Pepohonan Sulit Bernapas dan Menyerap CO2 Saat Suhu Semakin Panas
Ketika suhu semakin panas dan kering, pepohonan akan kesulitan menyerap karbon dioksida.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pepohonan kesulitan menyerap karbon dioksida pada suhu yang terlalu panas dan kering. Dalam situasi tersebut, pepohonan justru cenderung mengirimkan karbon dioksida kembali ke atmosfer. Ini berarti upaya untuk mengandalkan peran pepohonan dalam membantu menyerap karbon bakal lebih sulit ketika suhu terus memanas.
Studi baru yang dilakukan tim peneliti dari University of California, Berkeley, ini diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences dan dirilis pada Rabu (31/1/2024).
”Kami menemukan bahwa pohon-pohon di iklim yang lebih hangat dan kering pada dasarnya batuk daripada bernapas,” kata Max Lloyd, peneliti di Department of Earth and Planetary Science, University of California, yang menjadi penulis pertama kajian ini.
Melalui proses fotosintesis, pohon telah menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer untuk menghasilkan pertumbuhan baru. Namun, dalam kondisi penuh tekanan, pepohonan melepaskan CO2 kembali ke atmosfer, sebuah proses yang disebut fotorespirasi.
Dengan menganalisis kumpulan data global jaringan pohon, tim peneliti menunjukkan, laju fotorespirasi dua kali lebih tinggi di iklim hangat, terutama ketika kondisi air terbatas. Lloyd dan tim menyimpulkan, dalam kondisi iklim hangat dan kering, pepohonan akan mengirimkan CO2 kembali ke atmosfer jauh lebih banyak dibandingkan pepohonan di kondisi yang lebih sejuk dan basah.
Ambang batas
Mereka menemukan ambang batas respons ini pada iklim subtropis mulai terlampaui ketika suhu rata-rata siang hari melebihi sekitar 68 derajat fahrenheit atau 20 derajat celsius dan memburuk ketika suhu semakin meningkat. Ambang batas ini kemungkinan pada pepohonan yang tumbuh di iklim tropis.
Hasil penelitian ini memperumit kepercayaan luas mengenai peran tanaman dalam membantu menarik atau menyerap karbon dari atmosfer. Temuan ini juga memberikan wawasan baru tentang bagaimana tanaman dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Dunia akan semakin panas, yang berarti tanaman akan semakin sulit menyerap CO 2 tersebut.
Yang penting, catatan para peneliti, ketika iklim memanas, tanaman menjadi kurang mampu menarik CO2 dari atmosfer dan mengasimilasi karbon. Padahal, proses tersebut diperlukan untuk membantu Bumi menjadi lebih dingin.
”Kita telah membuat siklus penting ini menjadi tidak seimbang,” kata Lloyd. ”Tanaman dan iklim saling terkait erat. Pengurang CO2 terbesar dari atmosfer kita adalah organisme yang melakukan fotosintesis. Ini merupakan masalah besar pada komposisi atmosfer sehingga perubahan kecil memiliki dampak yang besar.”
Menurut laporan Departemen Energi AS, tumbuhan saat ini diperkirakan menyerap sekitar 25 persen CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia setiap tahunnya. Namun, persentase ini kemungkinan akan menurun pada masa depan seiring dengan memanasnya iklim, menurut Lloyd, terutama jika air semakin langka.
”Ketika kita memikirkan masa depan iklim, kita memperkirakan CO2 akan meningkat, yang secara teori baik bagi tanaman karena molekul itulah yang mereka hirup,” kata Lloyd. ”Tetapi, kami telah menunjukkan, akan ada trade-off yang tidak diperhitungkan oleh beberapa model yang ada. Dunia akan semakin panas, yang berarti tanaman akan semakin sulit menyerap CO2 tersebut.”
Dalam studi tersebut, para peneliti menemukan variasi kelimpahan isotop tertentu pada bagian kayu yang disebut gugus metoksil yang berfungsi sebagai pelacak fotorespirasi pada pohon. ”Anda dapat menganggap isotop sebagai jenis atom. Sama seperti es krim versi vanila dan coklat, atom dapat memiliki isotop berbeda dengan rasa uniknya sendiri karena variasi massanya,” kata Lloyd.
Dalam kajian ini, tim peneliti mempelajari tingkat ”rasa” metoksil isotop dalam sampel kayu berupa tiga puluh spesimen pohon dari berbagai iklim dan kondisi di seluruh dunia untuk mengamati tren fotorespirasi. Spesimen tersebut berasal dari arsip di Universitas California, yang berisi ratusan sampel kayu yang dikumpulkan pada tahun 1930-an dan 1940-an.
”Database ini awalnya digunakan untuk melatih para ahli kehutanan bagaimana mengidentifikasi pohon-pohon dari berbagai tempat di seluruh dunia, jadi kami menggunakannya kembali untuk merekonstruksi hutan-hutan ini untuk melihat seberapa baik mereka menyerap CO2,” kata Lloyd.
Hingga saat ini, laju fotorespirasi hanya dapat diukur secara waktu nyata dengan menggunakan tanaman hidup atau spesimen mati yang terpelihara dengan baik dan masih mempertahankan karbohidrat struktural. Artinya, hampir tidak mungkin untuk mempelajari laju penyerapan karbon oleh tanaman dalam skala besar atau di masa lalu.
Kini, setelah tim memvalidasi cara mengamati laju fotorespirasi menggunakan kayu, ia mengatakan, metode tersebut dapat memberikan para peneliti alat untuk memprediksi seberapa baik pohon ”bernapas” di masa depan dan bagaimana kondisinya di iklim masa lalu.
Laporan Lembaga Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA) menunjukkan, jumlah CO2 di atmosfer saat ini meningkat pesat. Bahkan, volume CO2 saat ini sudah lebih besar dibandingkan sebelumnya dalam 3,6 juta tahun terakhir.