Adaptasi Teknologi Tenaga Kesehatan Tentukan Percepatan Digitalisasi
Tenaga kesehatan agar mendapatkan edukasi dan pelatihan secara berkala supaya mampu beradaptasi dengan layanan digital yang kian maju.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi pelayanan kesehatan merupakan keniscayaan dalam sistem kesehatan masyarakat di masa depan. Layanan kesehatan berbasis digitalisasi kini sudah banyak diterapkan di sejumlah fasilitas kesehatan. Kenyamanan dan kemudahan bagi pasien menjadi alasan utama dari penerapan layanan tersebut.
Namun, penerapan digitalisasi pelayanan kesehatan masih menghadapi sejumlah tantangan. Kemampuan adaptasi teknologi tenaga kesehatan yang belum merata dan masih adanya fasilitas kesehatan yang belum siap untuk mengadopsi teknologi kesehatan patut menjadi perhatian.
Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum RS Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Basuni Radi, dalam jumpa media terkait ”Laporan Philips Future Health Index 2023” di Jakarta, Rabu (13/12/2023), mengatakan, digitalisasi dalam sistem pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tidak dapat dihindari. Selain memberikan kemudahan bagi pasien, digitalisasi ini juga dapat membantu mengatasi persoalan kesehatan sumber daya kesehatan yang tidak merata di Indonesia.
”Digitalisasi ini memudahkan adanya konsultasi jarak jauh. Selain itu hasil tes juga bisa dibaca oleh dokter dari jarak jauh sehingga tidak butuh banyak dokter di satu tempat. Namun, persoalannya masih ada resistensi dari tenaga kesehatan dalam beradaptasi dengan teknologi ini,” katanya.
Resistensi tersebut, ujar Basuni, terutama ditemukan pada tenaga kesehatan yang berasal dari generasi X atau yang berusia di atas 40 tahun. Padahal, masih ada 50 persen tenaga kesehatan yang berasal dari generasi tersebut. Berbeda dengan generasi yang lebih muda, penerimaan pada teknologi baru jauh lebih cepat dan lebih mudah.
Tenaga kesehatan muda pun mengungkapkan pentingnya pelatihan teknologi baru serta akses ke teknologi yang lebih canggih untuk membantu diagnostik.
Selain itu, adaptasi teknologi dalam sistem pelayanan kesehatan juga dihadapkan dengan kompetensi dokter yang berbeda-beda. Teknologi yang digunakan saat ini banyak yang belum diajarkan kepada tenaga kesehatan dalam kurikulum pembelajaran sebelumnya.
”Butuh penguatan kompetensi serta pelatihan bagi tenaga kesehatan agar bisa beradaptasi terhadap teknologi kesehatan yang terbaru. Hal ini tentu membutuhkan investasi yang tinggi di awal, tetapi layanan akan menjadi lebih efisien dan efektif jika sudah menerapkan teknologi dalam sistem pelayanan,” tutur Basuni.
Presiden Direktur Philips Indonesia Astri Ramayanti menuturkan, penerimaan pada inovasi digital disambut baik oleh tenaga kesehatan muda. Berdasarkan Laporan Philips Future Health Index 2023, sebanyak 33 persen tenaga kesehatan muda yang menjadi responden menyampaikan pentingnya penerapan kecerdasan artifisial di rumah sakit atau tempat praktik kerjanya. Selain itu, perawatan yang saling terkoneksi juga menjadi pertimbangan saat memilih rumah sakit atau tempat praktik.
Tenaga kesehatan muda pun mengungkapkan pentingnya pelatihan teknologi baru serta akses ke teknologi yang lebih canggih untuk membantu diagnostik. ”Hal itu menggambarkan antusiasme generasi muda dalam menyambut teknologi yang dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan ke pasien,” katanya.
Astri menyatakan, sejumlah tantangan perlu diselesaikan untuk mempercepat digitalisasi pelayanan kesehatan di Indonesia. Selain kemampuan adopsi di tenaga kesehatan, rendahnya tingkat adopsi teknologi di pasien juga perlu diatasi. Masih ada pasien yang belum terbiasa dengan sistem pendaftaran daring ataupun antrean daring. Hal itu membuat tujuan efisiensi dalam pelayanan kesehatan sulit dicapai.
Kolaborasi antarsektor, baik swasta maupun pemerintah, diperlukan untuk membantu menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat. Diharapkan pula ada lebih banyak pemimpin layanan kesehatan yang beralih menggunakan teknologi kesehatan digital untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja kesehatan.
Transformasi kesehatan
Chief Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan Setiaji menyampaikan, digitalisasi layanan kesehatan merupakan salah satu agenda utama Kementerian Kesehatan dalam program transformasi kesehatan di bidang teknologi. Digitalisasi layanan kesehatan dinilai semakin mendesak untuk meningkatkan efisiensi pelayanan di masyarakat.
Saat ini, data kesehatan di Indonesia sangat besar. Setidaknya ada 233 juta kunjungan pasien yang tercatat pada 2021. Selain itu, sistem informasi di fasilitas pelayanan kesehatan terlalu banyak, mencapai 60-70 sistem. Bahkan, ada lebih dari 400 aplikasi terkait kesehatan yang ada di tingkat pusat dan daerah.
Sementara di lain sisi, jumlah dokter di Indonesia juga masih kurang. Rasio dokter di Indonesia 0,6 per 1.000 penduduk, jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 per 1.000 penduduk.
Tantangan tersebut menyebabkan pelayanan kesehatan di masyarakat menjadi tidak optimal. Tata kelola dan administrasi kesehatan tidak efisien. Pelayanan kesehatan pun kurang tersebar dan aksesibilitas pada layanan menjadi lebih sulit.
”Pemerintah telah membuat peta jalan transformasi digital kesehatan Indonesia. Transformasi platform Peduli Lindungi menjadi Satu Sehat merupakan salah satu langkah agar transformasi pelayanan kesehatan digital bisa lebih luas bagi setiap masyarakat. Satu Sehat akan menjadi platform penghubung ekosistem data kesehatan di Indonesia,” ujar Setiaji.
Ia menambahkan, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk memperluas jaringan internet bagi masyarakat sehingga setiap fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas, memiliki akses internet untuk membantu melakukan pendataan secara digital. Edukasi pada tenaga kesehatan mengenai digitalisasi kesehatan dilakukan pula, termasuk edukasi yang ramah bagi penyandang disabilitas.