Segera Konsultasi ke Psikolog jika Alami Depresi akibat Pandemi Covid-19
Kesehatan jiwa masyarakat di sejumlah negara terdampak akibat pandemi Covid-19. Intervensi dibutuhkan untuk menangani hal itu. Segeralah berkonsultasi dengan psikolog jika mengalami depresi akibat pandemi Covid-19.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat di sejumlah negara mengalami gangguan kesehatan jiwa akibat penutupan atau lockdown selama pandemi Covid-19. Masalah psikologis juga dialami di Indonesia. Segeralah berkonsultasi dengan psikolog jika mengalami depresi akibat pandemi Covid-19. Intervensi perlu dilakukan agar masalah itu bisa diatasi.
Hal ini mengemuka dalam survei yang dilakukan University of Basel, Swiss, yang dirilis Kamis (7/1/2021). Survei dilakukan kepada hampir 10.000 orang di 78 negara.
Hasilnya, satu dari 10 responden dilaporkan mengalami kesehatan jiwa yang tidak baik. Ini tampak dari emosi negatif, stres, perilaku depresif, dan pesimistis yang mereka alami. Sebanyak 50 persen responden memiliki tingkat kesehatan jiwa menengah.
Penduduk di Hong Kong dan Turki tercatat lebih stres dibandingkan dengan negara lain. Sementara itu, penduduk di Amerika Serikat dilaporkan lebih mengalami gejala depresi dari negara lain. Adapun responden di Jerman, Swiss, dan Austria mengalami lebih sedikit emosi negatif dari negara-negara lain.
Depresi bisa jadi faktor risiko terhadap hal-hal yang lebih buruk seperti bunuh diri. Namun, ini tidak selalu terjadi karena ada pula yang mendapat dorongan bunuh diri secara tiba-tiba. Yang jelas, risiko itu selalu ada sehingga perlu penanganan dari ahli.
Para peneliti berpendapat ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor, seperti cara negara mengatasi pandemi, politik, dan budaya. Turunnya kemampuan finansial dan terbatasnya akses warga terhadap kebutuhan dasar juga memicu masalah kesehatan jiwa publik.
”Solusi kesehatan publik harus menyasar orang-orang tanpa dukungan sosial dan yang kondisi ekonominya buruk akibat lockdown. Dari hasil ini (survei), intervensi yang mendukung fleksibilitas psikologis dan terapi dapat mengurangi dampak pandemi dan lockdown,” kata Andrew Gloster, profesor di University of Basel sekaligus wakil ketua studi ini.
Masalah psikologis juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) terhadap 5.661 orang di 31 provinsi antara 4 April dan 7 Oktober 2020, ada 68 persen responden mengalami masalah kejiwaan. Dari jumlah itu, sebanyak 67,3 persen depresi, 67,4 persen mengalami gangguan kecemasan, dan 74,2 persen mengalami trauma psikologis.
Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia Eunike Sri Tyas Suci mengatakan, orang yang mengalami trauma harus ditangani. Jika tidak, trauma akan terakumulasi dan memperburuk depresi yang dialami orang tersebut.
”Depresi bisa jadi faktor risiko terhadap hal-hal yang lebih buruk seperti bunuh diri. Namun, ini tidak selalu terjadi karena ada pula yang mendapat dorongan bunuh diri secara tiba-tiba. Yang jelas, risiko itu selalu ada sehingga perlu penanganan dari ahli,” kata Eunike, Jumat (8/1/2021).
Ia sepakat bahwa intervensi untuk orang yang mengalami masalah psikologis diperlukan. Eunike merekomendasikan publik untuk konsultasi ke psikolog. Jika masalah psikologis yang diderita lebih berat dari yang diperkirakan, psikolog akan merujuk orang itu ke psikolog klinis atau psikiater.
Publik dapat memanfaatkan layanan konsultasi gratis yang disediakan Kantor Staf Presiden (KSP) bersama Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). Layanan ini diberi nama Sehat Jiwa atau Sejiwa. Publik dapat mengakses layanan ini dengan menghubungi nomor 119 dengan ekstensi 8. Layanan ini terbuka selama 24 jam.
”Ada kecenderungan masyarakat mulai bosan tinggal di rumah. Anak-anak ingin bermain dan sekolah. Dalam kondisi ini, hadirnya Sejiwa memiliki manfaat yang luar biasa,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko melalui laman resmi KSP, Mei 2020.
Sejak diluncurkan pada 29 April 2020, per akhir Mei 2020 Sejiwa telah melayani 1.366 aduan. Eunike menambahkan, beberapa orang mengadu untuk mencari teman menuangkan perasaan. Ada pula yang punya masalah psikologis lebih berat sehingga perlu konsultasi beberapa kali.
”Ada tiga hal yang harus dicermati untuk melihat apakah seseorang ada potensi gangguan jiwa atau tidak. Ketiganya adalah cara berpikir, emosi, dan perilaku orang terkait. Teman, keluarga, maupun pacar biasanya yang paling tahu bagaimana keseharian orang itu. Mereka bisa mencermati jika ada perubahan cara berpikir, emosi, dan perilaku dari orang yang bersangkutan,” kata Eunike.
Intervensi lain dapat dilakukan untuk skala lebih luas. Menurut Eunike, hal ini bisa dilakukan melalui psikoedukasi dari pemerintah kepada warga. Psikoedukasi yang diberikan bisa berupa dampak pandemi bagi kesehatan jiwa dan kiat mengatasinya. Media sosial dapat jadi media menyebarkan info tersebut.