Nyawa Mereka Terenggut demi Membela Lingkungan
Selama hampir satu dekade, belasan orang di sejumlah daerah terbunuh akibat membela lingkungan.
”Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Dikursilistrikkan ataupun ditikam”
Penggalan lirik lagu berjudul ”Di Udara” karya Efek Rumah Kaca tersebut menggambarkan kondisi para pejuang hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, termasuk di sektor lingkungan hidup. Dalam catatan sejarah, banyak di antara mereka yang berusaha dibungkam dengan berbagai cara, mulai dari diintimidasi, dikriminalisasi, diteror, hingga dibunuh.
Masih segar di dalam ingatan publik ketika Salim Kancil, seorang petani dari Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, dengan gigih menolak pertambangan pasir di wilayahnya. Penolakan ini dilakukan karena Salim khawatir penambangan pasir akan merusak sawah dan lingkungan tempat ia menggantungkan hidup.
Ironisnya, perjuangan Salim Kancil untuk mempertahankan kelestarian lingkungan hidup ini justru harus dibayar dengan nyawa. Sesaat sebelum demonstrasi, Salim dianiaya dan dikeroyok puluhan warga yang mendukung adanya penambangan pasir. Salim ditemukan tewas dengan luka bacok dalam kondisi tangan terikat pada 26 September 2015.
Masih di tahun yang sama, seorang anggota Serikat Tani Tebo di Jambi bernama Indra Pelani ditemukan tewas terbunuh karena mempertahankan area kelolanya. Hasil persidangan mengungkap bahwa Indra tewas setelah disiksa para pelaku yang merupakan petugas perusahaan swasta yang berkonflik dengan warga.
Salim Kancil dan Indra Pelani hanyalah sedikit dari sekian banyak pembela lingkungan yang gugur ketika memperjuangkan kelestarian lingkungan dan mempertahankan sumber daya alam di wilayahnya. Beberapa di antara mereka yang terbunuh tidak hanya berasal dari masyarakat kelas bawah dan berprofesi sebagai buruh atau petani, tetapi juga wartawan hingga advokat.
Sebut saja nama dua wartawan asal Sumatera Utara, Maradam Sianipar dan Maratua Siregar. Nyawa mereka terenggut ketika tengah melakukan advokasi lahan yang berhadapan dengan salah satu perusahaan swasta di Labuhan Bahu, Sumut, pada 2019 lalu.
Kemudian, terdapat pula nama Golfrid Siregar, seorang advokat dan aktivis lingkungan yang meninggal dengan penuh kejanggalan ketika tengah gencar menggugat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Sumut. Kondisi hampir serupa juga dialami Jurkani, advokat asal Kalimantan Selatan, yang meninggal dikeroyok orang tak dikenal saat mengusut kasus aktivitas tambang ilegal pada 2021.
Dari wilayah Indonesia timur, petani bernama Marius Batera asal Boven Digoel, Papua Selatan, diduga dianiaya hingga meninggal oleh oknum aparat penegak hukum saat mempertanyakan kebunnya yang dirusak perusahaan swasta.
Individu dan kelompok masyarakat yang berjuang di bidang lingkungan hidup memang masih terus dibayangi intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi.
Sementara pada 2022, seorang pejuang lingkungan asal Sulawesi Tengah bernama Erfaldi Erwin Lahadado tewas tertembak saat unjuk rasa menolak tambang emas di Desa Khatulistiwa, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo).Uji balistik yang dilakukan Polda Sulawesi Tengah terhadap proyektil senjata api di lokasi unjuk rasa menemukan bukti bahwa penembakan terhadap Erfaldi dilakukan salah satu anggota Polres Parimo.
Terbaru, petani sawit asal Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, bernama Gijik kehilangan nyawa saat menuntut pemenuhan plasma sawit bagi masyarakat pada Oktober 2023. Gijik tewas setelah dadanya berlubang terkena tembakan yang diduga dilakukan polisi yang mengamankan aksi tersebut.
Nama-nama pembela lingkungan yang kehilangan nyawa tersebut terangkum dalam laporan status pembela lingkungan 2014-2023 yang disusun Auriga Nusantara. Namun, terbuka kemungkinan korban kekerasan terhadap pembela lingkungan masih banyak terjadi, terutama di daerah terpencil atau berkonflik dan tidak muncul dalam pemberitaan.
Jumlah kasus
Selama hampir satu dekade, individu dan kelompok masyarakat yang berjuang di bidang lingkungan hidup memang masih terus dibayangi intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi. Kondisi ini terjadi seiring meningkatnya kegiatan industri ekstraktif dan program pembangunan yang merambah kawasan perdesaan, termasuk proyek strategis nasional (PSN).
Auriga mencatat, terdapat 133 kasus ancaman terhadap pembela lingkungan selama periode 2014-2023. Auriga memberikan catatan, angka tersebut dihimpun dari pemberitaan serta baru dibatasi pada individu dan belum mencakup kelompok masyarakat atau organisasi.
Kasus ancaman terhadap pembela lingkungan meningkat secara signifikan sejak tahun 2017 atau satu tahun setelah pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN. Pada 2017, ancaman terhadap pembela lingkungan mencapai 14 kasus atau meningkat signifikan dari sebelumnya yang hanya tercatat 2 kasus.
Peningkatan kasus secara signifikan juga terjadi pada 2021 atau satu tahun setelah pemerintah dan DPR mengesahkan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pada 2021, ancaman yang tercatat sebanyak 24 kasus, kemudian menjadi 27 kasus tahun 2022, dan terus meningkat hingga mencapai 30 kasus sepanjang 2023.
Sebaran ancaman terhadap individu pembela lingkungan cukup merata di berbagai wilayah di Indonesia. Ancaman terbanyak tercatat di wilayah Jawa (36 kasus), disusul Sumatera (30 kasus), Sulawesi (23 kasus), Kalimantan (22 kasus), Bali dan Nusa Tenggara (15 kasus), Kepulauan Maluku (5 kasus), dan Papua (2 kasus). Sementara dari lingkup provinsi, ancaman terhadap pembela lingkungan terbanyak berada di Jawa Tengah dengan total 11 kasus.
Tambang dan energi mendominasi sektor pengancam pembela lingkungan dengan jumlah 60 kasus. Sektor lainnya, yakni perkebunan (34 kasus), kehutanan (14 kasus), perikanan dan maritim (9 kasus), tanah adat (9 kasus), dan lingkungan hidup (7 kasus).
Baca juga: Pejuang Lingkungan Masih Rentan Mengalami Kekerasan
Dari 133 kasus tersebut, jenis ancaman terbanyak ialah kriminalisasi dengan jumlah 82 kasus. Kemudian jenis ancaman lain ialah kekerasan fisik (20 kasus), intimidasi (15 kasus), pembunuhan (12 kasus), perusakan properti (2 kasus), dan imigrasi atau deportasi (2 kasus).
Direktur Eksekutif Auriga Nusantara Timer Manurung mengemukakan, ancaman berupa imigrasi atau deportasi dialami para peneliti dan jurnalis asing yang memiliki kepedulian terhadap Indonesia. Peneliti tersebut juga sempat melakukan riset di Indonesia dan memublikasikan data kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
”Dua kasus deportasi ini yang terekam oleh media. Akan tetapi, meski tidak mendapat verifikasi data, kami mengetahui dengan persis bahwa banyak peneliti spesies dari luar negeri yang kesulitan melakukan aktivitas penelitian di Indonesia,” ujarnya saat memaparkan laporan tersebut secara daring, Jumat (19/1/2024).
Instrumen hukum
Upaya kriminalisasi kepada pembela lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan sejumlah instrumen hukum. Aturan tersebut, di antaranya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Bendera Bahasa dan Lambang Negara, UU Darurat Tahun 1951, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keimigrasian, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU Mineral dan Batubara (Minerba), serta UU Panas Bumi.
Contoh ketentuan yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi pembela lingkungan adalah Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dapat dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Menurut Timer, langkah yang harus dilakukan ke depan adalah mengubah regulasi tersebut dan membuat regulasi baru yang berpihak kepada pembela lingkungan. Di sisi lain, prosedur atau protokol di institusi pemerintah dan penegak hukum juga perlu dievaluasi agar lebih pro-pembela lingkungan.
”Tantangan membuat regulasi baru yang berkualitas memang akan sangat tinggi dan masih menjadi catatan. Akan tetapi, apa pun yang terjadi, jaminan regulasi untuk pembela lingkungan tetap diperlukan dan menjadi suatu keharusan,” ungkapnya.
Timer menyatakan, pembela lingkungan perlu didukung karena sumber daya alam dan lingkungan tidak dapat melakukan pembelaan langsung terhadap berbagai ancaman kerusakan yang terjadi. Ancaman kerusakan inilah yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya bencana hingga mengancam keselamatan dan merugikan masyarakat.
Salah satu upaya Auriga bersama masyarakat sipil untuk memberikan perlindungan terhadap pembela lingkungan dilakukan dengan cara membangun platform environmentaldefender.id. Platform yang dikembangkan sejak 2018 ini dilatarbelakangi dari meningkatnya kasus terhadap pembela lingkungan dan terinspirasi dari upaya Guardian memprofilkan para pembela lingkungan yang mendapat ancaman kekerasan hingga pembunuhan.
Baca juga: Maknai Ulang Perlindungan Hukum bagi Pembela Lingkungan
Akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, menambahkan, masih banyaknya kasus kriminalisasi terhadap pembela lingkungan menunjukkan reformasi kebijakan di kejaksaan ataupun kehakiman tidak memberikan arti apa pun. Bahkan, kebijakan yang dibuat saat ini hanya berpengaruh terhadap pihak pengusaha.
Asfina menegaskan, agenda melindungi pembela HAM, termasuk di sektor lingkungan, perlu fokus pada upaya menghilangkan oligarki dan membenahi hukum di Indonesia. ”Pada akhirnya, kedua hal ini akan bermuara pada sistem politik di Indonesia. Sistem politik ini harus diubah agar tidak hanya dikuasai atau dikontrol oleh para elite,” ucapnya.