Ketika Aktivis Kemanusiaan Berbagi Cerita Melawan Perdagangan Orang
Perdagangan orang adalah kejahatan kemanusiaan yang tak kunjung berhenti. Gerakan melawan mafia tidak boleh kendur.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
”Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Nusa Tenggara Timur, terutama di Sumba. Kami terus bergumul sampai saat ini, apakah undang-undang yang ada sudah cukup memadai melindungi warga negara. Sampai saat ini perdagangan orang terus terjadi dengan berbagai modus operandi,” ungkap Emmy Sahertian, aktivis kemanusiaan dari Nusa Tenggara Timur (NTT), saat berbagi cerita dalam Bincang Anti-Perdagangan Orang: Suara dari Lapangan, Selasa (23/1/2024) malam.
Acara yang berlangsung secara daring ini digelar Tim Lobby dan Advokasi Zero Human Trafficking Network (Z-HTN). Kegiatan diikuti oleh aktivis kemanusiaan yang bergerak dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dari NTT, Lampung, Batam, Manado, Kalimantan, Jakarta, dan beberapa daerah lain.
”NTT sudah berada dalam darurat perdagangan orang,” ucap Emmy.
Ia menceritakan beratnya perjuangan para aktivis kemanusiaan di NTT melawan mafia perdagangan orang, yang terus merekrut warga di desa-desa di NTT. Emmy, pendeta Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), sejak 2016 bersama beberapa suster dan pendeta lain menjadi inisiator jaringan pelayanan penjemputan jenazah pekerja migran Indonesia (PMI) di bagian kargo Bandar Udara El Tari, Kupang.
NTT sampai sekarang menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi target mafia perdagangan orang yang berkedok perekrutan pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri, termasuk dalam negeri. Hampir satu dekade NTT terkenal sebagai provinsi penerima jenazah PMI dalam kargo, yang mayoritas korban TPPO atau diberangkatkan secara ilegal.
Dalam bincang yang dipandu oleh Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Emmy mengakui gerakan melawan mafia perdagangan orang benar-benar menguras energi. Bahkan, pada titik tertentu, kerap membuat Emmy serta para aktivis kemanusiaan kelelahan mental dan fisik.
”Kami lelah mental, tapi kami belum lelah iman. Saya dan kawan-kawan yang menjemput kargo akan tetap di sana. Mafia terbesar belum tertangkap,” kata Emmy.
Emmy menuturkan, perubahan posisi ketua harian dalam Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) kepada Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri), pertengahan 2023, memang membuat kepolisian menangkap banyak orang yang diduga terkait TPPO.
Akan tetapi, yang benar-benar diproses sampai ke tingkat pengadilan hanya hitungan jari. Perkaranya dinilai tidak memenuhi unsur TPPO karena lebih pada penyelundupan orang (people smuggling). Akibatnya, perdagangan orang terus terjadi, perekrutan PMI secara ilegal tak berhenti.
Ada persoalan di tingkat desa, mereka tidak berani mengungkapkan ada keluarga yang berangkat ilegal.
Para calon PMI ilegal dari NTT sebelum dikirim ke luar negeri dibawa ke daerah transit, seperti Batam, Medan, dan Kalimantan. Bahkan, saat ini daerah Kabanjahe, Sumatera Utara, menjadi daerah transit baru bagi PMI ilegal dari NTT. Baru-baru ini tim dari GMIT menjemput calon PMI yang sakit jiwa dan dibawa pulang kampung.
Perubahan musim di NTT yang memengaruhi pertanian memicu ”migrasi lapar”. Saat kondisi seperti itu, masyarakat di NTT terdesak oleh kebutuhan makanan. Mereka keluar dari kampung menjadi PMI secara nonprosedural. ”Kami menyebutnya ’migrasi lapar’. TPPO di NTT saat ini sudah berwajah smuggling,” ucap Emmy.
Cerita Emmy menggambarkan betapa situasi NTT dalam darurat. Koordinator Tim Lobby dan Advokasi Z-HTN Elga Sarapung menyatakan, data yang dihimpun Z-HTN sampai dengan 31 Desember 2023, sebanyak 185 pekerja migran menjadi korban perdagangan orang dan tercatat 151 kargo jenazah pekerja migran NTT yang dikirim pulang ke kampung halaman.
Setiap bulan ada saja pekerja migran dari NTT yang meninggal di luar negeri. Hampir semuanya berstatus pekerja ilegal. Kebanyakan meninggal karena sakit dan kecelakaan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Ngada, NTT, Ermelinda Inam Mugi, mengakui, pengetahuan masyarakat terkait TPPO yang minim membuat masyarakat mudah tergiur dengan tawaran bekerja di luar daerah. Dari temuan di lapangan, ketika pihaknya turun ke desa-desa menanyakan apakah ada warga yang bekerja di luar negeri, pemerintah mengakui jumlahnya banyak. Namun, ketika ditanya datanya tidak ada.
”Ada persoalan di tingkat desa, mereka tidak berani ungkapkan ada keluarga yang berangkat ilegal. Itu sama sekali tertutup. Ketika ada persoalan, itu baru muncul,” ucap Ermelinda.
Cerita dari Lampung dan Manado
Cerita pendampingan korban TPPO juga diungkapkan Suster Katarina, aktivis kemanusiaan dari Talikum, yang ikut dalam gerakan melawan TPPO sejak 15 tahun lalu. Bersama sejumlah aktivis, dia membentuk Jaringan Masyarakat Menentang Perdagangan Orang di Lampung. Yang terbaru, beberapa minggu lalu ada 16 anak muda tertipu. Mereka mengeluarkan uang karena iming-iming bekerja di luar Lampung.
”Sebelum ada shelter provinsi, para korban dirujuk kepada kami. Korban TPPO yang dikirim dari sejumlah wilayah, Papua, Medan, Kalimantan, dan Lampung sendiri banyak,” kata Katarina.
Dari Manado, Sulawesi Utara, Ketua Lembaga Terung Ne Lumimuut (TeLu), pendeta Marhaeni Luciana Mawuntu, berbagi cerita tentang pendampingan korban TPPO yang dimulai sejak 2015. Kasus pertama adalah anak perempuan asal Manado yang dijual menjadi pekerja seksual di Gorontalo.
Dari pendampingan, selain pentingnya advokasi dan lobi dengan pemangku kebijakan, edukasi kepada masyarakat juga menjadi penting. Ia mencontohkan, di Minahasa dan Minahasa Selatan, mafia perdagangan orang memanipulasi para korban sehingga tidak merasa sebagai korban TPPO.
Para perempuan dan anak remaja yang dikirim menjadi pekerja seks komersial, baik antarkabupaten maupun provinsi tidak merasa sebagai korban. Mereka diberi tahu bahwa apa yang mereka alami merupakan risiko yang harus ditanggung. ”Kami melakukan edukasi, terutama menjangkau anak SMP dan SMA, juga lingkungan pemuda dan remaja dalam komunitas agama,” kaya Marhaeni.
Selain dari NTT, cerita kasus-kasus TPPO juga disampaikan Robby Sanjaya dari Singkawang, Kalimantan Barat; Irwan dari Kepulauan Riau; dan sejumlah aktivis kemanusiaan lain yang bergerak melawan TPPO.
Permasalahan TPPO merupakan satu dari sekian banyak permasalahan sosial yang ada di Indonesia yang semakin menghancurkan harkat dan martabat hidup serta kehidupan masyarakat Indonesia. TPPO adalah kejahatan kemanusiaan yang harus diperangi bersama-sama.