Kebutuhan pangan kini dan ke depan tidak seharusnya disandarkan pada sejumlah kecil spesies tanaman, seperti padi dan gandum yang bakal semakin sulit bertahan di Bumi yang memanas.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Ketika Bumi kian memanas dan pangan utama dari biji-bijian semakin sulit bertahan, kita harus segera menyiapkan beragam sumber pangan alternatif. Sebagian sumber pangan yang adaptif terhadap pemanasan global itu ternyata ada di sekeliling kita dan selama ribuan tahun telah menjadi bagian tradisi pangan lokal, tetapi belakangan justru dimarjinalkan.
Meningkatnya suhu global menjadi salah satu ancaman langsung pada produksi tanaman pangan. Laporan Matti Kummu dari Aalto University, Finlandia dan tim di jurnal One Earth pada Mei 2021 menyebutkan, sepertiga produksi pangan global akan terancam pada akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca terus meningkat.
Tanaman pangan utama yang berbasis biji-bijian termasuk yang paling terancam pemanasan global. Menurut studi Zhao di jurnal PNAS (2017), setiap kenaikan suhu global 1 derajat celsius akan menurunkan produksi gandum 6 persen, padi 3,2 persen, jagung 7,4 persen, dan kedelai 3,1 persen.
Situasi ini mendorong para ilmuwan mencari sumber pangan alternatif yang dianggap bisa lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Laporan penelitian terbaru di jurnal PLOS Climate pada Rabu (17/8/2022) menunjukkan, tanaman sukun (Artocarpus communis Forst) sangat cocok untuk tumbuh di daerah yang kering dan mengalami kerawanan pangan tingkat tinggi sehingga bisa menjadi bagian dari solusi krisis pangan global.
Penelitian yang dipimpin Daniel Horton dari Northwestern University, Amerika Serikat, ini melakukan pemodelan untuk melihat daya tahan sukun ketika kondisi iklim berubah di masa depan, antara tahun 2060 dan 2080. Untuk proyeksi iklim di masa depan, mereka melihat dua skenario: skenario yang mencerminkan emisi gas rumah kaca yang tinggi dan skenario yang di mana emisi relatif stabil.
Dalam kedua skenario, sebagian besar wilayah yang cocok untuk budidaya sukun tetap tidak terpengaruh secara signifikan. Bahkan, para peneliti juga menemukan sejumlah wilayah baru yang cocok bagi pertumbuhan pohon sukun, misalnya di sub-Sahara Afrika, di mana pohon sukun tidak ditanam secara tradisional, tetapi ke depan dapat menyediakan sumber makanan yang penting dan stabil.
Horton menyimpulkan, pohon sukun dapat bertahan lebih lama terhadap panas dan kekeringan dibandingkan tanaman pokok lainnya. Tetapi, manfaatnya tidak berakhir di situ. Karena merupakan tanaman tahunan, sukun juga membutuhkan input energi yang lebih sedikit, termasuk air dan pupuk dibandingkan tanaman yang perlu ditanam kembali setiap tahun. Seperti pohon lainnya, tanaman ini menyerap karbon dioksida dari atmosfer selama masa hidupnya.
Keberagaman pangan lokal
Laporan penelitian ini seharusnya bisa menggerakkan kita untuk mulai melirik kembali beragam sumber pangan lokal dan tidak hanya terobsesi untuk mencetak sawah-sawah baru saja untuk menopang kebutuhan pangan nasional
Sukun merupakan tanaman endemik Kepulauan Indonesia (Vietmeyer (1992), sebelum kemudian menyebar ke Kepulauan Pasifik. Selama ribuan tahun telah menjadi bagian dari kuliner berbagai masyarakat Nusantara. Sebaran sukun di berbagai wilayah bisa dilihat dari penamaan lokalnya yang beragam, yaitu Suune (Ambon) Amo (Maluku Utara), Kamandi, Urknem atau Beitu (Papua), Karara (Bima, Sumba dan Flores), Susu Aek (Rote), Naunu (Timor), Hatopul (Batak), Baka atau Bakara (Sulawesi Selatan), dll (Rehatta dan Kesaulya, 2010).
Berbagai kandungan dan manfaat sukun sebagai bahan pangan telah banyak dikaji. Laporan Adinugraha dan Kartikawati (2012) menyebutkan, sukun memiliki kandungan karbohidrat, vitamin C, phosfor dan kalsium, yang jumlahnya bervariasi. Dari sukun yang diambil dari 14 daerah di Indonesia, diperoleh tiga populasi yang memiliki kandungan karbohidrat tertinggi, yaitu Madura (33,37 persen), Banten (32,53 persen), dan Cilacap (29,27 persen), sedangkan kandungan vitamin C tertinggi berasal dari Sorong (46,10 mg).
Laporan Ying Liu dari University of British Columbia dan tim di jurnal Amino Acid (2015) juga menemukan buah ini kaya dengan asam amino esensial yang bermanfaat untuk kesehatan otot dan otak. Bahkan, ada satu kultivar sukun dari Hawaii yang kandungan asam amino esensialnya melebihi kedelai.
Sekalipun sudah lama menjadi bagian diet masyarakat tradisional dan bisa tumbuh baik di berbagai wilayah Indonesia, sukun seolah dipandang sebelah mata. Tidak ada upaya pengembangan, baik budidaya maupun pengolahan pascapanen, dibandingkan obsesi cetak sawah baru yang kini dilakukan di mana-mana.
Sukun hanya salah satu dari deretan sumber pangan lokal yang adaptif terhadap perubahan iklim, tetapi dimarjinalkan. Kita juga memiliki sagu (Metroxylon sagu rottb), tanaman endemis yang memiliki kemampuan adaptasi sangat baik di lingkungan tropis dan tidak dipengaruhi oleh musim ataupun perubahan iklim.
Buah ini kaya dengan asam amino esensial yang bermanfaat untuk kesehatan otot dan otak. Bahkan, ada satu kultivar sukun dari Hawaii yang kandungan asam amino esensialnya melebihi kedelai.
Sejumlah penelitian telah membuktikan pohon sagu memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap kondisi ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan angin kencang. Sebuah studi kasus di Filipina menunjukkan, tanaman sagu hanya mengalami sedikit kerusakan, yaitu hanya 12 persen saat terjadi topan Haiyan pada 2013 (Nishiyama S, 2014). Sistem perakaran serabutnya yang berserat juga mampu memerangkap muatan lumpur dan menghilangkan polutan, kontaminan feses, hingga logam berat. Bahkan, tanaman sagu diketahui bisa tumbuh di daerah perairan payau dekat dengan pantai dan dianggap toleran terhadap garam (Yamamoto, 1996; Flach, 1977).
Jangan lupa, Indonesia juga merupakan pertemuan dua nenek moyang pisang dunia, Musa acuminata Colla dan Musa balbisiana Colla, yang membuat kita kaya dengan beragam jenis pisang. Selain pisang buah yang kaya nutrisi, pisang olahan atau plantain juga kaya karbohidrat sehingga menjadi bagian dari pangan utama di sebagian masyarakat tradisional, terutama di Papua dan Maluku.
Studi Manuel Boissiere (Asia Pacific Viewpoint, 2002) menemukan, saat El Nino hebat melanda tahun 1997 dan memicu kekeringan dan kelaparan di berbagai daerah di Papua, masyarakat Yali masih punya 21 jenis pangan lokal yang masih bertahan dan bisa jadi cadangan di masa krisis itu, antara lain kerak (dalam bahasa Yali berarti pisang hutan) dan bingga atau sejenis uwi hutan (Dioscorea sp).
Ketika perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan invasi Rusia ke Ukraina memperburuk kerawanan pangan global, sudah saatnya kita kembali menggali beragam sumber pangan lokal yang terabaikan. Kebutuhan pangan kini dan ke depan tidak seharusnya disandarkan pada sejumlah kecil spesies tanaman, seperti beras dan gandum yang bakal semakin sulit bertahan di Bumi yang memanas.