Perdagangan minyak sawit diiringi berbagai isu negatif dari sisi kesehatan, lingkungan, dan isu lain.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
KARACHI, KOMPAS — Penolakan negara tujuan ekspor pada sawit dan berbagai produk olahannya bisa berdampak negatif pada Indonesia sebagai produsen utama sawit dunia. Hal ini perlu diantisipasi dengan memberikan informasi berdasarkan fakta dan berbasis ilmiah terkait beragam aspek sawit, seperti sisi kesehatan dan lingkungan.
Isu kesehatan yang pernah muncul mengaitkan konsumsi minyak goreng sawit dan penyakit kardiovaskular. Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mohamad Fadhil Hasan mengatakan, hal itu telah ditepis berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) yang menunjukkan komposisi lemak jenuh dan tak jenuh pada minyak sawit seimbang.
”Hal ini membuat ekspor minyak sawit Indonesia ke AS meningkat. AS peringkat kelima terbesar negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia,” kata Fadhil saat memberikan kuliah umum di Institute of Business Administration (IBA) Karachi di Pakistan, Jumat (12/1/2024), yang dihadiri Konsul Jenderal RI di Karachi, June Kuncoro Hadiningrat.
Ia menunjukkan hasil riset yang menyebutkan minyak sawit mengandung komponen vitamin E (tocotrienols dan tocopherols) tinggi. Kandungan ini justru menjadikannya berpotensi melawan kanker.
”Isu kesehatan kini mereda lalu berganti dengan isu deforestasi, biodiversitas, dan lain-lain,” katanya. Isu-isu lingkungan ini pun sudah direspons pemerintah dan pelaku bisnis dengan berbagai langkah.
Fadhil menjelaskan, Indonesia sejak 2011 mengambil kebijakan penghentian izin baru di hutan alam dan gambut. Setelah diperpanjang berulang kali, kebijakan tersebut dipermanenkan sejak 2019.
Menanggapi paparan Fadhil Hasan, sejumlah akademisi dari School of Economics and Social Sciences IBA menanyakan sejumlah isu. Beberapa hal yang dibahas, antara lain, proyeksi kebutuhan minyak sawit yang terus meningkat dengan ketersediaan lahan, terutama kebijakan nondeforestasi di Indonesia.
Junaid Alam Memon dari School of Economics and Social Sciences menanyakan kesenjangan produktivitas antara petani sawit kecil (smallholders) dan perusahaan skala besar di Indonesia. Kesenjangan ini tak terjadi pada kebun sawit di Malaysia.
Dengan meningkatkan produktivitas petani sawit skala kecil, kita masih bisa meningkatkan produksi sawit tanpa ekspansi.
Fadhil mengatakan, kesenjangan produktivitas ini terkait good agricultural practices (praktik baik pertanian). Ia mencontohkan, petani kecil di masa lalu menanam sawit dengan bibit yang tak tersertifikasi sehingga produktivitas rendah.
Produktivitas kebun petani sawit skala kecil yang rendah ini sedang berusaha ditingkatkan. Peningkatan produktivitas kebun akan berkorelasi dengan peningkatan produksi sawit, termasuk minyak sawit.
Peremajaan tanaman
Apabila upaya ini diseriusi, seperti peremajaan tanaman pada kebun-kebun rakyat, hasilnya akan signifikan. Hal ini mengingat petani sawit skala kecil menguasai 41 persen lahan sawit di Indonesia.
”Dengan meningkatkan produktivitas petani sawit skala kecil, kita masih bisa meningkatkan produksi sawit tanpa ekspansi,” kata Fadhil.
Kini, menurut Asisten Deputi Pengembangan Agrisbisnis Perkebunan Kementerian Perekonomian Moch Edy Yusuf, Pemerintah Indonesia sudah melakukan peremajaan tanaman secara bertahap pada kebun-kebun sawit rakyat. ”Mengganti tanaman yang tua dengan tanaman yang baru ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas sawit di masa depan,” katanya.
Selain memperbaiki penanaman, peningkatan produktivitas sawit melalui ekspansi lahan juga dinilai masih bisa dilakukan. Ekspansi dilakukan melalui pemanfaatan sekitar 10 juta lahan terdegradasi yang tidak produktif.
Fadhil Hasan mengatakan, sawit bisa menjadi tumpuan dalam pemenuhan tambahan kebutuhan minyak nabati dunia yang diperkirakan mencapai 51 juta ton pada 2014-2025. Ia menunjukkan data bahwa sawit memiliki produktivitas jauh lebih tinggi dibandingkan sumber minyak nabati lain, seperti rapeseed, jagung, kedelai, dan bunga matahari.
Tambahan kebutuhan minyak nabati dunia itu bisa dipenuhi dari 12,9 juta hektar kebun sawit yang memiliki produktivitas 3,9 ton per hektar. Sementara jika minyak nabati dari kedelai yang berproduktivitas 0,52 ton per hektar, kebutuhan lahan mencapai 97,8 juta hektar.