MK Diminta Bebaskan Biaya Pendidikan SD dan SMP, Termasuk Sekolah Swasta
Selama ini, hanya pendidikan dasar di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya, sedangkan pendidikan dasar di sekolah swasta tetap dipungut biaya.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta memberi makna baru terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya berkaitan dengan kewajiban negara untuk membiayai sekolah anak-anak di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. MK diminta menegaskan bahwa siswa harus dibebaskan dari segala biaya saat mengikuti pendidikan di SD dan SMP, baik negeri maupun swasta.
MK diminta memberi makna baru terhadap Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terkait dengan frasa ”wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Para pemohon uji materi meminta MK memaknai frasa tersebut menjadi ”wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri ataupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.
Pengujian konstitusionalitas Pasal 34 Ayat (2) UU No 20/2003 itu diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau Network Education Watch Indonesia/New Indonesia yang diwakili Abdullah Ubaid selaku Ketua/Koordinator Nasional dan Ari Hardianto selaku Sekretaris (Pemohon I), serta sejumlah ibu rumah tangga yang tinggal di Jakarta. Permohonan pengujian didaftarkan pada Senin (11/12/2023).
Mereka mengaku telah dirugikan oleh berlakunya pasal tersebut. Pemohon II misalnya, Fathiyah, memiliki putra yang lulus sekolah dasar tetapi tidak bisa masuk SMP negeri, baik melalui jalur prestasi maupun zonasi, karena terbentur syarat usia. Putranya baru berumur 12 tahun 1 bulan. Akibatnya, ia harus menyekolahkan anaknya ke SMP swasta dengan uang pangkal Rp 10 juta dengan SPP Rp 1 juta per bulan.
Begitu pula dengan pemohon III, Novianisa Rizkika, yang putranya gagal pula masuk SMP negeri dan harus bersekolah di SMP swasta dengan biaya masuk Rp 3,5 juta, SPP Rp 350.000 per bulan, biaya seragam Rp 600.000, dan biaya buku Rp 300.000 per semester. Demikian pula dengan pemohon IV, Riris Risma Anjiningrum, yang menghadapi pengalaman serupa.
Pemohon pun mempersoalkan Pasal 34 Ayat (2) UU No 20/2003 yang berbunyi, ”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Adapun yang dimaksud dengan Pendidikan dasar diatur dalam Pasal 12 Ayat (2) UU yang sama, yakni mencakup sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta SMP dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.
Sebenarnya pengaturan di UU Sistem Pendidikan Nasional tersebut merupakan turunan dari Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945 yang juga menegaskan, ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Tak tertampung di sekolah negeri
Mengacu pada hasil penelitian SMERU Research Institute tentang Simulasi Dampak PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) DKI Jakarta pada tahun 2020, tidak seluruh anak lulusan SD bisa tertampung di SMP Negeri. Dari 140.000 lulusan SD di Jakarta, hanya 52 persen di antaranya yang dapat ditampung di SMP negeri. Artinya ada 67.000 atau sekitar 48 persen anak lulusan SD yang harus menerima konsekuensi dipungut biaya pendidikan di jenjang wajib belajar pendidikan dasar yang seharusnya gratis.
Oleh karena itu, pemohon menilai ketentuan Pasal 34 Ayat (2) UU No 20/2003 tersebut multitafsir, dan juga diskriminatif. Sebab, dalam kenyataannya hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Sementara pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya.
Kondisi tersebut, menurut pemohon, mengakibatkan banyak anak putus sekolah karena orang tuanya tidak memiliki uang untuk membiayai anaknya sekolah. Ini juga menyebabkan banyak anak dipaksa bekerja padahal semestinya mengenyam pendidikan dasar.
Pemohon pun mengutip angka putus sekolah dari tahun ke tahun. Misalnya, jumlah siswa putus sekolah tingkat SD tahun 2020/2021 mencapai 44.516 orang. Angka ini turun pada tahun berikutnya (2021/2022) menjadi 38.716 orang, tetapi naik lagi pada tahun 2022/2023 menjadi 40.623 orang.
Pemohon juga mencantumkan adanya Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar yang ditujukan untuk membiayai anak dari golongan yang tidak mampu. Program Indonesia Pintar tersebut lebih bersifat bantuan sosial dari negara (dengan konsep belas kasihan) dan bukan konsep kewajiban negara atau bukan jaminan konstitusional untuk warga negara untuk mendapatkan jaminan pendidikan dibiayai oleh negara.
Oleh karena itu, pemohon menilai ketentuan Pasal 34 Ayat (2) UU No 20/2003 telah menghalangi masyarakat usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang layak untuk dapat mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya melalui pendidikan. ”Dapat dikatakan negara gagal dalam menjalankan kewajiban dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas pendidikan,” ungkap pemohon dalam berkas permohonannya.