Hasil PISA 2022, Krisis Belajar yang Belum Menemukan Ujungnya
Akses pendidikan Indonesia meningkat, tetapi belum dibarengi kualitas. Krisis belajar terjadi meski lama sekolah meningkat.
Krisis kualitas belajar di Indonesia sudah lama digaungkan, salah satunya dengan mengacu hasil Programme for International Student Assessment atau Program Penilaian Pelajar Internasional atau PISA yang diikuti Indonesia sejak tahun 2000. Bahkan, pada 2021, Bank Dunia menyebutkan, lama bersekolah siswa Indonesia yang rata-rata 12,4 tahun hanya setara dengan 7,8 tahun pembelajaran.
Pandemi Covid-19 yang menyebabkan penutupan sekolah membuat siswa di banyak negara mengalami ketertinggalan pembelajaran atau learning loss. Itu terbukti dalam hasil PISA 2022 yang dirilis Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) pada Selasa (5/12/2023).
Rata-rata skor di 35 negara OECD turun hampir 15 poin untuk Matematika, 10 poin skor membaca, tetapi tidak berubah signifikan untuk sains.
Bagi Indonesia, hasil PISA 2022 menjadi capaian terburuk atau membuat hasil pendidikan kembali seperti di awal-awal Indonesia ikut penilaian hasil belajar di bidang matematika, membaca, dan sains bagi pelajar usia 15 tahun. Skor Indonesia masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024.
Baca juga: Skor PISA 2022 Indonesia Turun, Peringkat Naik
Namun, yang lebih penting dimaknai, meski sudah tuntas pendidikan dasar, secara umum pelajar Indonesia belum punya kecakapan dasar memadai untuk kehidupan modern dan menghadapi situasi perubahan dunia yang kompleks. Kecakapan berpikir tingkat tinggi jauh dari gapaian anak-anak Indonesia dibandingkan dengan anak-anak dari negara maju atau OECD.
Namun, narasi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim yang mengedepankan peningkatan posisi Indonesia 5-6 poin serta penurunan masih di bawah rata-rata internasional membuat publik terbelah dua. Yang satu mengikuti narasi Kemendikbudristek bahwa PISA 2022 sebagai ”prestasi” meski skor turun. Pihak lain menilai, darurat pendidikan dasar di Indonesia semakin parah karena penurunan skor PISA.
Mendikbudristek yakin, dari data Asesmen Nasional tiga tahun terakhir, ada indikasi pemulihan learning loss. Salah satunya karena di masa pandemi Kemendikbudristek mengambil langkah bergegas dengan menetapkan kurikulum darurat fokus pada literasi dan numerasi. Hal itu dilanjutkan dengan Kurikulum Merdeka yang memberi fleksibilitas pembelajaran bagi guru dan sekolah fokus pada kecakapan dasar, yakni literasi, numerasi, dan karakter.
Jika membandingkan dari pencapaian PISA sebagai gambaran kualitas sistem pendidikan suatu negara, untuk skala Asia Tenggara, pencapaian Indonesia tidak menggembirakan. Singapura yang berada di urutan pertama terbukti memiliki sistem pendidikan berkualitas tinggi di dunia. Bahkan, kini, National University of Singapore sudah masuk dalam top 10 dunia berdasarkan QS World University Ranking 2024.
Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina dan Kamboja yang di PISA 2022 hasilnya berada di urutan buncit dari 81 negara. Namun, dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia jauh tertinggal. Demikian pula dari Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Belum mendukung
Sistem pendidikan nasional belum mendukung terciptanya sumber daya manusia (SDM) unggul untuk meraih visi Indonesia 2045 menjadi negara maju. Pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk jadi negara maju dapat tercapai dengan meningkatkan pendapatan per kapita di atas 13.000 dollar AS dari saat ini sekitar 4.000 dollar AS. Itu butuh pertumbuhan ekonomi 7 persen selama 10-15 tahun ke depan ditopang SDM unggul.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo memaparkan, keikutsertaan Indonesia dalam PISA menunjukkan komitmen Kemendikbudristek memakai data mutu pembelajaran dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan. ”Dengan mengikuti PISA, kita bisa memantau kondisi pendidikan kita secara longitudinal sejak 2000 dan membandingkan dengan negara lain,” ujarnya.
Dalam kurun lebih dari dua dekade, Indonesia sukses meningkatkan angka partisipasi sekolah. Pada 2022, untuk usia 7-12 tahun hampir 100 persen, usia 13-15 tahun hampir 96 persen, dan di usia 16-18 tahun lebih dari 73 persen. Harapan lama sekolah juga meningkat. Pada 2022, rata-rata anak usia 7 tahun diproyeksikan bersekolah 13 tahun atau setara diploma satu.
”Untuk akses, kita melesat cepat. Namun, selama ini kualitas belum jadi fokus sehingga krisis belajar yang tergambar di PISA terus berlangsung. Namun, dengan Merdeka Belajar, fokus pada mutu dilakukan dengan transformasi sistem pendidikan secara holistik, tidak bagian per bagian, misalnya guru saja,” kata Anindito.
Salah seorang guru dari Kalimantan Utara memeragakan cara mengajar membaca untuk siswa kelas I SD dengan alat peraga atau media belajar. Para guru dilatih membuat beragam media belajar yang sederhana sesuai dengan materi belajar untuk membuat siswa mudah memahami pembelajaran.
Baca juga: Narasi Skor PISA Indonesia Jangan Seolah-olah Prestasi
Jika dikaitkan dengan kebijakan kurikulum, Anindito menjelaskan, sampel PISA 2022 diambil sebelum Kurikulum Merdeka diterapkan secara luas. ”Pada 2021, Kurikulum Merdeka baru diterapkan terbatas sebagai prototipe di 3.000-an sekolah. Baru pada Agustus 2022 ada cukup banyak sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka secara sukarela,” ujarnya.
Untuk akses, kita melesat cepat. Namun, kualitas belum jadi fokus sehingga krisis belajar yang tergambar di PISA terus berlangsung.
Survei PISA dilaksanakan pada Mei-Juni 2022 sebelum penerapan Kurikulum Merdeka secara luas. ”Jadi, sampel PISA 2022 tidak mencakup sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka sehingga hasilnya tidak bisa dipakai mengukur dampak implementasi Kurikulum Merdeka,” kata Anindito menjelaskan.
Komitmen pada guru
Alexius Chia, Wakil Dekan, Praktikum, dan Kemitraan National Institute of Education Singapura, beberapa waktu lalu, menuturkan, kemajuan pendidikan Singapura dengan pendekatan berbagai segi. Selain penyempurnaan kurikulum, komitmen pada guru amat serius, dari pengembangan profesionalisme hingga kerangka kerja yang mendukung pendidik. ”Kualitas guru jadi gambaran mutu sistem pendidikan,” ucapnya.
Terkait dengan krisis belajar di jenjang pendidikan dasar selama lebih dari dua dekade, terutama kemampuan dasar membaca dan menghitung yang amat rendah, sejumlah praktisi dan pemerhati pendidikan mencanangkan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka). Langkah ini disusul dengan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba).
”Hasil penilaian PISA yang memburuk menunjukkan situasi gawat darurat pendidikan karena berpengaruh pada indeks modal manusia Indonesia yang mengukur produktivitas manusia Indonesia hingga 18 tahun ke depan. Presiden Joko Widodo seharusnya serius menginstruksikan perbaikan mutu pendidikan, terutama pendidikan dasar,” kata Wakil Ketua Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NU Circle) Ahmad Rizali.
Dhitta Puti Sarasvati, dosen Pendidikan Matematika Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, dan Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas (Pengincer), menambahkan, saat pelatihan Gernas Tastaka dan Gernas Tastaba, guru-guru belum pernah mempelajari cara mengajarkan Matematika dan membaca di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI).
Mereka pernah belajar, tetapi tidak lengkap dan sistematis. ”Banyak yang mengaku, pengalaman belajar caranya mengajari Matematika dan membaca baru didapatkan saat mengikuti Gernas Tastaka ataupun Gernas Tastaba,” kata Puti.
Dalam berbagai pelatihan Gernas Tastaka, ditemui guru yang tak memahami konsep dasar Matematika SD. Sebagai contoh, karena tidak memiliki pemahaman akan nilai tempat, guru kesulitan menjelaskan, misalnya, 15 dikurangi 6. Beberapa guru tak paham cara menunjukkan ½ menggunakan benda-benda konkret dan ada guru kesulitan membuat gambar bangun datar yang memiliki luas 12 sentimeter persegi.
”Itu baru beberapa pemahaman yang sangat dasar terkait bilangan dan pengukuran. Masih ada banyak kasus lainnya,” ujar Puti.
Baca juga: Guru yang Membaca
Di bidang membaca, ada guru mengaku kesulitan membaca teks yang panjangnya lebih dari satu halaman. Dalam pelatihan, seorang guru bercerita, siswanya kesulitan memahami literasi dalam Asesmen Nasional. Dia pun melihat soal ini dan kesulitan memahaminya meski kesulitannya disimpan dalam hati atau tidak disampaikan kepada siswanya.
”Padahal, apa yang dipelajari di Gernas Tastaka dan Gernas Tastaba seharusnya menjadi materi dasar dalam pendidikan guru sekolah dasar (PGSD)/pendidikan guru madrasah ibtidayah (PGMI). Artinya, apabila calon guru telah dibekali ilmu-ilmu ini dengan baik di PGSD/PGMI, pelatihan Gernas Tastaka ataupun Gernas Tastaba tidak terlalu diperlukan,” ujar Puti.
Terkait mutu guru yang rendah, Anindito menyatakan, jangan sampai rendahnya kualitas pendidikan ditimpakan kepada guru. Memang, guru terdepan dalam menyampaikan pembelajaran kepada siswa. Namun, hadirnya guru berkualitas yang memberi pembelajaran bermakna di sekolah tidak lepas dari dukungan ekosistem sekolah ataupun pendidikan yang seharusnya saling mendukung pada kualitas pembelajaran.