Revolusi Baterai, Kontroversi Nikel, dan Masa Depan Teknologi
Masa depan baterai tidak akan bisa disetir oleh sumber daya alam yang terbatas, tetapi lebih pada riset dan teknologi.
Baterai pada dasarnya adalah sebuah reaktor kecil yang dapat menyimpan energi kimia untuk diubah menjadi listrik dan kemudian dialirkan ke berbagai perangkat lain. Teknologi baterai telah lama digunakan, tetapi baru belakangan dirasakan peran pentingnya dalam transformasi kehidupan modern.
Teknologi ini pertama ditemukan oleh fisikawan Italia, Alessandro Volta, pada tahun 1800 dan sejak itu inovasinya cenderung lambat. Bahkan, teknologi baterai berbahan timbal-asam, yang ditemukan pada 1859, masih menjadi teknologi yang digunakan untuk menghidupkan mobil bermesin pembakaran internal dan mesin lainnya hingga saat ini.
Revolusi teknologi baterai diawali riset terpisah oleh Guru Besar Teknik Mesin dan Ilmu Materi di Universitas Texas, AS, John Goodenough; ahli kimia Universitas Binghamton, AS, M Stanley Whittingham; dan ahli kimia Universitas Meijo, Jepang, Akira Yoshino. Riset yang didorong oleh krisis minyak pada tahun 1970-an itu akhirnya menjadi dasar penemuan teknologi baterai lithium-ion (Li-ion).
Temuan ini memungkinkan penggunaan baterai yang menjadi penopang perangkat elektronik portabel dan penggunaan terbaru di sektor transportasi. Ketiganya akhirnya dianugerahi Hadiah Nobel Kimia pada 2019.
Tanpa ada temuan lithium-ion, sumber daya yang bisa diisi ulang hingga ribuan kali, seperti digunakan pada ponsel pintar dan laptop, tidak akan pernah sekecil dan seringan ini. Bagi kendaraan listrik, baterai Li-ion ini juga memberi jarak tempuh kendaraan dengan sekali pengisian daya yang lebih panjang.
Terlebih lagi, alat-alat baru seperti drone, yang kini diharapkan dapat berperan aktif tidak hanya dalam pengambilan video tetapi juga di berbagai bidang, seperti patroli dari angkasa dan pengangkutan barang, mungkin tidak akan pernah tercipta.
Bahkan, teknologi baterai kini dianggap sangat penting sebagai penyimpanan daya skala jaringan, yang membantu transisi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil secara luas dengan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
Dengan kekompakan dan pengurangan bobot yang sulit dicapai pada versi sebelumnya, baterai Li-ion memungkinkan beragam alat untuk mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Ini adalah berkat riset panjang yang dirintis para ilmuwan.
Pemanfaatannya yang meluas membuat industri baterai tumbuh pesat. Menurut laporan McKinsey & Company pada 2023, permintaan baterai global terus meningkat, dengan proyeksi pertumbuhan tahunan sebesar 25 persen pada tahun 2030.
Prinsip baterai litium
Secara sederhana, baterai terdiri dari anoda, katoda, elektrolit, dan dua pengumpul arus positif dan negatif. Elektrolit membawa ion litium bermuatan positif dari anoda ke katoda dan sebaliknya melalui pemisah. Pergerakan ion litium menciptakan elektron bebas di anoda yang menciptakan muatan pada pengumpul arus positif. Arus listrik kemudian mengalir dari pengumpul arus melalui perangkat yang diberi daya seperti ponsel ke pengumpul arus negatif.
Anoda sebagian besar baterai Li-ion terbuat dari grafit. Biasanya komposisi mineral katoda atau elektroda positif yang berubah, yang membuat perbedaan kimiawi baterai. Bahan katoda, yang mendominasi komponen biaya baterai, biasanya mengandung litium bersama dengan mineral lain, termasuk nikel, mangan, kobalt, atau besi. Komposisi ini pada akhirnya menentukan kapasitas, daya, kinerja, biaya, keamanan, dan masa pakai baterai.
Nikel (Ni) hanya salah satu dari unsur baterai, tetapi berperan cukup vital. Penggunaan nikel kadmium (NiCd) dan baterai isi ulang nikel metal hidrida (NiMH) yang tahan lama mulai mengemuka pada tahun 1980-an. Penerapannya pada perkakas listrik dan kamera digital awal.
Pertengahan 1990-an terjadi penggunaan baterai NiMH secara signifikan pertama kali pada kendaraan pabrikan Jepang, Toyota Prius. Pada periode ini, Jepang masih memimpin penggunaannya.
Sekitar waktu yang sama, aplikasi komersial untuk baterai Li-ion meluas, awalnya pada kamera video dan akhirnya diterapkan pada ponsel pintar, laptop, dan berbagai perangkat portabel lainnya.
China kemudian menyalip dominasi produksi baterai Li-ion, terutama dengan menguasai rantai pasok bahan baku, selain dukungan riset dan teknologi yang mumpuni. Nikel dari Indonesia menjadi penopang penting bagi industri baterai Li-ion di China, terutama untuk baterai kendaraan listrik.
Meningkatnya permintaan terhadap bahan baterai Li-ion, utamanya litium, kobalt, hingga nikel, mulai mengguncang geopolitik dunia energi.
Namun, meningkatnya permintaan terhadap bahan baterai Li-ion, utamanya litium, kobalt, hingga nikel, mulai mengguncang geopolitik dunia energi. Beberapa negara yang memiliki sumber daya ini mencoba untuk mendapatkan lebih banyak manfaat dari mineral mereka, dengan melakukan lebih banyak pengolahan yang bernilai tambah di dalam negeri.
Zimbabwe dan Namibia, misalnya, melarang ekspor litium mentah dan Chile meningkatkan kendali negara atas penambangan litium, sedangkan Indonesia menerapkan larangan ekspor bijih nikel mentah atau yang dikenal sebagai hilirisasi sejak 2020.
Sejak larangan itu, bijih nikel wajib diolah di dalam negeri dan baru boleh diekspor setelah menjadi produk turunannya (setengah jadi), seperti feronikel, nickel pig iron, dan nickel matte. Sebagian besar investasi di balik industri pengolahan bijih nikel di Indonesia ini dari China.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kebijakan ini memicu lonjakan volume ekspor feronikel dari 1,5 juta ton pada 2019 menjadi 5,7 juta ton pada 2022. Nilainya juga meningkat dari 2,5 miliar dollar AS pada 2019 menjadi 13,6 miliar dollar AS pada 2022. Ekspor didominasi ke China. Selain itu, juga ke India, Korea Selatan, dan Taiwan. Namun, membanjirnya pasokan feronikel ini belakangan telah memicu anjloknya harga komoditas ini di pasaran global.
Selain sola gejolak harga, hilirisasi nikel secara besar-besaran juga banyak memicu kritik, terutama karena dampaknya pada lingkungan dan sosial. Laporan Climate Right International (CRI) pada 17 Januari 2024 menyebutkan, aktivitas industri nikel serta pertambangan nikel lainnya di Maluku Utara telah menyebabkan deforestasi serta pencemaran air dan udara yang merusak kualitas hidup penduduk lokal.
Tak hanya itu, aktivitas pertambangan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca berjumlah besar dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) luar jaringan (captive power plant) yang dioperasikan untuk menjalankan smelter peleburan nikel. Begitu pula masalah keselamatan kerja, terutama dengan kebakaran dan korban di pabrik nikel yang berulang kali terjadi, menuntut adanya audit teknologi.
Baca juga: Kebakaran Smelter Nikel di Kutai Kartanegara Tewaskan Pekerja Asing
Inovasi baru
Di tengah hilirisasi nikel yang sarat masalah, pembatasan ekspor bijih nikel juga memicu para periset dan industri, terutama dari negara-negara maju untuk mencari alternatif baru bahan baterai. ”Ini adalah permainan biaya,” kata Yoyoi Sekine, Kepala Riset Energi Bloomberg NEF, dalam MIT Technology Review (2023).
Salah satu temuan itu adalah lithium ferro-phosphate (LFP) yang saat ini tumbuh pesat terutama karena penggunaan besi dan fosfat daripada nikel dan kobalt sehingga lebih murah. Menurut laporan Yu Miao dari Baylor University, Amerika Serikat, dan tim di jurnal Energies (2019), dari enam baterai Li-ion di pasaran, LFP dianggap sebagai salah satu bahan kimia teraman dan memiliki umur panjang sehingga memungkinkan penggunaannya dalam sistem penyimpanan energi.
Kemajuan terbaru dalam bidang kimia dan manufaktur LFP telah membantu meningkatkan kinerja baterai ini dan banyak perusahaan mulai mengadopsi teknologinya. Bahkan, menurut MIT Technology Review (2023), pangsa pasar LFP tumbuh dengan cepat, dari sekitar 10 persen pasar kendaraan listrik global pada tahun 2018 menjadi sekitar 40 persen pada tahun 2022.
Tesla sudah menggunakan baterai LFP di beberapa kendaraan dan produsen mobil, seperti Ford dan Volkswagen, mengumumkan bahwa mereka berencana untuk mulai menawarkan beberapa model EV dengan bahan kimia tersebut juga.
Baterai LFP hanya satu dari deretan riset baterai. Teranyar, insinyur Cornell University telah menciptakan baterai Li-ion baru menggunakan indium (In), logam lunak, yang saat ini banyak digunakan untuk layar sentuh dan panel surya. Baterai ini diklaim dapat mengisi daya baterai mobil dalam waktu kurang dari lima menit, lebih cepat dibandingkan baterai mana pun yang ada di pasaran.
Makalah tim peneliti ini diterbitkan di jurnal Joule edisi Januari 2024. Penulis utamanya adalah Shuo Jin, mahasiswa doktoral di bidang teknik kimia dan biomolekuler di Universitas Cornell.
”Kecemasan terhadap jangkauan merupakan hambatan yang lebih besar terhadap elektrifikasi dalam transportasi dibandingkan hambatan lainnya, seperti biaya dan kemampuan baterai, dan kami telah mengidentifikasi cara untuk menghilangkannya dengan menggunakan desain elektroda baru,” kata Lynden Archer, profesor teknik dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Cornell, yang mengawasi proyek tersebut.
Baca juga: Banjirnya Produk Nikel dan Disorientasi Hilirisasi
Bagaimanapun, bom ekspor bahan komoditas yang berbasis sumber daya alam juga akan selalu berakhir dan bahkan bisa berbalik arah seperti mulai terjadi dengan nikel saat ini. Namun, kemajuan riset dan teknologi seperti nyaris tak terbatas. Hilirisasi, selain harus lebih hati-hati, juga perlu dukungan kuat riset dan teknologi.