Tragedi erupsi Gunung Marapi mengirim pesan kuat betapa pentingnya rantai informasi dan mitigasi bencana di tapak rawan bencana.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Bulan Desember tahun ini diawali keprihatinan dan kabar duka. Datangnya dari gunung, bukit, dan perairan yang merenggut korban-korban jiwa.
Minggu (3 Desember 2023) siang, Gunung Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, ”tiba-tiba” erupsi menelan korban jiwa, tanpa ada sinyal kegentingan. Tambah prihatin, seusai belasan korban meninggal dievakuasi Senin lalu, sehari kemudian jumlahnya terus bertambah.
Para korban adalah pemuda-pemudi pendaki gunung. Mereka mendaki tanpa larangan bahaya atau informasi peringatan dini kondisi Awas atau Bahaya (Level I) gunung setinggi 2.891 meter di atas permukaan laut itu. Baru kemudian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut, tipe erupsi Marapi tergolong freatik dengan proses cepat tanpa tanda-tanda (Kompas, 5/12/2023)
Musibah itu hanya dua hari setelah banjir bandang membawa batu-batu besar menerjang Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Jumat (1/12/2023). Belasan meninggal di area tepian Danau Toba itu (Kompas.id, 2 Desember 2023).
Desember tercatat menjadi salah satu masa ketika sejumlah bencana alam muncul, berbarengan dengan musim hujan. Banjir, banjir bandang, longsor, dan musibah di perairan sungai dan laut pun seperti sebuah rutinitas. Kian ekstrem dalam bingkai bencana hidrometeorologi.
Setiap tahun, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data dan bencana terkait cuaca yang selalu menempati posisi teratas. Tahun 2021, bnpb.go.id merilis 5.402 kejadian bencana, yang 99,5 persennya bencana hidrometeorologi. Meskipun jumlah kejadian per tahun naik turun, bencana terkait cuaca tetap paling tinggi. Tahun 2022, tercatat 3.522 bencana, yang 1.520 kejadian adalah banjir.
Fenomena alam tidak akan berujung musibah jika tiada korban jiwa. Faktor manusia pun menjadi sangat sentral dalam konteks mencegah atau menjadi korban sebuah fenomena.
Terkait fenomena alam, kondisi geografis Tanah Air yang merupakan negara kepulauan dan sebagai negeri ”cincin api” dengan 127 gunung api aktif jelas menuntut antisipasi risiko. Selain kearifan lokal, mitigasi juga terkait dengan teknologi.
Sesungguhnya, tidak kurang-kurang pemberitaan, pembahasan, gagasan, dan adaptasi teknologi kebencanaan di negeri ini. Namun, kemunculan korban terkait fenomena yang disebabkan manusia atau murni peristiwa alamiah selalu saja jatuh di akhir tahun seperti saat ini.
Bulan Desember telah tiba dan fenomena alam yang membawa risiko kebencanaan adalah keseharian. Bisa muncul kapan pun, di mana pun, dan menimpa siapa pun. Namun, kita bisa bersama-sama mengenali risiko dan menghindarinya.
Yang pasti, kewaspadaan saja tidaklah cukup tanpa rantai informasi dan mitigasi di tingkat tapak rawan bencana. Tragedi Marapi amat berharga andai rekomendasi larangan mendekati puncak jalur pendakian itu dijalankan. Sayangnya, musibah tak mengenal kata ”andai”. Jangan ada tragedi lain.