Debat Capres Belum Menjawab Sengkarut Masalah Guru
Sejumlah organisasi guru menilai jawaban ketiga capres dalam debat belum menjawab masalah fundamental guru.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak menilai ajang debat pamungkas ketiga calon presiden tentang pendidikan di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Minggu (4/2/2024) masih terlalu normatif. Sejumlah jawaban konkret atas permasalahan pendidikan, khususnya mengenai nasib para guru, tidak terdengar.
Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, mengatakan, kesejahteraan guru, dosen, dan tenaga kependidikan adalah kunci mewujudkan pendidikan berkualitas. Dia berjanji akan mengangkat puluhan ribu guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), memberikan sertifikasi kepada 1,6 juta guru yang belum tersertifikasi, serta mengurangi beban administrasi agar guru fokus mengajar.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Selain itu, perlu juga ada beasiswa bagi anak guru dan dosen. Jangan sampai mendidik murid, tetapi pendidikan anak tidak tuntas,” kata Anies.
Baca juga: Guru Dijejali Beragam Aplikasi Pendidikan
Kedua capres lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, juga sepakat dengan gagasan Anies. Prabowo menambahkan akan mengkaji sistem pendidikan nasional agar tidak terjadi kebocoran anggaran pendidikan yang sudah disiapkan paling besar di APBN, yakni 20 persen dari APBN.
”Banyak pejabat yang harus kita audit. Kita harus berani memperbaiki sistem yang kurang baik,” kata Prabowo.
Sementara itu, Ganjar secara spesifik ingin semua guru mendapatkan gaji sesuai dengan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota. Kapasitas guru dan dosen juga perlu diperkuat dengan pelatihan-pelatihan.
”Di Jawa Tengah kami memiliki bimbingan teknis online dan pendampingan (bolpen) agar ada pengajaran bermutu. Guru akan bisa kerja baik dan harus bebas dari persoalan administrasi," ujar Ganjar.
PPPK ini sebenarnya jalan keluar darurat atas masalah guru honorer, bukan jalan utama.
Menanggapi hal ini, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, gagasan ketiganya belum menyentuh persoalan fundamental guru. Gagasan mengangkat guru honorer menjadi PPPK dianggap tidak sesuai karena seharusnya pemerintah membuka lowongan pegawai negeri sipil (PNS) yang banyak untuk guru honorer agar lebih sejahtera.
”Ketiganya masih normatif dan main aman. Mereka belum berkomitmen untuk mengangkat guru menjadi PNS, padahal PPPK ini sebenarnya jalan keluar darurat atas masalah guru honorer, bukan jalan utama,” kata Satriwan.
Zonasi tidak dibahas
Permasalahan zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang memusingkan orangtua setiap tahun ajaran baru juga tidak dibahas dalam debat. Padahal, masalah PPDB ini menimbulkan masalah lain, seperti kecurangan administratif kependudukan peserta didik hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di sekolah.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menambahkan, ketiga pasangan calon harus memperkuat pendidikan yang berkebudayaan agar peserta didik tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan di Indonesia yang beragam. FSGI belum melihat kedua hal ini bersinergi dalam visi dan misi ketiga pasangan calon.
”Ternyata dalam visi dan misi pendidikan ketiganya belum memunculkan pendidikan yang berkebudayaan. Para capres masih berkutat pada pendidikan gratis dan kesejahteraan guru,” kata Retno.
Baca juga: Transformasi Pendidikan Perlu Kesamaan Visi
Sementara itu, dalam acara Pengambilan Sumpah Profesi bagi Lulusan Program Profesi Guru di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Rabu (10/1/2024) lalu, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi mengusulkan agar pemerintah ke depan membuat badan khusus yang mengelola guru. Badan ini harus berada di bawah komando presiden untuk mempercepat transformasi pendidikan yang dimulai dari peningkatan kualitas guru.
”PGRI sekarang tengah menggodok, mungkin perlu saatnya guru dikelola oleh badan khusus, dipimpin oleh orang-orang yang tepercaya dan (memiliki) dedikasi luar biasa. Mulai dari rekrutmen guru, lalu bagaimana masa depan guru. Saat ini kekurangan guru adalah nyata,” kata Unifah.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat, Indonesia kekurangan 1,3 juta guru pada 2024. Sepanjang 2022-2023, Indonesia memiliki 3,3 juta guru di sekolah negeri yang banyak di antaranya akan pensiun. Rata-rata jumlah guru yang pensiun sebanyak 70.000 orang per tahun.