Kerja Berat ”Menteri Kesepian” Jepang
Rasa kesepian dan keterisolasian akibat pandemi Covid-19 di kalangan warga Jepang memicu naiknya angka bunuh diri. Tahun lalu, angka bunuh diri pada Oktober lebih besar dari kematian akibat Covid-19, Januari-Oktober.
Pandemi Covid-19 membuat penduduk dunia lebih terisolasi secara sosial dibandingkan dengan sebelumnya. Akibat kebijakan pembatasan sosial atau karantina wilayah, lingkup mobilitas penduduk menjadi sangat terbatas. Tak heran jika kesepian pun akhirnya menyelimuti sebagian orang.
Banyak orang dapat mengatasi kesepian di tengah pembatasan sosial selama pandemi itu dengan tetap terhubung satu sama lain secara daring. Namun, tidak semua kelompok penduduk bisa melakukan hal itu.
Pada 13 Februari 2021, Nikkei Asia melaporkan, perasaan terisolasi sering kali semakin parah saat terjadi bencana alam dan krisis lainnya. Pascagempa bumi besar Hanshin tahun 1995, gempa bumi Fukushima, dan tsunami 2011, banyak lansia korban bencana tidak memiliki pilihan selain pindah ke tempat pengungsian sementara. Tidak sedikit dari mereka kemudian meninggal di sana sendirian.
Kematian soliter semacam itu, atau yang disebut kodokushi dalam bahasa Jepang, menjadi keprihatinan yang besar di Jepang.
Pandemi Covid-19 sekarang juga memperparah kondisi penduduk lansia yang sebelum pandemi terjadi sudah hidup terisolasi. Mereka tidak terbiasa berkomunikasi secara daring dan semakin terisolasi dari dunia luar.
Kesepian dan keterisolasian itu telah berdampak besar. Untuk pertama kalinya dalam 11 tahun, Jepang melaporkan kenaikan kasus bunuh diri. Yang mengejutkan adalah ketika kasus bunuh diri pada laki-laki turun, kasus bunuh diri pada perempuan justru naik 15 persen.
Baca Juga: Angka Bunuh Diri Jepang Tetap Tinggi
Pada Oktober 2020, misalnya, jumlah penduduk yang meninggal karena bunuh diri lebih banyak dibandingkan yang meninggal karena Covid-19 di periode Januari-Oktober 2020. Menurut data Badan Kepolisian Nasional Jepang, ada 2.153 kematian akibat bunuh diri pada bulan itu. Sementara pada periode Januari-Oktober 2020 tercatat 1.765 kasus meninggal akibat Covid-19.
Tingginya angka bunuh diri itu disumbang oleh kenaikan angka bunuh diri pada perempuan, yaitu 879 kasus atau naik 70 persen dibandingkan bulan yang sama tahun 2019.
Jika kita ingat masa-masa krisis di Jepang, seperti krisis perbankan tahun 2008 atau kolapsnya bursa saham dan properti pada awal 1990-an, dampaknya dirasakan paling hebat oleh laki-laki paruh baya. Kasus bunuh diri laki-laki kelompok usia itu pun naik.
Masalah kesepian
Tetapi, Covid-19 berbeda. Pandemi ini berdampak besar pada orang muda dan terutama perempuan. Alasannya kompleks.
Kasus bunuh diri tersebut berkaitan erat dengan perasaan kesepian dan isolasi sosial yang dirasakan semakin parah oleh sebagian penduduk Jepang di masa pandemi Covid-19 sekarang. Kesepian dan keterisolasian sosial bukan masalah yang bisa dianggap enteng.
Baca Juga: Upaya Jepang Tekan Angka Bunuh Diri
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyebut bahwa kesepian dan isolasi sosial pada orang dewasa tua adalah risiko kesehatan masyarakat yang serius. Kesepian di sini adalah perasaan sendirian terlepas dari banyaknya kontak sosial.
Kesepian dan isolasi sosial pada orang berusia 50 tahun ke atas dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan. Risiko kematian dini akibat kondisi itu pada kelompok usia tersebut bahkan lebih besar dari merokok, obesitas, dan kurangnya olahraga.
Kesepian juga terkait dengan tingginya angka depresi, kecemasan, dan bunuh diri. Orang dewasa tua memiliki risiko mengalami kesepian dan isolasi sosial karena beberapa faktor, seperti hidup sendiri, kehilangan anggota keluarga atau teman, penyakit kronis, dan hilangnya pendengaran.
Baca Juga: Segera Konsultasi ke Psikolog jika Alami Depresi akibat Pandemi Covid-19
Isolasi sosial dapat meningkatkan 50 persen risiko demensia. Hubungan sosial yang buruk juga terkait dengan 29 persen kenaikan risiko penyakit jantung dan 32 persen kenaikan risiko stroke.
”Menteri kesepian”
Begitu besar dan kompleksnya kasus bunuh diri akibat dari kesepian dan keterisolasian di Jepang membuat Perdana Menteri Yoshihide Suga pada pertengahan Januari 2021 menunjuk seorang ”menteri kesepian”. Menteri tersebut adalah Tetsushi Sakamoto. Sebagai Menteri Kesepian, Sakamoto bertugas menyelesaikan persoalan kesepian dan keterisolasian penduduk.
Sakamoto bukanlah anggota baru di kabinet Suga. Ia adalah menteri yang bertanggung jawab dalam revitalisasi ekonomi dan mengatasi menurunnya angka kelahiran.
”Perempuan lebih menderita karena terisolasi (dibandingkan laki-laki) dan tren kasus bunuh diri meningkat,” kata Suga kepada Sakamoto dalam jumpa pers seperti dikutip Japan Times, 12 Januari 2021. ”Saya harap Anda mengidentifikasi masalah dan membuat formulasi kebijakan yang komprehensif soal ini.”
Sakamoto menyampaikan, ”Saya berharap bisa mencegah kesepian dan isolasi sosial serta melindungi hubungan antarwarga.”
Professor Michiko Ueda dari Waseda University mengatakan, pola bunuh diri perempuan ini sangat sangat tidak lazim. ”Saya tidak pernah melihat peningkatan kasus bunuh diri perempuan setinggi ini di sepanjang karier saya sebagai peneliti,” ujarnya, seperti dikutip BBC, 18 Februari 2021.
Baca Juga: 1,25 Miliar Pekerja Terancam Kehilangan Pekerjaan, Krisis Terburuk Sejak PD II
Menurut Ueda, pandemi Covid-19 berdampak besar pada industri yang banyak mempekerjakan perempuan, seperti pariwisata, ritel, dan makanan. Perempuan muda pun banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Di Jepang, kecenderungan perempuan lajang tinggal sendirian meningkat. Banyak dari mereka mengambil keputusan itu dibandingkan dengan harus menikah dan memainkan peran tradisional di rumah.
Baca Juga: Asia dan Fenomena Lajang
”Banyak perempuan yang tidak menikah. Mereka harus menafkahi dirinya sendiri dan tidak mempunyai pekerjaan tetap. Jadi, ketika sesuatu terjadi, tentu, mereka terdampak sangat hebat. Jumlah pekerja tetap yang akhirnya menganggur karena pandemi juga meningkat,” papar Ueda.
Junko Okamoto, Presiden Konsultan Glocomm dan pakar isolasi sosial, menilai, Pemerintah Jepang belum memiliki program yang jelas untuk mengatasi persoalan kesepian warganya. Penunjukan ”menteri kesepian” bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa ada persoalan serius sedang terjadi.
”Di Jepang, kesendirian dapat dilihat sebagai kebajikan,” kata Okamoto. ”Pemerintah perlu melakukan studi mendasar yang cepat dan menyusun strategi intervensi berdasarkan bukti ilmiah.”
Strategi di Inggris
Menurut Okamoto, Jepang bisa melihat Inggris yang menunjuk ”menteri kesepian” dan meluncurkan ”Strategi Kesepian” tahun 2018 di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Theresa May. Berdasarkan survei saat itu, dokter di Inggris menemui 1-5 orang yang menderita kesepian. Sekitar 200.000 lansia juga tidak berkomunikasi dengan teman atau keluarganya lebih dari satu bulan.
”Strategi Kesepian” memungkinkan dokter untuk merujuk, bukan memberi obat, warga yang kesepian ke kader di lingkungan yang menyediakan dukungan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan bagi warga. Langkah ini disebut juga sebagai ”peresepan sosial”.
Petugas pos yang berkeliling mengantar surat pun akan mengajak lansia yang kesepian berbincang sambil membantu menghubungkan mereka dengan kelompok dukungan di komunitas atau keluarganya.
Melihat kompleksnya masalah dan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kesepian dan keterisolasian, sebagai Menteri Kesepian, Sakamoto jelas tidak akan sepi pekerjaan. Tugasnya melindungi dan menghubungkan ikatan sosial masyarakat Jepang amat berat.