Mayoritas kebutuhan minyak sawit di Pakistan berasal dari Indonesia. Pasar ini akan dijaga dan ditingkatkan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
KARACHI, KOMPAS — Ekspor minyak sawit Indonesia ke Pakistan mencapai hampir 3 juta ton setiap tahun. Suplai ini untuk memenuhi 90 persen kebutuhan minyak nabati mereka sebagai bahan baku industri. Indonesia ingin menjaga, bahkan dapat meningkatkan pasokan minyak sawit ke Pakistan ini untuk mengantisipasi dampak persyaratan nondeforestasi, terutama ke Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, Pakistan juga menginginkan hubungan imbal balik, seperti keseimbangan neraca perdagangan mereka dengan Indonesia maupun kerja sama lain. Dari total 4,3 miliar dollar AS nilai impor Pakistan dari Indonesia, sekitar 3,1 miliar dollar AS berupa komoditas minyak sawit.
”Dalam pertemuan dengan Kadin dan pemerintah di sini selalu muncul soal kepastian pasokan (minyak sawit). Muncul juga permintaan mengapa tidak ada nilai lebih di sini,” kata June Kuncoro Hadiningrat, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Karachi, Pakistan, Kamis (11/1/2024) di Karachi.
Ia saat itu menerima rombongan peserta dari Indonesia yang akan hadir dalam Konferensi Minyak Nabati Pakistan (Pakistan Edible Oil Conference/PEOC) 2024 yang berlangsung di Karachi pada Sabtu (13/1/2024). Ajang tahunan di Pakistan ini diikuti para produsen dan industri sawit sejumlah negara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Pakistan.
Staf Ahli bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam Menteri Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud, yang juga turut dalam rombongan, mengatakan, Pakistan pasar ekspor minyak sawit penting bagi Indonesia. Pakistan di peringkat ketiga setelah China dan India dalam hal tujuan ekspor sawit dari Indonesia.
”Menghadapi pasar lain yang semakin banyak cerewetnya, jangan sampai terjadi penurunan (ekspor sawit) ke Pakistan,” tuturnya.
Ia mengatakan, pasar di Pakistan perlu dijaga untuk menyikapi langkah Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat yang sudah menerapkan persyaratan nondeforestasi. Dalam jangka panjang, kebijakan itu bisa berdampak terhadap sawit di Indonesia.
Kita yakin tidak deforestasi. Tapi, bagaimana membuktikannya itu.
Terkait produk nondeforestasi ini, Musdhalifah mengatakan, ”Kita yakin tidak deforestasi. Tapi, bagaimana membuktikannya itu.”
June mengatakan, Pakistan juga pernah mempertanyakan alasan tanaman sawit tidak ditanam di Pakistan. Namun, hal ini tak lagi muncul karena kondisi iklim di sebagian besar lahan di Pakistan tak cocok bagi produktivitas sawit.
”Sawit bisa tumbuh (di Pakistan), tetapi produktivitasnya kecil. Pasti tidak menguntungkan,” jawab Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono Rustamadji.
Komoditas dari Pakistan
Selain soal isu penanaman sawit di Pakistan, KJRI di Karachi juga menerima masukan dari pemerintah dan pelaku usaha Pakistan terkait kurma. Pakistan berharap Indonesia membeli kurma untuk bisa sedikit mengimbangi neraca perdagangan.
”Kurma di sini kecil-kecil, lumayanlah untuk (bahan baku) industri,” kata June.
Di sisi lain, lanjut June, Pakistan gembira karena Indonesia tahun lalu mengimpor beras dari Pakistan. Impor Indonesia karena produksi menurun, di antaranya akibat El Nino, ini dilakukan setelah sejumlah negara menutup keran ekspor beras, termasuk Thailand, Vietnam, dan India.
Musdhalifah Machmud mengatakan, ada sejumlah produk yang bisa dikerjasamakan dalam perdagangan Indonesia-Pakistan. Ia mencontohkan Pakistan bisa menyuplai daging sapi dan kerbau ke Indonesia.
Ia mengatakan, komunikasi pelaku bisnis kedua negara perlu ditingkatkan untuk menjajaki potensi-potensi lain. Musdhalifah pun memberi masukan agar perwakilan Indonesia di luar negeri semakin aktif menyampaikan informasi peluang-peluang kerja sama produk perdagangan lain.