Orangtua Perlu Terlibat dalam Aktivitas Olahraga Anak
Pada usia anak, tujuan aktivitas fisik atau olahraga bukan untuk menang, melainkan untuk belajar, mengalami, dan menikmati proses di dalamnya.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tumbuh kembang anak merupakan proses berkelanjutan. Jika satu proses terpenggal, perkembangannya bisa menjadi tidak optimal. Keterlibatan kedua orangtua dalam setiap momen tumbuh kembang anak, terutama saat berolahraga, memengaruhi mental dan fisik anak. Bukan menekankan kemenangan dalam kompetisi, melainkan pembelajaran demi masa depannya.
Studi ”Fit in 50 Years Participation in High School Sports Best Predicts One’s Physical Activity After Age 70” mengungkapkan, aktif bergerak sejak dini memberikan banyak manfaat positif, salah satunya membuat seseorang lebih terbuka terhadap pengalaman baru. Seseorang akan tergerak untuk menjadi petualang dan tetap aktif berolahraga serta menjaga kebugaran hingga usia 75 tahun.
Pada usia anak, tujuan olahraga bukan untuk menang, melainkan untuk belajar, mengalami, dan menikmati proses di dalamnya.
Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan hak asuh, asih, dan asah yang lengkap dari orangtuanya. Anak harus diasuh secara biologis dengan nutrisi, imunisasi, dan aktivitas olahraga yang baik. Lalu, mendapatkan kasih yang membuatnya terlindungi, diperhatikan, serta asah atau stimulasi dengan mendukungnya pada setiap kesempatan.
Peran orangtua
”Kalau orangtuanya mager (malas bergerak), hal itu akan berpengaruh, tidak akan meningkatkan aktivitas fisik anak,” kata Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rini Sekartini dalam diskusi yang digelar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) secara daring, Jumat (22/12/2023).
Olahraga atau aktivitas fisik sebaiknya dimulai sejak usia dini dan berkesinambungan. Bayi di bawah usia satu tahun pun bisa mulai diajarkan aktivitas fisik untuk melatih motoriknya. Hal ini dinilai amat penting demi menguatkan fisik dan emosional anak, mengontrol berat badan, dan menurunkan risiko penyakit, hingga meningkatkan prestasi.
Faktor risiko dari penyakit metabolik yang bisa dikurangi dari aktivitas fisik atau olahraga sejak dini bisa, antara lain, diabetes tipe 2 dan penyakit jantung, gejala kecemasan dan depresi, serta memberikan pengaruh positif terhadap konsentrasi, daya ingat, dan perilaku di dalam kelas.
Anak berusia 1-4 tahun diharapkan sudah bisa berjalan, berlari, dan melompat demi melatih fungsi motoriknya. Memasuki usia 5-10 tahun, anak yang sudah lebih lincah dapat dikembangkan untuk beraktivitas yang lebih bervariasi dan melibatkan teman sebaya, seperti berenang, bermain bola, dan bersepeda.
Pada usia remaja, seorang anak yang tertarik dan mendalami suatu olahraga tertentu harus mendapatkan pendampingan lebih ekstra dari orangtua. Sebab, olahraga juga akan membentuk jati diri anak sebelum memasuki usia dewasa. Orangtua harus hadir menguatkan, baik saat berprestasi maupun kalah dalam pertandingan.
”Pada usia anak, tujuan olahraga bukan untuk menang, melainkan untuk belajar, mengalami, dan menikmati proses di dalamnya. Partisipasi orangtua sangat penting, tetapi jangan menekankan kompetisinya, melainkan pembelajarannya, terutama sportivitas,” kata dokter spesialis kedokteran olahraga dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Listya Tresnanti Mirtha.
Dengan rutin berolahraga selama masa anak-anak, dia akan memiliki kecenderungan untuk terus berolahraga pada saat dewasa. Ini akan memberikan manfaat lebih besar atau kesejahteraan pada kehidupannya di masa depan. ”Namun, kalau hanya berolahraga saat masih kecil setelah itu berhenti, maka tidak akan ada manfaatnya,” ujar Listya.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso berharap orangtua di Indonesia bisa meluangkan waktu lebih banyak kepada anak untuk beraktivitas fisik atau berolahraga. Kondisi psikologis anak juga perlu diperhatikan dengan menumbuhkan jiwa sportivitas, bukan semata berkompetisi.
Saat ini dengan kondisi naiknya kembali kasus Covid-19, Pimprim meminta agar orangtua menerapkan kembali protokol kesehatan bagi anak dan memilih olahraga yang relatif aman dari risiko penularan virus.