Kesenjangan Periset dan Industri Jangan Lagi Jadi Alasan Hilirisasi
Penguatan ekosistem penelitian alat kesehatan diharapkan dapat mengatasi kesenjangan hilirisasi riset dalam negeri.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi penelitian alat kesehatan di Indonesia masih sering terkendala kesenjangan antara hasil penelitian dari periset dan kebutuhan industri. Proses izin edar yang dinilai menyulitkan juga kerap menjadi alasan lain dalam hilirisasi.
Melalui penguatan ekosistem penelitian alat kesehatan secara berkesinambungan dari hulu hingga hilir, diharapkan kendala hilirisasi tersebut bisa diatasi. Kolaborasi pentaheliks antarpemangku kepentingan pun dapat dibangun sejak awal pengembangan riset.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalucia dalam acara peluncuran ”Pedoman Hilirisasi Penelitian Alat Kesehatan” di Jakarta, Jumat (19/1/2024), mengatakan, ekosistem industri alat kesehatan nasional perlu diubah menjadi industri yang berfokus pada pengembangan alat kesehatan dalam negeri. Dengan begitu, ketahanan bangsa terhadap kebutuhan alat kesehatan bisa tercapai.
”Ketahanan di sektor alat kesehatan tidak bisa kita lihat hanya dari sisi akses atau ketersediaan saja, melainkan jika ingin berkelanjutan kita harus mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari riset dan pengembangan, produksi, sampai ke distribusinya,” tuturnya.
Karena itu, Rizka mengatakan, percepatan hilirisasi riset dan pengembangan alat kesehatan dalam negeri mutlak dilakukan. Kebutuhan masyarakat akan alat kesehatan yang canggih semakin besar untuk menunjang pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Kolaborasi antarberbagai pemangku kepentingan, baik pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, industri, maupun masyarakat, perlu semakin diperkuat. Indonesia harus bisa mengatasi ketertinggalan dalam hal riset dan pengembangan alat kesehatan.
Ketahanan di sektor alat kesehatan tidak bisa kita lihat hanya dari sisi akses atau ketersediaan saja, melainkan jika ingin berkelanjutan kita harus mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari riset dan pengembangan, produksi, sampai ke distribusinya.
Indonesia kini masih tertinggal dari negara lain dalam aspek riset dan pengembangan alat kesehatan. Berbagai data yang dihimpun Kementerian Kesehatan menunjukkan, besaran belanja produk domestik bruto (GDP) Indonesia untuk riset dan pengembangan hanya 0,28 persen. Jumlah itu lebih kecil dari negara lain, seperti Vietnam (0,5 persen), Thailand (1,14 persen), Singapura (1,89 persen), dan Jepang (3,5 persen).
Selain itu, riset dan pengembangan alat kesehatan yang digambarkan dengan jumlah uji klinik di Indonesia juga jauh lebih kecil dibandingkan negara lain. Jumlah uji klinik yang tercatat di Indonesia pada 2018 hanya 404 uji klinik, sementara negara lain seperti Malaysia mencapai 1.029 uji klinik, Filipina 831 uji klinik, dan Thailand 2.300 uji klinik.
Kendala
Rizka menyampaikan, berbagai tantangan masih banyak ditemukan dalam riset dan pengembangan alat kesehatan dalam negeri. Salah satunya, kesenjangan antara minat dan prioritas dari periset dengan kebutuhan dan prioritas dari industri.
Hal itu sering kali membuat riset yang dikembangkan hanya berujung pada dokumen. Padahal, ketahanan alat kesehatan nasional bisa diwujudkan apabila riset yang dikembangkan bisa berlanjut hingga menjadi produk jadi yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas.
Berangkat dari persoalan tersebut, Kementerian Kesehatan pun menyusun pedoman hilirisasi penelitian alat kesehatan nasional. Pedoman tersebut dapat dimanfaatkan bagi pemangku kepentingan dalam pengembangan riset alat kesehatan dalam negeri. Pedoman ini diharapkan bisa membantu para peneliti dan periset bergerak lebih cepat dengan industri untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Rizka menambahkan, dengan mengacu pada pedoman tersebut, kendala yang dihadapi dalam proses hilirisasi riset pun diharapkan bisa diminimalkan. Lewat pedoman ini, upaya pendampingan terkait hilirisasi riset alat kesehatan diberikan sejak proses pengembangan.
”Jadi, langkah-langkah untuk pemenuhan standar keamanan, mutu, dan kemanfaatan produk sudah dilakukan sejak awal. Jangan sampai ada lagi pernyataan, penelitian yang sudah dikembangkan bertahun-tahun tidak diterima evaluator dan tidak diberi izin edar karena kendala di proses registrasi,” tutur Rizka.
Terkait kesenjangan periset dan industri, Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Roy Himawan menuturkan, terdapat tiga upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Upaya itu lewat identifikasi kesenjangan riset dan isu yang penting bagi industri, penguatan kolaborasi (co-creation), dan sharing (berbagi). Kemudian, penyesuaian (match-making) platform atau lokapasar dapat dibangun untuk menghubungkan riset dan industri.
Sementara dalam penguatan kolaborasi antara periset dan industri, kemitraan jangka panjang perlu dibangun. Pengembangan riset dan inovasi membutuhkan waktu yang tidak singkat. Terkait upaya sharing, itu berarti dalam pengembangan riset sebaiknya tidak dibebankan kepada satu pihak saja. Kesepakatan dalam pembagian perlu dilakukan sejak awal, mulai dari berbagi biaya, berbagi risiko, berbagi fasilitas, hingga kekayaan intelektual.
”Meningkatnya matching rate (tingkat kesesuaian) antara periset atau peneliti dan industri diharapkan bisa mendorong hilirisasi penelitian alat kesehatan. Hasil hilirisasi penelitian yang inovatif tersebut akhirnya dapat memperkuat kemandirian alat kesehatan yang digunakan di pelayanan kesehatan sekaligus memperkuat perekonomian bangsa,” ujar Roy.
Ketua Umum Himpunan Pengembangan Ekosistem Alat Kesehatan Indonesia (Hipelki) Randy H Teguh menyampaikan, terbentuknya Hipelki diharapkan dapat turut menunjang penguatan kolaborasi lintas pemangku kepentingan yang terkait dengan riset dan pengembangan alat kesehatan di Indonesia. Hipelki terdiri dari berbagai unsur, antara lain akademisi, industri penanaman modal asing, industri rintisan, produsen alat kesehatan, produsen komponen alat kesehatan, laboratorium uji alat kesehatan, dan konsultan alat kesehatan.
”Dibentuknya Hipelki diharapkan juga dapat menjadi jawaban dari kesenjangan yang muncul dalam hilirisasi riset dan inovasi pada ekosistem alat kesehatan, khususnya antara akademisi dan industri alat kesehatan,” katanya.