Sakit Susah, Mati Juga Susah
Masyarakat di wilayah kepulauan masih sulit mengakses layanan kesehatan. Tidak sedikit yang akhirnya membiarkan penyakitnya memburuk.
Semua proses pemeriksaan dijalani Maira (10) dengan tenang. Ia malah lebih banyak terdiam ketika dokter bertanya mengenai kondisinya. Bahkan, Maira tidak menunjukkan reaksi apa pun, baik kesakitan atau ketakutan saat petugas kesehatan menusukkan jarum di lengannya untuk mengambil sampel darah. Tidak ada perlawanan, satu tabung darah berukuran tiga mililiter terisi penuh dengan darah Maira.
Namun, saat semua pemeriksaan selesai dilakukan dan dokter menyatakan Maira harus kembali lagi malam hari untuk bersiap operasi, matanya mulai berbinar. Bukan takut, Maira justru bersemangat. ”Senang,” ucapnya lirih malu-malu ketika ditanya bagaimana perasaannya akhirnya besok bisa dioperasi.
Operasi dijadwalkan besok pagi untuk mengangkat beberapa benjolan yang ada di tangan Maira. Tindakan operasi ini bakal jadi tindakan operasi pertama yang dilakukan di Rumah Sakit Apung Nusa Waluya II sejak pelayanan kesehatan pertama kali dibuka hari itu, Kamis (7/12/2023). RS Apung Nusa Waluya II merupakan rumah sakit apung yang setara dengan rumah sakit darat tipe C.
Pelayanan di RS Apung Nusa Waluya II menurut rencana akan dibuka selama 45 hari untuk masyarakat yang berada di sekitar Distrik Seget, Sorong, Papua Barat Daya, secara gratis. Beroperasinya RS apung di Sorong itu merupakan hasil kerja sama antara Yayasan Dokter Peduli (doctorShare) dan PT Pertamina International Shipping (PIS).
Akses kesehatan
Maira lahir dengan beberapa benjolan di tangan kirinya. Seiring bertambahnya usia, benjolan tersebut semakin besar. Akibatnya, Maira sering diolok-olok temannya. Sebenarnya, ketika baru lahir, dokter sudah menyarankan agar benjolan di tangan Maira dioperasi. Namun, keterbatasan biaya membuat Maira tidak bisa segera mendapatkan tindakan.
Yordan Sawarata (34), ayah Maira, menyampaikan, operasi yang akan dilakukan besok untuk Maira merupakan penantian panjang selama 10 tahun sejak Maira lahir. Sebagai nelayan, penghasilan yang dikumpulkan oleh Yordan hanya cukup untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Sekalipun semua anggota keluarganya sudah terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional yang ditanggung pemerintah, biaya yang besar masih harus dikeluarkan untuk bisa mengakses rumah sakit terdekat. Akses dari tempat tinggalnya ke rumah sakit terdekat di Kota Sorong membutuhkan waktu 2-4 jam jalur darat.
Baca juga: RS Apung Nusa Waluya 2 Atasi Akses Kesehatan Masyarakat Pesisir
Namun, jika kondisi sedang hujan, akses darat biasanya terputus karena jalan yang berlumpur. Satu-satunya akses hanya bisa menggunakan kapal melalui jalur laut. Untuk sekali jalan, biaya yang dibutuhkan untuk menyewa mobil ataupun kapal berkisar Rp 100.000-Rp 700.000. Biaya itu belum termasuk tempat menginap dan berbagai kebutuhan di perjalanan.
Sulitnya akses kesehatan bagi masyarakat di Distrik Seget juga dialami Siti Nafisah Wainsaf (64). Cucu Siti akhirnya meninggal karena terlambat ditolong. Awalnya, cucu Siti yang baru berusia 1 tahun 3 bulan mengalami demam. Ia sempat dirawat di puskesmas terdekat, tetapi kondisinya tidak juga membaik.
Sakit butuh banyak uang, meninggal pun butuh uang lebih banyak. Kalau tidak ada saudara yang menolong meminjamkan kapal, bisa sampai busuk (jenazah) di Sorong.
Setelah satu minggu tidak mendapatkan perawatan lebih lanjut, demam tinggi cucunya semakin buruk dan disertai dengan kejang. Baru saat itu, berbagai cara dilakukan untuk membawa cucunya ke rumah sakit di Kota Sorong. Namun, setelah sampai di rumah sakit, cucunya tidak tertolong dan meninggal.
Tidak sampai di situ. Kesulitan yang dialami keluarga Siti berlanjut saat harus membawa kembali jenazah sang cucu dari rumah sakit. Biaya untuk menyewa ambulans sangat mahal. Sementara menyewa mobil pun bisa sampai Rp 700.000 untuk sekali jalan.
”Semua harus ada banyak uang. Sakit butuh banyak uang, meninggal pun butuh uang lebih banyak. Kalau tidak ada saudara yang menolong meminjamkan kapal, bisa sampai busuk (jenazah) di Sorong,” kata Siti.
Cerita Maira dan Siti merupakan kondisi yang dialami sebagian besar masyarakat di daerah timur Indonesia. Layanan kesehatan yang terbatas menuntut mereka untuk tidak boleh sakit. Sebab, jika sakit, mereka akan kesulitan mengakses layanan kesehatan.
Kondisi itu yang akhirnya membuat sebagian besar dari mereka membiarkan penyakit yang mereka alami. Sakit biasa pun terkadang harus berakhir pada kematian karena dibiarkan menahun. Nyatanya, jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah melalui program JKN tidak berarti secara bermakna jika fasilitas pelayanan kesehatan masih sulit dijangkau.
Baca juga: Berlayar Menjumpai Pasien hingga ke Pelosok Negeri
Managing Director Yayasan Dokter Peduli Tutuk Utomo Nuradhy menuturkan, terbatasnya fasilitas layanan kesehatan rujukan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia terpencil dan terluar serta masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan. Layanan kesehatan dasar yang diberikan di puskesmas sudah bisa didapatkan, tetapi layanan rujukan masih terkendala.
”Semua bentuk intervensi dan inovasi untuk kesehatan di Indonesia sangat diperlukan. Tidak mungkin memang kita membangun fasilitas kesehatan di 17.000 pulau di Indonesia, apalagi dengan kondisi geografis yang penuh tantangan,” katanya.
RS Apung
Tutuk mengatakan, kehadiran rumah sakit apung bisa menjadi salah satu jawaban untuk mengatasi keterbatasan akses kesehatan di wilayah kepulauan Indonesia. Menurut dia, biaya operasional rumah sakit apung dinilai lebih efisien jika dibandingkan dengan harus membangun rumah sakit tapak untuk menjangkau masyarakat di daerah pesisir dan kepulauan.
Selama ini, tantangan utama dalam memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat terpencil ialah pada penyediaan tenaga kesehatan. Dalam pelayanan di rumah sakit apung, tenaga kesehatan yang bertugas merupakan tenaga sukarelawan yang biasanya bergantian setiap satu minggu.
Tantangan lainnya ialah pada ketersediaan obat-obatan. Biaya penyediaan obat-obatan di daerah terpencil jauh lebih besar dibandingkan dengan penyediaan obat-obatan di Pulau Jawa. Biaya yang diperlukan untuk pengadaan obat biasanya bisa mencapai 170 persen dari harga obat. Sebesar 100 persen untuk komponen pembelian obat dan 70 persen untuk biaya logistik pengiriman.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan mengenai rumah sakit kapal yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2023. Aturan itu memastikan adanya perlindungan hukum bagi penyelenggara rumah sakit apung, tenaga medis, dan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan rumah sakit kapal. Aturan itu juga menjadi payung hukum agar layanan RS kapal atau RS apung bisa dibiayai dalam skema program JKN.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan, peraturan mengenai rumah sakit kapal akan mempermudah pemerintah melakukan intervensi untuk mendukung layanan rumah sakit kapal. Program-program pemerintah pun akan lebih mudah untuk turut masuk dalam program layanan kesehatan di rumah sakit apung. Ia berharap rumah sakit kapal bisa diselenggarakan secara berkelanjutan agar pemerataan akses layanan kesehatan tercapai di Indonesia.
Baca juga: Untuk Pertama Kali, BPJS Kesehatan Akui RS Terapung
Meski begitu, berbagai upaya masih harus dilakukan untuk mengoptimalkan operasionalisasi rumah sakit apung bagi masyarakat. Dalam skema pembiayaan program JKN, biaya manfaat yang ditanggung dalam layanan di rumah sakit apung harus diatur secara khusus.
Rumah sakit apung memberikan layanan terintegrasi sebagai fasilitas kesehatan tingkat primer dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Di sejumlah daerah, puskesmas masih sulit ditemukan sehingga rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke fasilitas lanjutan di rumah sakit apung tidak bisa diberikan.
Kolaborasi dan kerja sama berbagai pihak sangat menentukan keberlanjutan layanan rumah sakit apung bagi masyarakat. Pihak swasta bisa berperan melalui program tanggung jawab sosial untuk mendukung operasionalisasi pelayanan rumah sakit apung. Kesehatan merupakan hak semua warga negara. Masyarakat dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia berhak mendapatkan kualitas layanan kesehatan yang sama dan terstandar.