Epidemi Kesepian dan Isolasi di Tengah Keramaian
Menghindari kesendirian merupakan panggilan evolusioner untuk keberlanjutan kita sebagai makhluk sosial.
Di dunia yang semakin terhubung oleh jejaring digital, epidemi kesepian ternyata semakin meluas, termasuk dialami anak-anak muda yang berada di tengah keramaian. Sindrom kesepian itu telah berdampak pada kesejahteraan mental dan fisik, bahkan meningkatkan risiko kematian dini hingga 26 persen, setara dengan risiko merokok 15 batang sehari.
Terhubung secara sosial merupakan hal mendasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Mengacu pada definisi psikolog Letita Anne Peplau dan Daniel Perlman dalam bukunya, Loneliness: A Sourcebook of Current Theory, Research and Therapy (1982), kesepian bisa digambarkan sebagai ”isolasi sosial yang dirasakan”, ditandai dengan rasa tertekan ketika seseorang mengalami kesenjangan antara hubungan yang diinginkan dan yang sebenarnya.
Data dari berbagai negara menunjukkan, hampir satu dari empat manusia di dunia saat ini kesepian dan terisolasi secara sosial. Survei Meta-Gallup terbaru menunjukkan, sebanyak 24 persen orang berusia 15 tahun ke atas melaporkan, mereka merasa sangat atau cukup kesepian. Survei ini, yang dilakukan di 142 negara, meminta peserta menjawab pertanyaan, ”Seberapa kesepian yang Anda rasakan?”
Baca juga: Orang Kesepian Memiliki Cara Berpikir yang Berbeda
Hasil survei yang dilaporkan dalam Global State of Social Connections pada November 2023 ini menunjukkan, tingkat rasa kesepian terendah dilaporkan terjadi pada orang dewasa lanjut usia (berusia 65 tahun ke atas) dengan 17 persen merasa sangat atau cukup kesepian. Tingkat tertinggi merasa kesepian dilaporkan terjadi pada orang dewasa muda, berusia 19-29 tahun, dengan 27 persen merasa sangat atau cukup kesepian.
Sekitar 1.000 orang per negara disurvei dari Juni 2022 hingga Februari 2023, melalui gabungan survei telepon dan survei tatap muka. Menurut survei, negara-negara tersebut mewakili 77 persen populasi orang dewasa di dunia.
Data lebih rinci di level negara atau wilayah menunjukkan derajat kesepian yang lebih parah. Laporan Jajak Pendapat Bulanan Pikiran Sehat pada 1 Februari 2024 dari American Psychiatric Association menunjukkan, sekitar satu dari tiga orang mengatakan merasa kesepian setidaknya sekali seminggu. Yang lebih buruk lagi, satu dari 10 orang Amerika mengatakan mereka merasa kesepian setiap hari.
Konsisten dengan data global, orang-orang yang lebih muda lebih mungkin mengalami kesepian. Sekitar 30 persen responden berusia 18-34 tahun mengatakan, mereka merasa kesepian setiap hari atau beberapa kali dalam seminggu.
Jika sebelumnya kampanye publik untuk mengatasi kesepian sebagian besar ditujukan pada orang lanjut usia, banyak bukti menunjukkan bahwa perhatian harus lebih diberikan pada anak-anak muda.
Di Indonesia, Health Collaborative Center (HCC), lembaga di bidang kesehatan masyarakat dan kesehatan komunitas, pada Desember 2023 lalu juga mengungkap hasil survei tentang kesepian yang dialami warga Jabodetabek. Data menunjukkan, separuh warga Jabodetabek mengalami kesepian dengan derajat sedang dan tinggi.
Survei mereka digelar sejak Oktober 2023 dan melibatkan 1.299 responden di Jabodetabek. Sekitar 44 persen warga mengalami kesepian derajat sedang, sementara 6 persen lainnya mengalami kesepian derajat tinggi, mengacu standar UCLA Loneliness Scale dengan tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error 2,3 persen.
Menurut survei ini, para perantau paling banyak mengalami kesepian, yaitu 56 persen dengan derajat sedang. Sementara itu, dari sisi usia, 51 persen warga Jabodetabek yang berusia di bawah 40 tahun juga mengalami kesepian derajat sedang. Mereka berpotensi 1,5 kali mengalami kesepian.
Baca juga: Survei HCC: Separuh Warga Jabodetabek Merasa Kesepian
Jika dilihat dari status, 60 persen warga Jabodetabek yang belum menikah mengalami kesepian derajat sedang dan berisiko 1,5 kali mengalami kesepian. Orang yang sudah menikah pun merasa sepi, ini dialami oleh 47,9 persen responden.
Anak muda yang kesepian
Epidemi kesepian memang telah terjadi jauh sebelum pandemi. Namun, pandemi Covid-19 secara tiba-tiba membuat banyak orang kehilangan teman, orang yang dicintai, dan sistem pendukung, yang memperburuk prevalensi kesepian dan isolasi sosial.
Di sisi lain, pandemi juga memicu peningkatan kesadaran akan dampak kesepian dan isolasi sosial. Meningkatnya kerja jarak jauh juga membuka diskusi seputar hilangnya keterhubungan sosial dan dampak isolasi terhadap kesehatan mental.
Melihat semakin seriusnya epidemi kesepian, pada Desember 2023 lalu, eClinicalMedicine, bagian dari jurnal The Lancet Discovery Science, menulis editorial tentang hal ini. Menurut mereka, penting untuk membedakan isolasi sosial dan kesepian, karena bagi sebagian orang, menyendiri tidak menimbulkan perasaan kesepian. Sebaliknya, sebagian orang lainnya bisa mengalami kesepian ketika dikelilingi banyak orang. Ini terutama dialami anak-anak muda.
Jika sebelumnya kampanye publik untuk mengatasi kesepian sebagian besar ditujukan pada orang lanjut usia, banyak bukti menunjukkan bahwa perhatian harus lebih diberikan pada anak-anak muda. Generasi muda saat ini, misalnya Gen Z yang lahir 1997-2012, menghadapi berbagai tantangan dalam interaksi sosial, dengan pendidikan mereka yang terganggu oleh pandemi dan meningkatnya penggunaan media sosial yang menyebabkan berkurangnya komunikasi tatap muka.
Studi di jurnal International Psychogeriatrics (2020) menunjukkan, manusia umumnya mengalami peningkatan rasa kesepian selama tiga periode transisi tertentu dalam hidup, yaitu di akhir usia 20-an, pertengahan 50-an, dan akhir 80-an. Studi yang didasarkan survei oleh perusahaan asuransi kesehatan Cigna ini menyebutkan, perasaan terisolasi terjadi antargenerasi dengan mereka yang berusia 18-22 tahun memiliki rata-rata skor kesepian tertinggi, sedangkan mereka yang berusia 55-73 tahun memiliki skor kesepian terendah.
Baca juga: Kesepian Global akibat Pandemi Covid-19
Tingginya kesepian di kalangan muda usia ini kemungkinan besar disebabkan oleh dampak penggunaan media sosial yang lebih besar di kalangan mereka. Laporan tersebut juga menemukan, kesepian lebih umum terjadi pada orang-orang dengan tingkat keterlibatan media sosial yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki tingkat keterlibatan yang rendah dengan media sosial.
Tingginya tingkat kesepian di kalangan muda ini juga dikaitkan dengan kesehatan mental yang memburuk, misalnya depresi, keputusasaan, penggunaan narkoba, hingga gangguan kognitif, bahkan kecenderungan bunuh diri. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, secara global satu dari tujuh anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan jiwa, terhitung 13 persen dari beban global penyakit pada kelompok usia ini. Bunuh diri kini menjadi penyebab utama kematian keempat di antara usia 15-29 tahun.
Di Indonesia, masalah kesehatan mental juga dialami banyak remaja. Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, sebanyak 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.
Kesepian sebagai masalah kesehatan
Mengingat banyaknya bukti yang menunjukkan banyaknya kondisi yang terkait dengan kesepian dan isolasi sosial, strategi pencegahan harus diprioritaskan dalam interaksi klinis sebagai bagian integral dari layanan kesehatan. Kesepian juga masalah kesehatan.
WHO telah menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan global yang mendesak dan membentuk komisi internasional untuk mengatasi masalah ini pada November 2023. Komisi WHO untuk Hubungan Sosial ini dipimpin ahli bedah umum AS, Vivek Murthy, dan utusan pemuda Uni Afrika, Chido Mpemba, yang terdiri dari 11 aktivis dan menteri pemerintah, termasuk Ralph Regenvanu, menteri adaptasi perubahan iklim di Vanuatu, dan Ayuko Kato, menteri yang bertanggung jawab atas tindakan kesepian dan isolasi di Jepang.
Baca juga: Kerja Berat ”Menteri Kesepian” Jepang
Vivek Murthy, dalam pengantar buku Our Epidemic of Loneliness and Isolation (2023), menyebutkan, kesepian lebih dari sekadar perasaan buruk yang merugikan individu dan kesehatan sosial masyarakat. Hal ini juga terkait dengan risiko kesehatan tubuh, bahkan kematian dini.
”Dampak kematian akibat terputusnya hubungan sosial juga serupa dengan dampak buruk yang disebabkan oleh merokok hingga 15 batang sehari, dan bahkan lebih dari itu yang berhubungan dengan obesitas dan kurangnya aktivitas fisik,” tulis Murthy.
Daftar kondisi kesehatan mental dan fisik yang dikaitkan dengan kesepian dan buruknya hubungan sosial sangatlah panjang, mulai dari gangguan fungsi kognitif, depresi, kecemasan, peningkatan risiko bunuh diri, hingga penyakit kardiovaskular, diabetes, dan penyakit menular. Meskipun penyebab dari hubungan ini masih belum dapat dipastikan, diduga akibat stres emosional yang disebabkan oleh kesendirian, misalnya, peningkatan kadar kortisol.
Penelitian Yanjun Song dari National Center for Cardiovascular Diseases, Chinese Academy of Medical dan tim di eClinical Medicine (2023), menunjukkan, isolasi sosial dan kesepian dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2, dan pengacakan Mendel menunjukkan kemungkinan adanya hubungan sebab akibat.
Selain itu, laporan dari National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (2020) juga merinci beberapa temuan mengejutkan tentang kesepian dan isolasi sosial pada orang lanjut usia. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa isolasi sosial secara signifikan meningkatkan risiko kematian dini seseorang karena segala sebab, menyaingi risiko yang terkait dengan merokok, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik.
Baca juga: Berkawan dengan Kesepian di Masa Pandemi
Dalam laporan ini disebutkan, kesepian dan isolasi sosial dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia 50 persen, peningkatan risiko penyakit jantung 29 persen, dan peningkatan risiko stroke 32 persen. Laporan tersebut juga menyoroti tingkat kesepian yang lebih tinggi pada komunitas LGBTQ+ dan migran.
Berbagai data ini menunjukkan, epidemi kesepian telah melampaui batas negara dan menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang memengaruhi setiap aspek kesehatan, kesejahteraan, dan pembangunan. Kesepian juga tidak mengenal batasan usia. Sekalipun anak-anak muda, tampaknya menjadi lebih rentan karena gaya hidup digital yang kian memicu isolasi dari dunia nyata.
Tiga anak bermain gawai saat berlibur bersama keluarganya di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, awal Juli 2023.
Sejumlah lembaga kesehatan, seperti Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS, memberikan resep untuk mengurangi kesepian itu dengan kembali pada panggilan manusiawi. Beberapa praktik yang bisa dilakukan, antara lain, menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga dan teman, bergabung dengan satu kelompok atau klub yang berkaitan dengan suatu minat atau hobi, menghabiskan waktu bersama orang lain di alam, mengekspresikan rasa terima kasih kepada orang lain, menjadi sukarelawan dengan organisasi masyarakat, hingga mengenal tetangga.
Pada masa awal, keterhubungan, kebersamaan, dan kerja sama dalam aktivitas sosial dan fisik dalam memanfaatkan sumber daya merupakan kunci dari kesuksesan evolusi manusia. Sebaliknya, isolasi sosial atau kesendirian merupakan tindakan yang berbahaya di tengah kuatnya persaingan kehidupan liar. Oleh karena itu, menghindari kesendirian merupakan panggilan evolusioner untuk keberlanjutan kita.