Panjangnya proses perizinan jadi salah satu kendala pelaksanaan riset obat inovatif di Indonesia. Setidaknya butuh waktu 1,5 tahun untuk mengantongi berbagai perizinan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Petugas sedang memeriksa obat-obatan sebelum dipasarkan di laboratorium milik PT Phapros Tbk di Kota Semarang, Jawa Tengah (28/10). Mudahnya akses mendapatkan obat melalui jaminan kesehatan mendorong tumbuhnya industri farmasi di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan riset obat inovatif di Indonesia terhambat perolehan izin yang memakan waktu lama dan tidak terprediksi. Hal ini membuat riset menjadi lama dan mahal. Kondisi ini juga memengaruhi ketersediaan obat-obat inovatif untuk publik.
Berdasarkan kajian Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA), hanya ada sekitar 9 persen obat inovatif yang beredar di Indonesia. Indonesia ada di peringkat terbawah bila dibandingkan dengan negara-negara G20. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia sejajar dengan Vietnam, tetapi tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Ketersediaan obat baru atau inovatif berhubungan dengan pelaksanaan uji klinis. Menurut penelitian perusahaan farmasi IQVIA, kontribusi uji klinis Indonesia pada periode 2015-2020 di Asia Tenggara adalah 4 persen.
”Ini sangat tidak proporsional mengingat Indonesia adalah negara terbesar dan jumlah penduduknya terbanyak di Asia Tenggara. Seharusnya, kontribusi Indonesia lebih besar dari sekadar 4 persen,” kata perwakilan Asosiasi untuk Studi Obat Indonesia (Iasmed) Noni Tobing di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana diskusi tentang ekosistem riset obat inovatif di Indonesia yang diadakan di Jakarta, Kamis (9/2/2023). Dari kiri ke kanan: Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Roy Himawan; peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Nina Dwi Putri; perwakilan Asosiasi untuk Studi Obat Indonesia (IASMED) Noni Tobing; Direktur Eksekutif The International Pharmaceutical Manufacturers Group of Indonesia (IPMG) Inge Kusuma; dan perwakilan IASMED Grace Wangge.
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk riset menyebabkan uji klinis obat baru di Indonesia relatif minim. Noni mengatakan, butuh waktu setidaknya 1,5 tahun untuk mengantongi berbagai perizinan uji klinis.
Peneliti umumnya menghabiskan banyak waktu untuk menunggu izin perjanjian alih material (MTA), yakni setahun. Izin MTA yang diterbitkan Kementerian Kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 85 Tahun 2020 tentang Pengalihan dan Penggunaan Material, Muatan Informasi, dan Data.
Perwakilan Iasmed, Grace Wangge, mengatakan, beberapa poin dalam permenkes tersebut memperpanjang proses birokrasi dan administrasi. Pasal 35, misalnya, menyatakan bahwa material yang akan dikirim ke luar Indonesia dan yang dibawa masuk ke Indonesia perlu mendapat keterangan tertulis dari menteri terkait. Pasal 31 ayat 2 pun menyebut bahwa material yang akan masuk ke Indonesia mesti disertai lampiran berbagai dokumen, seperti surat keterangan yang menjelaskan jenis dan spesifikasi materi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pabrik obat PT Kalbe Farma Tbk di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Adapun izin MTA diperlukan untuk membantu proses uji klinis. Izin ini memungkinkan materi riset dikirim dan diuji ke lembaga riset luar negeri. Izin ini juga memungkinkan Indonesia berpartisipasi di proyek riset global.
Lamanya waktu untuk memperoleh izin MTA membuat sejumlah proyek riset berhenti. Ini juga memperlama durasi riset. Padahal, semakin lama riset dilaksanakan, semakin banyak pula dana yang dikeluarkan.
Semakin lama riset dilaksanakan, semakin banyak pula dana yang dikeluarkan.
Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Roy Himawan mengatakan, beberapa permohonan izin MTA ditolak karena pengujian bisa dilakukan di Indonesia, tidak mesti ke luar negeri. Ia menambahkan, permohonan izin MTA yang disetujui semakin banyak dari tahun ke tahun.
”MTA dibutuhkan antara lain untuk melindungi subyek riset,” kata Roy.
Potensi ekonomi
Pada 2012 Malaysia mereformasi kebijakan untuk mempersingkat proses birokrasi perizinan riset. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapat seluruh perizinan adalah 5-6 bulan. Hal ini mendorong minat para sponsor untuk membiayai riset.
”Pendapatan yang diperoleh Malaysia dengan kebijakan ini sekitar 193 juta dollar AS. Itu Malaysia. Dengan jumlah penduduk yang lebih banyak daripada Malaysia, Indonesia diperkirakan bisa melampaui Malaysia,” tutur Noni.
Menurut peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Nina Dwi Putri, riset obat inovatif di Indonesia sangat mungkin berkembang. SDM riset dinilai kredibel dan keterampilannya sesuai standar internasional.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Peneliti menunjukkan sejumlah bahan baku obat alami di laboratorium Pusat Riset Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) di Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020).
Sementara itu, Direktur Eksekutif The International Pharmaceutical Manufacturers Group of Indonesia (IPMG) Inge Kusuma menilai perlu solusi komprehensif percepatan adopsi obat inovatif. Obat itu dapat menyelamatkan hidup pasien, meningkatkan kualitas layanan kesehatan, dan mendorong kemandirian farmasi. Penguatan regulasi yang mendukung uji klinis di Indonesia pun diperlukan.