusia.
Mesti ada kecukupan dan pemenuhan standar kuantitas dan kualitas tenaga pengajar, fasilitas, dan kurikulum. Pembukaan FK berlebihan dapat memicu tumpang tindih dalam perekrutan dosen. Dapat terjadi, satu tenaga pengajar harus mengajar di berbagai FK yang berdampak pada kualitas pengajaran mahasiswa.
Pembukaan FK berlebihan dapat memicu tumpang tindih dalam perekrutan dosen.
FK juga perlu memiliki sarana dan prasarana yang memadai dan bahkan modern, termasuk laboratorium khusus, peralatan praktik dan fasilitas penunjang lain. Implementasi kurikulum standar juga mutlak dilakukan. Pendirian FK secara masif dan tergesa-gasa sangat berpotensi mengganggu mutu pendidikan dan luarannya.
Saat ini saja masih cukup banyak FK yang belum memperoleh akreditasi baik. Efek negatif akan muncul pada luarannya. Beberapa waktu lalu, ada FK yang hanya 18 persen lulusannya yang berhasil lulus pada ujian kompetensi dokter.
Kualitas lebih utama
Kebijakan pembukaan FK baru dan peningkatan produksi dokter perlu ditinjau kembali. Kebijakan semacam ini berpotensi menimbulkan oversupply dokter yang berujung pada penurunan kualitas lulusan.
Fenomena ini akan terjadi dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, termasuk semua akibat penyertanya. Saat ini, sudah ada lebih dari 100 FK dengan status akreditasi yang beragam. Sebaiknya, kebijakan pembukaan FK baru dihentikan sementara, dan pemerintah lebih fokus dalam mengawasi dan menjaga kualitas FK yang sudah ada.
Iqbal Mochtar Pengurus PB IDI dan PP IAKMI. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah