logo Kompas.id
HumanioraVisi-Misi Capres Terfokus pada...
Iklan

Visi-Misi Capres Terfokus pada Layanan Kesehatan

Kesehatan masih dipandang sebagai layanan kesehatan saja. Hak warga untuk hidup sejahtera lahir batin justru terabaikan.

Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
· 10 menit baca
Anak menangis saat diukur tinggi badannya di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak Garuda, Jakarta, Selasa (15/8/2023). Kementerian Kesehatan menggelar program imunisasi vaksin Rotavirus gratis. Program ini untuk memperingati HUT Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Anak menangis saat diukur tinggi badannya di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak Garuda, Jakarta, Selasa (15/8/2023). Kementerian Kesehatan menggelar program imunisasi vaksin Rotavirus gratis. Program ini untuk memperingati HUT Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Isu kesehatan masih dipandang sebagai layanan kesehatan saja, mengobati orang sakit. Hak warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, memiliki rumah, dan lingkungan hidup yang sehat justru terpinggirkan. Konsekuensinya, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat tetap rendah, biaya kesehatan membengkak, dan pemerintah keteteran menyiapkan layanan kesehatan bermutu.

Pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Namun, visi, misi, dan program kerja ketiga calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2024 masih terfokus pada sektor layanan kesehatan saja.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

”Hak utama warga negara untuk hidup sehat, bertempat tinggal, dan memiliki lingkungan yang baik justru lolos dari perhatian,” kata Ketua Majelis Pakar Kesehatan Masyarakat, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia yang juga dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ede Surya Darmawan, di Jakarta, Minggu (28/1/2024).

Tak hanya itu, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Mohammad Adib Khumaidi di sela-sela kunjungannya ke Jepang, Selasa (30/1/2024), juga menilai, visi, misi, dan program kerja ketiga capres-cawapres di sektor kesehatan itu belum mampu menjawab transformasi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang digaungkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012.

Capres-cawapres umumnya banyak mengulas subsistem SKN yang terkait sumber daya manusia kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan upaya kesehatan. Dalam sistem Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2010, ketiga subsistem itu secara berurutan disebut tata kelola tenaga kesehatan, peran serta masyarakat, serta upaya dan fasilitas tenaga kesehatan.

Sementara subsistem lain, seperti penelitian dan pengembangan kesehatan atau dalam sistem WHO disebut sistem informasi dan riset, pembiayaan kesehatan (sistem pembiayaan), sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan (farmasi dan alat kesehatan), manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan (tata kelola dan regulasi), tidak banyak diulas.

Keprihatinan atas visi, misi, dan program kerja ketiga capres-cawapres itu wajar mengingat banyak persoalan kesehatan dasar Indonesia yang belum terselesaikan. Bahkan, dalam sejumlah indikator kesehatan dasar, Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain.

Saat ini, sebanyak 95,75 persen (2023) penduduk sudah tercakup dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Namun, hanya 63,15 persen rumah tangga (BPS, 2023) yang memiliki hunian layak dan terjangkau. Rumah tangga yang memiliki sanitasi layak, yaitu memiliki fasilitas buang air besar, mencapai 80,92 persen (BPS, 2022), tetapi yang memiliki sanitasi aman baru 7,25 persen (Kemenkes, 2021).

Akses rumah tangga terhadap air minum, mandi, dan cuci layak memang telah mencapai 91,72 persen (BPS, 2023). Namun, rumah tangga yang mampu mengakses air minum berkualitas aman baru mencapai 11,9 persen (Kemenkes, 2020). Selain itu, sebanyak 40,8 persen rumah tangga menggunakan air tanah sebagai sumber air minum, dan 14,8 persen rumah tangga memakai sumur gali yang rawan tercemar.

Pembangunan rumah sehat dan layak memang bukan urusan Kementerian Kesehatan. Namun, negara harus menata salah satu kebutuhan primer itu demi menciptakan kesehatan fisik dan mental rakyatnya. Bukan hanya rumah yang ditata, tetapi lingkungan sekitar pun harus disiapkan.

Ruang terbuka hijau dan fasilitas olahraga yang bisa diakses gratis, lingkungan hidup yang terjaga dari aneka pencemaran, dan sistem transportasi yang andal bisa mendorong masyarakat lebih banyak beraktivitas fisik dan menghindarkan mereka dari penyakit.

”Masyarakat butuh lebih dari layanan kesehatan, tetapi kehidupan yang sehat (healthy life). Jika masyarakat sehat, mereka tidak perlu mengakses layanan kesehatan,” kata Ede. Masyarakat yang sehat akan meningkatkan produktivitas mereka sehingga bisa mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

Baca juga: Menimbang Komitmen Capres pada Bidang Kesehatan

Anak-anak di Kampung Bengek yang menempati lahan milik PT Pelindo II di kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, bermain di lingkungan yang dikelilingi sampah, Senin (2/9/2019). Keterbatasan ekonomi dan tingginya biaya hidup di Ibu Kota membuat para penghuni kampung yang sebagian pemulung memilih menempati tempat kumuh tersebut.
KOMPAS/RIZA FATHONI

Anak-anak di Kampung Bengek yang menempati lahan milik PT Pelindo II di kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, bermain di lingkungan yang dikelilingi sampah, Senin (2/9/2019). Keterbatasan ekonomi dan tingginya biaya hidup di Ibu Kota membuat para penghuni kampung yang sebagian pemulung memilih menempati tempat kumuh tersebut.

Kualitas penduduk

Buruknya kualitas lingkungan, tempat tinggal, hingga ketersediaan sanitasi dan air minum yang aman berkontribusi pada rendahnya kualitas kesehatan dasar masyarakat. Situasi ini berdampak pada rendahnya nilai indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang menjadi ukuran kualitas penduduk. IPM Indonesia ada di peringkat 114 dunia atau nomor 5 di ASEAN (UNDP, 2022).

Namun, usia harapan hidup saat lahir (UHH) Indonesia yang menandakan kualitas kesehatan bangsa hanya 67,6 tahun atau di urutan ke-10 dari 11 negara ASEAN. UHH Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar dan sedikit lebih rendah dibanding Timor Leste.

Rendahnya UHH Indonesia itu, lanjut Adib, tidak lepas dari masih tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI) dan kematian bayi (AKB). AKI Indonesia masih mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 16,85 per 1.000 kelahiran hidup (LF SP 2020). Padahal, target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030 untuk AKI sebesar 70 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 12 per 1.000 kelahiran hidup.

Status gizi orang Indonesia juga masih sangat rendah. Sebanyak 68 persen penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian (Kompas, 2022). Harga pangan relatif tidak stabil dan rasionya cukup tinggi jika dibanding dengan penghasilan masyarakat. Kondisi ini berkorelasi dengan tingginya prevalensi tengkes (stunting) dan masalah gizi lainnya.

Akibatnya, prevalensi tengkes (stunting) masih mencapai 21,6 persen (SSGI, 2022). Meski angka ini sudah menurun tajam selama lima tahun terakhir, prevalensi tengkes itu masih di atas standar WHO sebesar 20 persen. Selain itu, sebanyak 21,8 persen penduduk mengalami obesitas, 95,5 persen penduduk di atas 5 tahun kurang makan sayur, dan 33,5 persen penduduk kurang beraktivitas fisik (Riskesdas 2018).

Salah mengelola aspek kesehatan penduduk, imbasnya bukan hanya pada rendahnya kualitas dan kesejahteraan penduduk, tetapi juga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengancam ketahanan negara.

Meski demikian, kemampuan mengakses makanan sehat memang bukan tanggung jawab sektor kesehatan. Kementerian Kesehatan juga sulit memaksa industri mengurangi kandungan garam, gula, dan lemak pada makanan-minuman produksi mereka. Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan tentang pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak pada pangan olahan dan siap saji saja sulit diterapkan.

”Ketiga capres-cawapres sama-sama ingin membangun manusia unggul dan sehat, tetapi semua fokus ke persoalan ujungnya saat masyarakat sudah sakit. Sementara masalah pangkalnya kurang teperhatikan,” tambah Ede.

Iklan

Tak hanya itu, sebanyak 28,62 persen penduduk berumur lebih dari 15 adalah perokok aktif (BPS, 2023). Indonesia adalah satu dari lima negara di dunia yang belum mengakses Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) yang sudah ditandatangani 181 negara.

Tingkat kematian akibat penyakit tidak menular mencapai 73 persen (WHO, 2018). Indonesia juga menjadi negara dengan kasus tuberkulosis (TBC) terbanyak kedua di dunia (WHO, 2023), dan peringkat ketiga dunia untuk jumlah penderita kusta (WHO, 2022).

Berbagai masalah kesehatan dasar ini harus segara diatasi. Jika tidak, produktivitas masyarakat Indonesia akan terus rendah dan membuat mereka sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang senantiasa digiatkan pemerintah.

Baca juga: Publik Menanti Bakal Capres Bicara Isu Kesehatan

Petugas kesehatan mendata hasil rontgen warga yang mengikuti skrining TBC di RPTRA Pinang Pola, Kecamatan Cilandak, Jakarta, Kamis (18/1/2024). Puskesmas Cilandak mengadakan kegiatan skrining tuberkulosis dengan pemeriksaan rontgen dada dan <i>mantoux</i>.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Petugas kesehatan mendata hasil rontgen warga yang mengikuti skrining TBC di RPTRA Pinang Pola, Kecamatan Cilandak, Jakarta, Kamis (18/1/2024). Puskesmas Cilandak mengadakan kegiatan skrining tuberkulosis dengan pemeriksaan rontgen dada dan mantoux.

Tetap penting

Meski Indonesia perlu mengutamakan persoalan hulu kesehatan, pemajuan dan peningkatan layanan kesehatan tetap penting. Namun, menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan dasar itu tidak mudah akibat belum meratanya akses dan layanan kesehatan yang diberikan negara di semua tingkatan dan di semua daerah.

Layanan kesehatan perlu semakin didekatkan ke masyarakat dengan mengutamakan upaya promotif dan preventif. Untuk itu puskesmas perlu direposisi dengan fokus pada upaya pencegahan dan edukasi masyarakat, sedangkan untuk layanan kesehatannya bisa diserahkan ke klinik, baik milik pemerintah maupun swasta.

Namun, menggeser paradigma dari upaya kuratif dan rehabilitasi ke promotif dan preventif memang tidak mudah. Jangankan di tingkat puskesmas atau level pemerintahan terendah, di tingkat pusat pun masih sulit. Saat BPJS Kesehatan beroperasi, Kemenkes sudah bertekad untuk fokus pada persoalan edukasi dan pencegahan penyakit. Namun, hingga kini, cita-cita itu belum terwujud.

Di sisi lain, layanan kesehatan di Indonesia pun masih menghadapi banyak kendala. Integrasi layanan kesehatan primer yang bersentuhan langsung dengan berbagai masalah kesehatan dasar masyarakat masih terhambat oleh terbatasnya jumlah, sebaran, dan kualitas tenaga kesehata dan medis yang ada.

Sebanyak 45,4 persen puskesmas belum memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan sesuai standar, 38,5 persen RSUD di kabupaten/kota belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis secara lengkap, dan masih ada 4 persen puskesmas yang tidak memiliki dokter (Kemenkes, Agustus 2023).

”Persoalan SDM kesehatan yang pelik itu semakin dipersulit dengan dihapuskannya kewajiban mencantumkan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN bagi pemerintah pusat dan 10 persen dari APBD bagi pemerintah daerah (di luar gaji),” kata Adib.

Aturan tentang belanja wajib kesehatan itu diatur dalam UU 36/2009 tentang Kesehatan dan dihapuskan melalui UU 17/2023 tentang Kesehatan (omnibus law). Namun, aturan ini baru dilaksanakan pemerintah pusat pertama kali pada 2016 dan diwajibkan untuk pemda mulai tahun 2023.

Penghapusan ini membuat upaya mendorong pemerataan dan peningkatan layanan kesehatan di daerah menjadi terganggu. Dengan belanja wajib tersebut, pemda bisa memberikan insentif dan menyediakan sarana dan prasarana memadai untuk menunjang kerja tenaga kesehatan dan medis. Belanja kesehatan wajib itu juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan beasiswa pendidikan dokter umum atau dokter spesialis melalui sistem beasiswa ikatan dinas.

Selain itu, meningkatkan kesadaran pemda dalam mengelola kesehatan masyarakat juga menjadi tantangan berat. Setiap kabupaten/kota memiliki struktur penduduk yang berbeda sehingga tantangan pembangunan kesehatan dan penyakit yang dialami setiap daerah pun berbeda. Karena itu, pemda perlu berinovasi dalam membangun sistem kesehatan dan layanan kesehatan di daerahnya.

Upaya memperkuat andil pemda dalam pembangunan kesehatan itu juga tidak mudah. Selain kapasitas lebih terbatas, tidak semua bupati/wali kota memiliki visi dan misi serta pemahaman yang luas tentang kesehatan masyarakat. Budaya paternalistik, lanjut Ede, juga membuat pemerintah pusat ingin pemda menuruti semua program mereka yang terkadang juga tidak sesuai dengan kondisi daerah.

”Kebijakan kesehatan Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara atau daerah lain karena tantangan dan kondisi geografisnya berbeda. Kebijakan kesehatan yang dibangun perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan lokal di setiap wilayah,” kata Adib.

Beban demografi

Berbagai persoalan kesehatan dasar itu harus dituntaskan mengingat saat ini Indonesia sedang berada dalam puncak bonus demografi. Besarnya jumlah penduduk usia produktif berumur antara 15-64 tahun yang mencapai 70,72 persen (SP 2020) tidak akan memberi dampak banyak jika mereka sakit-sakitan dan produktivitas rendah. Bisa-bisa, mereka hanya akan menjadi beban demografi, bukan lagi bonus demografi.

Jika berkaca pada kondisi kesehatan pemuda dalam Statistik Pemuda Indonesia 2022, bonus demografi itu sepertinya sulit diraih. Ada 23,38 persen pemuda berumur 16-30 tahun yang memiliki keluhan kesehatan dan 9,51 persennya sakit yang menyebabkan terganggunya aktivitas harian mereka. Selain itu, sepertiga dari anak muda saat ini mengalami tengkes (stunting) di masa kecilnya.

Selama pandemi, anak muda adalah kelompok populasi yang rentan tertular dan menularkan Covid-19 akibat pola aktivitas dan mobilitasnya. Selain itu, sebanyak 24,36 persen pemuda Indonesia juga merokok. Buruknya gaya hidup itu membuat sebagian pemuda sudah menderita sejumlah penyakit degeneratif yang umumnya dialami warga lanjut usia, baik stroke, jantung, gagal ginjal, dan kanker.

Menurut Adib, kondisi ini perlu menjadi perhatian yang menuntut kehadiran negara untuk memastikan bahwa pemuda dan seluruh rakyat Indonesia sehat jiwa dan raga. Kesadaran anak muda dan masyarakat umum untuk makan makanan sehat, aktif berkegiatan fisik atau rutin berolahraga, menjaga berat badan, hingga mampu mengelola stres penting untuk menjaga kesehatan mereka.

”Dalam sektor kesehatan, kunci agar bonus demografi dapat diraih adalah memprioritaskan upaya promotif dan preventif sehingga masyarakat tetap sehat. Namun negara harus hadir, bukan sebatas mengharapkan pada partisipasi aktif masyarakat saja,” katanya.

Jika pemerintah tetap fokus pada layanan kesehatan atau pada tindakan kuratif dan rehabilitasi, biaya kesehatan Indonesia akan menjadi sangat mahal. Wajar jika BPJS Kesehatan selalu kekurangan dana akibat tingginya jumlah warga yang menderita berbagai penyakit, termasuk penyakit kronis.

Konsekuensi lanjutannya, fasilitas dan tenaga kesehatan pun kewalahan. Fasilitas kesehatan yang ada belum mampu menampung seluruh masyarakat yang ingin berobat. Antrian untuk mendapat tindakan medis sangat panjang. Banyaknya pasien, ditambah insentif yang dinilai kecil, membuat beban tenaga kesehatan dan medis berlebihan hingga menurunkan kualitas layanan kesehatan.

Karena itu, presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2024 punya peran besar untuk menyiapkan manusia Indonesia agar sehat dan sejahtera lahir batin sehingga mereka bisa menjadi generasi emas Indonesia 2045. Salah mengelola aspek kesehatan penduduk, imbasnya bukan hanya pada rendahnya kualitas dan kesejahteraan penduduk, tetapi juga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengancam ketahanan negara.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000