Mengantuk Saat Siang? Waspadai Hipersomnioa Idiopatik
Meski sudah tidur malam cukup, sebagian orang tetap mengantuk sepanjang siang. Waspadai gejala hipersomnia idiopatik.
Anda masih merasa mengantuk seharian meski sudah tidur malam cukup? Hati-hati, bisa jadi itu adalah tanda hipersomnia idiopatik.
Namun, jangan melakukan swadiagnosis. Pergi ke dokter untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan tepat sesegera mungkin. Jika tidak, bukan hanya produktivitas yang menurun, melainkan juga bisa memicu kecelakaan fatal.
Hipersomnia idiopatik sejatinya adalah gangguan langka yang membuat seseorang mengantuk sepanjang hari. Kondisi itu, seperti ditulis Livescience, 15 Desember 2023, tetap terjadi meski orang tersebut sudah tidur malam dengan waktu yang cukup, yaitu minimal 6-7 jam untuk orang dewasa.
Bahkan, rasa kantuk hebat tetap dirasakan penderita hipersomnia idiopatik meski mereka sudah tidur lebih lama dibandingkan dengan orang lain, bahkan lebih dari 10 jam.
Tak hanya itu, gangguan ini juga membuat penderitanya menunjukkan tanda-tanda ”mabuk tidur”, seperti butuh usaha ekstra untuk bangun tidur, dan muncul rasa pening di kepala dalam waktu lama sesudah bangun tidur.
Baca juga: Tidur Siang Singkat Punya Banyak Manfaat, Kelamaan Justru Berbahaya
”Mabuk tidur” juga bisa ditandai dengan terjadinya kelembaman tidur (sleep inertia), yaitu gangguan kinerja kognitif dan sensori-motorik yang terjadi setelah seseorang bangun tidur.
Kondisi fisiologis ini membuat orang yang bangun tidur mengalami perubahan suasana hati (moody), disorientasi atau kebingungan atas ruang atau tempat, reaksi lambat terhadap waktu, hingga kehilangan memori ringan.
Rasa kantuk hebat tetap dirasakan penderita hipersomnia idiopatik meski mereka sudah tidur lebih lama dibandingkan dengan orang lain, bahkan lebih dari 10 jam.
Pada orang normal, tidur siang akan sangat membantu meningkatkan kesegaran tubuh dan otak. Namun, pada penderita hipersomnia idiopatik, seperti dikutip dari Mayo Clinic, 7 Oktober 2022, bangun tidur siang justru sering kali tetap merasa lelah dan terkadang menjadi bingung atau linglung.
Repotnya, rasa kantuk penderita gangguan ini bisa muncul kapan saja dan di mana saja, termasuk saat bekerja, mengoperasikan mesin, atau berkendara.
Kumpulan gejala
Hingga kini belum jelas kenapa gangguan hipersomnia idiopatik bisa muncul. Hal yang pasti, gangguan yang membuat seseorang ingin tidur secara terus-menerus ini berkembang secara bertahap.
Belum jelasnya pemicu gangguan ini juga disebabkan terbatasnya riset tentang hipersomnia idiopatik. Dikutip dari Stanford Medicine Health Care, kemungkinan besar hipersomnia idiopatik bukanlah penyakit, melainkan kumpulan gejala dengan banyak penyebab.
Meski demikian, rasa kantuk berlebihan itu diduga dipicu kelainan otak yang belum jelas sebabnya. Hal yang pasti, sejumlah penderita hipersomnioa idiopatik memiliki kadar histamin rendah di otak. Histamin berfungsi sebagai neurotransmitter otak dan kadarnya rendah terkait meningkatnya risiko kejang.
Baca juga: Tidur Tidak Teratur Picu Gangguan Jantung dan Kematian Dini
Kantuk berkepanjangan itu diduga juga bisa disebabkan infeksi ringan yang tak diketahui pemicunya atau terjadinya kerusakan otak. Beberapa penderita hipersomnia idiopatik juga mengalami sejumlah masalah kejiwaan, mulai dari kecemasan, depresi, hingga psikosis.
Berbagai penyebab hipersomnia idiopatik kian parah jika mereka memiliki jadwal tidur tak teratur dan tidur terpapar cahaya terang. Konsumsi obat penenang atau stimulan berlebihan serta memiliki gangguan tidur lain, seperti apnea tidur dan gangguan irama sirkadian tubuh, juga meningkatkan risiko gangguan ini.
Prevalensi
Studi terbaru yang dilakukan sejumlah peneliti Amerika Serikat (AS) yang dipublikasikan di jurnal Neurology, 13 Desember 2023, menunjukkan prevalensi penderita gangguan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya.
Studi yang dipimpin David Plante, profesor psikiatri di Universitas Wisconsin-Madison, AS, menemukan 1,5 persen dari 792 responden yang diperiksanya mengalami hipersomnia idiopatik.
Padahal, studi tahun 2021 di AS memperkirakan prevalensi penderita gangguan ini hanya 37 per 100.000 penduduk atau 0,037 persen.
Diagnosis hipersomnia idiopatik itu dilakukan melalui dua tes laboratorium untuk mendeteksi jenis gangguan ini, yaitu polisomnografi yang mengukur aktivitas otak dan detak jantung selama tidur dan tes latensi tidur berganda, yaitu menilai seberapa cepat seseorang tertidur selama tidur siang.
Peneliti juga mewawancarai responden tentang seberapa lelah atau letih yang mereka rasakan pada siang hari, berapa lama mereka tidur siang, serta berapa lama mereka tidur malam, pada hari kerja saat mereka harus bekerja pada keesokan harinya atau pada akhir pekan saat besoknya libur.
Baca juga: Tidur adalah Modal Hari Esok
Dari studi itu ditemukan 12 responden kemungkinan besar mengalami hipersomnia idiopatik. Dari jumlah itu, 10 orang mengantuk saat siang bersifat kronis atau terjadi selama 12 tahun. Empat orang kehilangan rasa kantuk saat siang yang menunjukkan tanda gangguan ini bisa hilang dan muncul kembali.
Sebanyak 12 responden yang menderita hipersomnia idiopatik memiliki ciri sama, yaitu mengalami rasa kantuk yang parah saat siang hari meski mereka sudah tidur malam yang cukup pada malam sebelumnya.
Rasa kantuk yang parah saat siang hari tersebut tetap terjadi meski mereka memiliki waktu tidur malam yang lebih banyak daripada responden lain yang tidak mengalami gangguan tersebut.
Penderita hipersomnia idiopatik rata-rata tertidur sembilan menit lebih cepat pada malam hari dan enam menit lebih cepat pada siang hari dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki gangguan ini.
Mereka juga mendapat skor melebihi ambang batas dalam survei rasa kantuk yang meliputi pertanyaan tentang kemungkinan mereka tertidur saat duduk atau berbicara.
Rendahnya prevalensi pasien hipersomnia idiopatik dalam studi tahun 2021 dibandingkan temuan Plante dan rekan ini diduga karena tanda hipersomnia idiopatik itu kurang dikenali dan kurangnya kesadaran atas gangguan ini. Selain itu, tes tidur untuk membuat diagnosis gangguan ini mahal dan butuh waktu.
”Hasil riset ini menunjukkan hipersomnia idiopatik relatif umum dibandingkan dengan yang diasumsikan selama ini. Jadi, kemungkinan ada perbedaan besar antara jumlah orang yang mengalami gangguan ini dengan mereka yang mencari pengobatan,” tambahnya.
Studi ini perlu diperluas mengingat studi Plante dengan responden dari aparatur sipil negara. Sebaran penderita gangguan pada populasi lebih luas diperlukan, khususnya pada kelompok nonpekerja karena mereka yang mengalami gangguan lebih sulit mendapat atau mempertahankan pekerjaannya.
Terbatasnya akses kerja penderita hipersomnia idiopatik karena orang yang mengantuk saat siang atau selama jam bekerja terus-menerus dianggap pemalas dan tak produktif, bahkan membahayakan keselamatan kerja diri dan orang lain. Namun, kesadaran mendapat diagnosis gangguan ini terbatas.
Pengobatan
Studi lebih banyak tentang hipersomnia idiopatik diperlukan tidak hanya untuk memahami gangguan ini lebih baik, tetapi juga menemukan pengobatan yang tepat.
Karena penyebab pasti hipersomnia idiopatik belum diketahui pasti, dokter umumnya mengobati gangguan ini dengan tujuan untuk meringankan gejala yang muncul, bukan menyembuhkan penyebabnya.
Obat stimulan bisa diresepkan untuk membantu pasien tetap terjaga di siang hari. Namun, konsumsi obat jenis ini harus mengikuti aturan yang ada mengingat efek sampingnya cukup besar, mulai sakit kepala, mulut kering, mual, diare, hilang nafsu makan, hingga turun berat badan.
Selain itu, tenaga kesehatan umumnya juga menyarankan penderita untuk membuat jadwal tidur malam yang teratur serta menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan tertentu yang bisa memengaruhi kualitas tidur pasien.
Terapi perilaku kognitif (CBT) terkadang juga diberikan sehingga penderita hipersomnia idiopatik bisa memiliki pikiran positif yang akan memengaruhi emosi dan perilakunya.
Jika Anda memiliki kondisi mirip gejala hipersomnia idiopatik dan berlangsung lama, segeralah cari bantuan ke dokter ahli tidur yang kini tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia. Gangguan tidur seolah masalah sepele. Padahal, masalah kesehatan tidur memengaruhi mutu hidup seseorang dan masyarakat.