Kapasitas Riset Farmasi dan Alat Kesehatan Perlu Diperkuat
Impor bahan baku obat di Indonesia mencapai 90 persen. Transaksi alat kesehatan impor sebesar 88 persen. Pengembangan riset dari hulu ke hilir pun diperlukan untuk melepas ketergantungan bangsa dari produk impor.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kapasitas riset dan pengembangan produk farmasi dan alat kesehatan di Indonesia perlu ditingkatkan untuk mewujudkan kemandirian bangsa. Ekosistem riset pun diharapkan bisa semakin terbangun melalui integrasi yang kuat antara akademisi, industri, dan pemerintah.
Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Roy Himawan mengatakan, industri kesehatan di Indonesia semakin berkembang. Saat ini setidaknya sudah ada 200 industri farmasi dan lebih dari 800 produsen alat kesehatan di dalam negeri. Meski begitu, ketergantungan Indonesia pada produk impor masih tinggi.
”Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku obat. Transaksi alat kesehatan impor juga masih mendominasi. Impor bahan baku obat masih mencapai 90 persen, sementara transaksi alat kesehatan impor sebesar 88 persen,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/8/2023).
Penelitian dan pengembangan di Indonesia diakui masih belum maju, terutama dalam inovasi di bidang kesehatan. Anggaran untuk penelitian dan pengembangan hanya 0,2 persen dari total PDB. Jumlah itu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan AS sebesar 2,8 persen dan Singapura sebesar 1,9 persen. Selain itu, pelaksanaan uji klinik di Indonesia juga hanya 7,6 persen dari total uji klinik yang dilakukan di negara ASEAN.
Untuk itu, Roy menyampaikan, berbagai upaya harus dilakukan untuk memperkuat ekosistem riset dan pengembangan di Indonesia. Hal itu diperlukan agar ketahanan nasional terkait produk kefarmasian dan alat kesehatan bisa terjaga. Pemerintah berupaya meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan dengan fokus pada produksi obat, vaksin, dan alat kesehatan yang menjadi konsumsi terbesar di dalam negeri.
Adapun prioritas pengembangan produk farmasi dalam negeri yakni pada bahan baku obat dari 10 produk farmasi yang paling banyak digunakan di pelayanan kesehatan. Itu meliputi, parasetamol, omeprazol, atorvastatin, clopidogrel, amlodipin, bisoprolol, candesartan, azithromycin, sitagliptin, dan imatinib.
Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku obat. Transaksi alat kesehatan impor juga masih mendominasi. Impor bahan baku obat masih mencapai 90 persen, sementara transaksi alat kesehatan impor sebesar 88 persen.
Sementara itu, pengembangan dan produksi alat kesehatan kesehatan difokuskan pada produk berteknologi menengah dan tinggi. Produk itu, antara lain, alat CT scan (computed tomography X-ray system), MRI (magnetic resonance imaging), serta alat kesehatan in vitro yang diperlukan untuk perluasan skrining kesehatan di masyarakat.
Roy menuturkan, pemerintah saat ini telah memfasilitasi kerja sama antara industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri dan luar negeri melalui skema joint venture, transfer teknologi, serta peningkatan kapasitas fasilitas laboratorium riset dan sumber daya manusia. Selain itu, kemitraan dengan institusi global juga semakin diperluas sehingga Indonesia turut dilibatkan dalam studi global dalam pengembangan obat, vaksin, dan alat kesehatan.
Pemerintah juga telah mengembangkan kawasan ekonomi khusus untuk pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri serta memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pajak pada industri yang melakukan riset dan pengembangan produk farmasi dan alat kesehatan.
”Pada aspek riset dan pengembangan, pemerintah juga telah memfasilitasi uji bioekivalensi dalam program fasilitasi change source bahan baku obat. Pemerintah pun memfasilitasi uji klinik pengembangan obat, vaksin, dan penguatan jejaring penelitian melalui dukungan kemitraan dan pendanaan,” tutur Roy.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalucia dalam acara koordinasi penguatan jejaring sentra riset alat kesehatan di Jakarta, Rabu (12/7/2023) menuturkan, ekosistem riset dan pengembangan produk dalam negeri yang terintegrasi antara akademisi, industri, dan pemerintah merupakan upaya untuk meningkatkan akses kemandirian dan mutu alat kesehatan dan kefarmasian di Indonesia. Perkembangan sektor kefarmasian dan alat kesehatan dalam negeri sudah mengalami kemajuan.
Namun, ketersediaan dan penggunaannya masih rendah. Diharapkan persentase penggunaan alat kesehatan dan produk farmasi dalam negeri pun bisa semakin bertambah sejalan dengan semakin berkembangnya riset di bidang kesehatan di Indonesia.
”Kita akan fokus pada 10 bahan baku obat dan 10 alat kesehatan terbesar by volume by value yang digunakan di Indonesia. Itu yang menjadi prioritas bagi kita untuk mengembangkan riset dari hulu ke hilir dengan tetap menjamin keberlangsungan rantai pasok,” tuturnya.