Musim hujan meningkatkan risiko diare pada anak. Orangtua perlu mengenali tanda dan gejala diare serta penanganan yang tepat untuk mengatasi diare pada anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Musim hujan meningkatkan risiko penyakit diare pada anak. Persoalan kesehatan ini jangan dianggap remeh oleh orangtua. Diare dapat mematikan jika tidak segera diatasi dengan baik.
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat dan Kesejahteraan Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Bernie Endyarni Medise mengatakan, orangtua tidak boleh menganggap remeh masalah diare yang dialami anak. Diare yang tidak dikendalikan dengan baik dapat menyebabkan risiko rawat inap hingga kematian.
”Perlu diingat oleh orangtua agar segera mengenali tanda dan gejala dari diare yang terkadang tidak umum terjadi pada anak. Kewaspadaan akan diare perlu ditingkatkan selama musim hujan karena diare termasuk sebagai penyakit yang banyak muncul di musim hujan,” ujarnya dalam acara Media Briefing IDAI dengan topik ”Mengenal dan Menangani Diare pada Anak” di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Perlu diingat oleh orangtua agar segera mengenali tanda dan gejala dari diare yang terkadang tidak umum terjadi pada anak.
Bernie menyebutkan, diare merupakan penyakit penyebab kematian kedua tertinggi pada anak balita setelah pneumonia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Unicef menunjukkan ada sekitar 2 miliar kasus diare di dunia setiap tahun. Sebanyak 1,9 juta anak balita dilaporkan meninggal karena diare setiap tahun.
Untuk itu, ia mengimbau agar orangtua bisa berupaya mencegah terjadinya diare pada anak. Selain itu, orangtua juga harus waspada jika anak mengalami diare agar penanganan yang tepat bisa segera diberikan.
Anggota Unit Kerja Koordinasi Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Himawan Aulia Rahman, menyampaikan, umumnya diare dapat sembuh kurang dari tujuh hari sejak gejala muncul. Pada beberapa kasus diare baru sembuh setelah 7-14 hari. Namun, sekitar 5 persen kasus diare terjadi berkepanjangan hingga lebih dari 14 hari. Kondisi ini bisa berbahaya menyebabkan anak mengalami infeksi lain yang lebih buruk dan gizi buruk.
Salah satu penyebab mengapa diare pada anak bisa lebih mematikan dibandingkan dengan usia lain karena persentase cairan pada tubuh bayi lebih besar dibandingkan dengan usia lain. Volume total air pada tubuh bayi sekitar 80 persen, sementara pada anak dan remaja 70 persen, dewasa muda 60 persen, dan dewasa tua 55 persen.
Sementara ketika mengalami diare, cairan tubuh yang paling banyak keluar. Anak yang mengalami diare pun akan rentan mengalami dehidrasi. Itu sebabnya, penanganan dehidrasi pada anak yang mengalami diare sangat penting.
”Orangtua harus mengenai tanda dehidrasi pada anak. Ketika anak sudah mengalami dehidrasi dan tanda bahaya lain, segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat,” ucap Himawan.
Tanda dehidrasi yang bisa dikenali, antara lain, bayi atau anak yang cenderung menjadi lebih rewel atau lebih lemas. Pada anak yang mengalami dehidrasi juga biasanya terlihat dari matanya yang menjadi lebih cekung. Kulit pada tubuhnya pun akan lambat pada bentuk semula setelah dicubit.
Anak juga biasanya akan tampak kehausan dengan lebih banyak meminta minum. Warna urine akan cenderung lebih tua dan intensitas buang air kecil menjadi lebih jarang dari biasanya. Umumnya, anak akan buang air kecil setidaknya setiap enam jam.
Himawan mengatakan, tanda bahaya lain yang perlu diwaspadai yaitu apabila diare berlangsung lama yang disertai dengan gejala lain seperti muntah dan demam. Pada kondisi yang lebih buruk, pada diare akan berwarna merah karena keluar bersama darah.
“Jika tanda bahaya itu sudah terjadi, segera bawa anak ke tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan terdekat. Jangan terlalu lama membiarkan anak mengalami diare,” tuturnya.
Pada kondisi diare awal, orangtua dapat melakukan pertolongan pertama dengan memberikan cairan oralit. Cairan itu dibutuhkan untuk menggantikan cairan dan elektrolit yang terbuang saat diare. Oralit dapat diberikan secara mandiri apabila tidak ada tanda dehidrasi.
Oralit dapat diberikan dengan dosis 10 militer per kilogram berat badan anak setiap diare cair. Satu bungkus oralit dapat dilarutkan dalam 200 mililiter air. Selain pemberian oralit, makanan yang dikonsumsi anak tetap diberikan seperti biasa. Pemberian makanan yang bertekstur lebih lembut disarankan pada anak yang mengalami diare. Sekalipun jumlahnya sedikit, makanan bisa diberikan lebih sering.
Pada bayi yang masih mengonsumsi ASI, ibu harus tetap memberikan ASI. Dianjurkan ibu menyusui lebih sering dan lama. ”Jangan memberikan antibiotik tanpa resep dokter. Sebagian besar kasus diare yang berlangsung kurang dari satu minggu tidak membutuhkan antibiotik,” kata Himawan.