Gunung Api yang Sudah Lama Tidur Dapat Kembali Meletus
Indonesia memiliki banyak gunung api yang seolah tidak aktif, tetapi bisa kembali meletus dahsyat, salah satunya Sinabung yang kembali meletus pada 2010 setelah tertidur lebih dari 1.000 tahun.
Riset terbaru menunjukkan, gunung berapi yang telah lama dorman dan seolah tidak aktif selama ratusan hingga puluhan ribu tahun ternyata bisa meletus kembali dengan dahsyat. Indonesia memiliki ratusan gunung api yang sebagian seolah tidak aktif, tetapi bisa kembali meletus, salah satunya Gunung Sinabung yang kembali meletus pada 2010 setelah tertidur lebih dari 1.000 tahun.
Pertanyaan tentang bisakah gunung berapi meletus setelah tidak aktif selama puluhan ribu tahun telah lama menghantui para ilmuwan. Jika ya, bagaimana penjelasannya dan apa yang membuat letusan gunung berapi lebih berbahaya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, para ilmuwan Hongaria dari ELTE Eötvös Loránd University, Institute of Geography and Earth Sciences, dan the HUN-REN-ELTE Volcanology Research Group, bekerja sama dengan para ilmuwan Eropa lain, mempelajari Ciomadul, gunung berapi termuda di wilayah Romania. Hasil kajian dilaporkan di jurnal Contributions to Mineralogy and Petrology pada 28 November 2023.
Letusan gunung berapi Ciomadul terakhir terjadi 30.000 tahun yang lalu, dan sejak itu, gunung berapi tersebut tidak aktif lagi hingga saat ini. Ciomadul dibentuk oleh kompleks kubah lava dan material vulkanik lainnya yang membentuk punggung bukit miring ke selatan yang menjulang di atas cekungan Ciuk Bawah setinggi 700 meter dari permukaan laut.
Dengan menggunakan data tekstur mineral dan komposisi kimia terintegrasi beresolusi tinggi, mereka mengukur kondisi evolusi magma, merekonstruksi arsitektur reservoir magma subvulkanik, mengidentifikasi karakteristik kristal dan magma, yang memicu letusan, dan menjelaskan alasan mengapa aktivitas vulkanik pada masa aktif terakhir sebagian besar bersifat eksplosif.
Sejarah letusan Ciomadul sebelumnya diungkap oleh tim peneliti menggunakan geokronologi dari kristal kecil, zirkon. Szabolcs Harangi, profesor dan pemimpin proyek penelitian, mengatakan, ada beberapa periode dormansi yang panjang selama hampir satu juta tahun umur gunung berapi tersebut. Namun, setelah puluhan ribu tahun, terkadang bahkan lebih dari 100.000 tahun keadaan tenang, gunung berapi tersebut meletus kembali.
Vulkanisme paling signifikan terjadi dalam 160.000 tahun terakhir, dengan ekstrusi kubah lava antara 160.000 dan 95.000 tahun yang lalu, dan kemudian, setelah tidak aktif selama lebih dari 30.000 tahun, letusan kembali terjadi 56.000 tahun yang lalu. Gunung ini kemudian tertidur puluhan ribu tahun sebelum kembali meletus sekitar 30.000 tahun lalu.
Barbara Cserép, mahasiswa doktoral di ELTE, fokus mempelajari produk letusan termuda gunung ini. ”Mereka terbentuk dari letusan yang lebih berbahaya dan eksplosif dibandingkan episode aktif sebelumnya. Jadi, penting untuk mengetahui apa alasan perubahan gaya letusan ini,” ujarnya.
Baca juga: Sulit Diprediksi, Erupsi seperti di Marapi Dapat Terjadi di Daerah Lain
Erupsi gunung dorman
Untuk mengetahui penyebab permulaan letusan gunung berapi dan proses-proses yang mengendalikan gaya letusan, para peneliti menyelidiki informasi di dalam batuan yang terbentuk selama aktivitas gunung berapi. Hal ini dapat diungkapkan dengan studi rinci tentang mineral pembentuk batuan.
Tim peneliti menentukan komposisi kimia dari semua fase mineral, sering kali dengan resolusi tinggi dari inti kristal hingga tepinya, dalam batu apung yang terbentuk selama ledakan vulkanisme dari 56.000 hingga 30.000 tahun yang lalu.
Mereka kemudian mengevaluasi secara kritis hasil berbagai metode untuk menghitung suhu kristalisasi, tekanan, keadaan redoks, komposisi lelehan, dan kandungan air lelehan untuk mengukur kondisi magma dan juga untuk membatasi bagaimana kristal-kristal ini dimasukkan ke dalam magma yang meletus. Hal ini membantu mengungkap arsitektur sistem reservoir magma, proses yang menyebabkan letusan, dan menjelaskan letusan eksplosif.
Peneliti menemukan, pemain kunci dalam studi petrodetektif ini adalah mineral yang disebut amfibol (amphibole). ”Banyak unsur dapat masuk ke dalam kisi kristal amfibol, tetapi substitusi unsur sangat dikontrol oleh kondisi magma,” jelas Barbara Cserép.
Selain sekitar 1.500 gunung berapi yang berpotensi aktif di Bumi, gunung berapi yang sudah lama tidak aktif juga dapat menimbulkan bahaya yang sebelumnya tidak diketahui, terutama jika masih ada magma yang meleleh di bawahnya.
Komposisi kimia amfibol pada batu apung Ciomadul menunjukkan variasi yang besar bahkan dalam satu sampel. Beberapa amfibol mewakili reservoir magma bersuhu rendah dan sangat kristalin di kedalaman 8-12 kilometer, tetapi sebagian besar diangkut ke penyimpanan magma dangkal ini oleh magma pengisi ulang bersuhu lebih tinggi yang berasal dari kedalaman yang lebih dalam.
”Dibandingkan dengan periode letusan yang membentuk kubah lava sebelumnya, magma imbuhan segar ini membawa amfibol dengan komposisi yang berbeda, yaitu magma ini sedikit berbeda, dan ini dapat memainkan peran penting dalam penyebab letusan menjadi eksplosif,” kata Harangi.
Cserép mengatakan, para peneliti telah mengidentifikasi beberapa amfibol dengan komposisi kimia yang tidak dilaporkan pada batuan vulkanik dari gunung berapi lain. Mereka menafsirkan amfibol tersebut sebagai fase kristalisasi awal dalam magma ultrahidrat, dan magma isi ulang yang kaya air ini mungkin memainkan peran penting dalam memicu letusan eksplosif. Komposisi pinggiran kristal terluar dan oksida besi-titanium memberikan informasi tentang kondisi magma sesaat sebelum letusan.
Baca juga: Jangan Ada Lagi Marapi Lain
Pelajaran untuk Indonesia
Saat ini, gunung api Ciomadul belum menunjukkan tanda-tanda akan bangkit kembali. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa reaktivasi dapat terjadi dengan cepat, dalam hitungan minggu atau bulan, jika terjadi pengisian ulang oleh magma panas dan hidrous. Dan hal ini juga bisa terjadi di banyak gunung api lain di dunia, termasuk di Indonesia.
Kajian petrologi gunung berapi secara kuantitatif penting untuk merekonstruksi struktur reservoir magma subvulkanik dan kondisi penyimpanan magma, yang juga dapat membantu kita dalam prakiraan erupsi agar lebih memahami sinyal pra-erupsi.
Studi tentang Ciomadul ini membantu untuk menyoroti bahwa, selain sekitar 1.500 gunung berapi yang berpotensi aktif di Bumi, gunung berapi yang sudah lama tidak aktif juga dapat menimbulkan bahaya yang sebelumnya tidak diketahui, terutama jika masih ada magma yang meleleh di bawahnya.
Indyo Pratomo, geolog senior yang pernah bekerja di Pusat Survei Geologi, Bandung, mengatakan, Indonesia memiliki banyak gunung api yang sebagian dianggap dorman atau setidaknya tidak tercatat pernah meletus, tetapi kemudian meletus dahsyat. ”Yang terdekat Gunung Sinabung. Sebelumnya, Sinabung tidak tercatat meletus sejak (tahun) 1600 sehingga diklasifikasikan sebagai gunung api kategori B. Namun, Sinabung kemudian meletus dahsyat pada 2010 dan berulang kali erupsi hingga saat ini,” katanya.
Data Smithsonian Global Volcanism Program menunjukkan, di Indonesia terdapat 96 gunung api yang terbentuk pada periode Pleistosen (periode geologi sejak 2,5 juta tahun lalu-10.000 tahun lalu). Dari jumlah itu, yang pernah meletus pada masa Holosen (periode geologi sejak 10.000 tahun lalu), ada 117 gunung api.
Dalam laporannya di Jurnal Geologi Indonesia pada 2006, Indonesia menyebutkan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai gunung api aktif terbanyak di dunia. Menurut Indyo, lebih dari 30 persen dari gunung aktif dunia ada di Indonesia, dengan kawasan gunung api umumnya berpenduduk padat, karena kesuburan dan keindahan panoramanya.
Hingga saat ini gunung api aktif di Indonesia dikelompokkan hanya berdasarkan sejarah letusannya, yaitu tipe A (79 buah), adalah gunung api yang pernah meletus sejak tahun 1600; tipe B (29 buah) adalah yang diketahui pernah meletus sebelum tahun 1600; dan tipe C (21 buah) adalah lapangan solfatara dan fumarola. Jika ditotal, ada 129 gunung api yang dianggap aktif.
Menurut Indyo, kategorisasi gunung api tipe B didasarkan pada pendaratan Belanda di Banten pada 1600-an, yang dianggap menandai pencatatan sejarah modern di Indonesia. ”Faktanya, gunung tipe B juga bisa meletus dahsyat, seperti Sinabung yang meletus kembali setelah lebih dari seribu tahun,” katanya.
Selain Sinabung, beberapa gunung tipe B lainnya adalah Gunung Sumbing, Ungaran, dan Lawu dan Merbabu di Jawa Tengah. ”Kalau lihat jejak arkeologi, letusan Sumbing di masa lalu sangat dashyat karena mengubur candi-candi di situs Liyangan. Ini bisa terjadi kembali di masa depan dengan gunung-gunung tipe B,” ujarnya.
Indyo menambahkan, di luar kategorisasi 129 gunung api ini, di Indonesia juga ada gunung-gunung api besar yang sudah lama dorman, termasuk di antaranya adalah Supervolcano Toba, yang tertidur sejak letusan terakhirnya pada 74.000 tahun lalu. Supervolcano Toba tidak terdaftar dalam 129 gunung api aktif, hanya ada Pusuk Buhit, gunung api kecil di pinggiran kaldera ini yang dikategorikan dalam gunung api tipe B.
”Kalau ditanya apakah masih bisa meletus? Bisa saja. Untuk Toba, setidaknya dalam 2 juta tahun Toba sudah meletus tiga kali yang dahsyat dan itu sangat mungkin terjadi lagi di masa depan,” katanya.
Guntur hingga Lamongan
Namun, di luar gunung-gunung api supervolcano yang letusannya sangat dahsyat ini, Indyo lebih mengkhawatirkan gunung-gunung api yang saat ini cenderung tenang dan di sekitarnya banyak hunian penduduk, tetapi tercatat memiliki riwayat letusan dahsyat, seperti Gunung Guntur di Jawa Barat.
”Gunung Guntur itu letusannya menakutkan. Selain ada ancaman runtuhnya sebagian tubuh gunung saat meletus, lidah lavanya pernah sampai Cipanas pada 1840. Sekarang kawahnya tersumbat dan sedang mengumpulkan tenaga besar untuk membongkar. Kalau sampai terkumpul, akan kembali bahaya letusannya,” katanya.
Selain itu, ada juga Gunung Lamongan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang terakhir meletus pada 1898. Pernah beberapa kali terjadi krisis seismik, tetapi tidak diikuti letusan.
Padahal, gunung api berketinggian 1671 mdpl ini dulu sering meletus besar. Bahkan, di antara gunung api di Indonesia yang terhitung aktif, Gunung Lamongan memiliki pusat-pusat erupsi parasitik yang paling banyak. Tidak kurang dari 60 pusat erupsi parasitik yang terdiri dari kerucut vulkanik dan maar tersebar di sekeliling gunung api tersebut.
Gunung ini risiko bencananya sangat tinggi. Penduduk benar-benar tinggal di dalam dan sekitar kawah, yang dianggap tidak lagi berbahaya. ”Di Indonesia timur, ada banyak gunung api yang juga tengah mengumpulkan energi letusan, bahkan sebagian berupa pulau gunung api yang akan sangat sulit proses evakuasinya kalau meletus,” ujar Indyo.
Baca juga: Memahami Erupsi ”Tiba-tiba” Gunung Marapi dan Risikonya
Indyo menambahkan, seperti makhluk hidup, gunung-gunung api terus berevolusi sehingga kita harus terus mempelajarinya untuk mewaspadai ancamannya di masa depan. ”Sayang sekali, riset-riset kita masih sangat terbatas dan masyarakat juga mudah lupa,” katanya.