Pelibatan Dunia Usaha dalam Penanggulangan Tuberkulosis Dinanti
Upaya pengendalian tuberkulosis membutuhkan sumber daya yang besar. Berbagai pihak harus berperan, termasuk dunia usaha.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan di Indonesia semakin bertambah. Kebutuhan sumber daya dalam penanggulangan tuberkulosis pun kian besar. Keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan, termasuk dunia usaha yang selama ini keterlibatannya dinilai masih kurang optimal.
Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nancy Dian Anggraeni mengatakan, dampak tuberkulosis tidak hanya terjadi pada individu yang tertular tuberkulosis, tetapi juga berdampak pada keluarga, komunitas, dan negara. Dampak itu juga tidak hanya terkait pada aspek kesehatan, tetapi juga sosial dan ekonomi.
”Penanganan tuberkulosis membutuhkan sumber daya yang besar. Jadi, tidak hanya dari pemerintah saja yang bertindak untuk menangani tuberkulosis, tetapi juga butuh dukungan semua sektor, termasuk dunia usaha,” katanya dalam kegiatan Sosialisasi Petunjuk Teknis Pelibatan Dunia Usaha dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis di Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Menurut Nancy, dunia usaha dapat terlibat dalam pengendalian tuberkulosis melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pada Pasal 8 Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha disebutkan bahwa program tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan badan usaha dapat dijalankan untuk mendukung program prioritas nasional dalam kesejahteraan masyarakat.
Adapun dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis disebutkan, penanggulangan tuberkulosis merupakan program prioritas nasional. Karena itu, upaya penanggulangan tuberkulosis sangat tepat untuk dilakukan sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan dunia usaha.
Dukungan pada pasien tuberkulosis dapat diberikan melalui pemberian nutrisi dan gizi seimbang, biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan, ataupun dukungan sosial untuk pemberdayaan ekonomi bagi keluarga yang terdampak. Tuberkulosis berkaitan erat dengan kemiskinan. Setidaknya 46 persen dari orang dengan tuberkulosis juga termasuk kelompok miskin, baik miskin ekstrem, miskin, maupun rentan miskin.
Program tanggung jawab sosial dan lingkungan dari dunia usaha menjadi peluang yang besar untuk mencapai keberhasilan penanggulangan tuberkulosis di Indonesia.
”Seseorang dengan tuberkulosis untuk berobat sampai sembuh membutuhkan biaya yang besar, baik untuk pengobatan maupun untuk dukungan terhadap keberhasilan pengobatan itu sendiri. Keberhasilan penanganan tuberkulosis harus diperhatikan pada aspek medis, sosial, dan ekonomi. Dunia usaha bisa mendukung untuk kebutuhan komplementer,” tutur Nancy.
Kerja sama
Ia mengatakan, kerja sama berbagai pihak dalam penanganan tuberkulosis perlu diperkuat karena kasus tuberkulosis yang ditemukan di masyarakat semakin besar. Temuan kasus yang semakin besar akan sangat baik jika dilanjutkan dengan intervensi pengobatan dan terapi. Dengan terapi dan pengobatan, tuberkulosis bisa disembuhkan sehingga rantai penularan bisa diputus.
Data yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan, adanya tren peningkatan notifikasi kasus tuberkulosis. Secara berurutan pada 2021, 2022, dan 2023 tercatat notifikasi kasus tuberkulosis sebanyak 443.235 kasus, 724.309 kasus, dan 809.644 kasus. Jumlah itu semakin mendekati jumlah estimasi kasus tuberkulosis di Indonesia yang diperkirakan sebanyal 1.060.000 kasus.
Akan tetapi, kesenjangan pada kasus yang ditemukan dengan kasus yang diobati semakin besar. Pada 2021, kasus yang diobati sebanyak 91 persen dari kasus yang ditemukan. Adapun pada 2022, sebanyak 88 persen dari kasus yang ditemukan dapat diobati. Namun, pada 2023 tercatat hanya 84 persen kasus yang ditemukan mendapatkan pengobatan.
Nancy menuturkan, penanggulangan tuberkulosis perlu dilakukan secara besar-besaran dengan melibatkan banyak pihak. Kerja sama yang dilakukan juga harus semakin kuat, termasuk kerja sama dengan dunia usaha. Seluruh mitra terkait seperti organisasi masyarakat sipil ataupun organisasi penyintas tuberkulosis perlu semakin mendekatkan akses pada dunia usaha agar dukungan untuk penanganan tuberkulosis bisa diberikan.
”Kapabilitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil ataupun penyintas dapat ditingkatkan untuk menyusun proposal yang akhirnya bisa digunakan untuk mendukung pendanaan melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan dari dunia usaha. Setelah itu pendanaan didapatkan diharapkan program bisa dijalankan secara konsisten,” tuturnya.
Program Manager Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Erman Varella mengatakan, program tanggung jawab sosial dan lingkungan dari dunia usaha menjadi peluang yang besar untuk mencapai keberhasilan penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. Intervensi yang bisa dilakukan melalui program tanggung jawab sosial tersebut dapat dilakukan di berbagai aspek, mulai dari edukasi dan promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat termasuk kader kesehatan, serta dukungan pengobatan bagi pasien.
Ia mengatakan, kerja sama dengan dunia usaha dapat dilakukan oleh semua pihak terkait. Proposal untuk kerja sama terkait penanggulangan tuberkulosis yang ditujukan ke dunia usaha bisa diajukan oleh organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah. ”Tanggung jawab sosial dan lingkungan ini wajib dilaksanakan oleh perseroan yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang yang terkait dengan sumber daya alam. Jika tidak melaksanakan CSR (tanggung jawab sosial), perseroan bisa dikenai sanksi,” katanya.
Dana hibah
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam siaran pers menyampaikan, Kementerian Kesehatan telah menerima dana hibah dari Global Fund untuk mendukung program eliminasi penyakit HIV, tuberkulosis, dan malaria. Total dana hibah yang diberikan sebesar 390 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,6 triliun dengan periode anggaran untuk 2024-2026.
Secara rinci, dana itu digunakan untuk AIDS sebesar 103,7 juta dollar AS, tuberkulosis 126 juta dollar AS, malaria 35,6 juta dollar AS, dan 14,4 juta dollar AS untuk Sistem Kesehatan yang Tangguh dan Berkelanjutan (RSSH). ”Saya minta dana hibah ini menjadi dana pelengkap dan bukan sebagai dana pengganti sehingga dana dari dalam negeri tetap diupayakan,” ujar Budi.