Guru yang Membaca
Membaca buku fundamen penting dari pendidikan. Namun, tak mungkin mendambakan siswa-siswa yang tekun membaca jika para guru sendiri tak pernah membaca buku. Sayangnya, kebijakan terhadap buku juga bukan hal prioritas.
Akhir tahun lalu saya berkesempatan untuk memberikan materi ”Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara” di salah satu sekolah di Jakarta. Di sesi awal saya meminta para guru memaparkan apa saja yang mereka ketahui tentang Ki Hadjar Dewantara.
Jawaban para guru beragam. Hampir semua mengetahui profil umum Ki Hadjar Dewantara. Para guru mengetahui, Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional atau Pahlawan Nasional. Atau terkait semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Namun, ketika pembahasan mulai masuk ke apa saja pokok pikiran Ki Hadjar Dewantara, atau apakah pernah membaca tulisan Ki Hadjar Dewantara, guru-guru mulai menggeleng. Ajaran dan ujaran Ki Hadjar Dewantara tampaknya kurang merasuk ke dalam ruang jiwa guru-guru di Indonesia.
Saya memang belum melakukan riset mengenai ini. Namun, setiap ada kesempatan berjumpa guru-guru, ketika saya bertanya kepada mereka, apakah di masa kuliah dahulu atau saat ini pernah membaca pikiran Ki Hadjar Dewantara secara khusus? Lebih banyak guru yang menggeleng tak tahu daripada yang mengangguk.
Membaca pemikiran Ki Hadjar Dewantara, menurut saya, amat sangat penting bagi guru di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok produktif yang banyak menuliskan pergulatan pemikirannya. Latar belakangnya sebagai wartawan yang kritis dalam mengkritik kebijakan kolonial sangat berpengaruh kepada cara pandang ketika ia menjadi sosok guru bangsa di Taman Siswa.
Baca juga : Hilangnya Jejak Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa
Maka, jika mendaku sebagai guru Indonesia, tidak bisa ditawar lagi untuk meneladani sosok Ki Hadjar yang rajin membaca, menulis, dan mengamati situasi aktual kebangsaan.
Di luar cerita membaca pikiran Ki Hadjar, para guru juga harus jadi pembaca yang rakus dan tekun. Tak mungkin mendambakan siswa-siswa yang tekun membaca jika para guru sendiri tak pernah membaca buku. Sering kali juga di kala memberi sesi seminar atau webinar, saya bertanya kepada guru-guru, buku terakhir apa yang sudah dibaca.
Tidak banyak guru yang langsung menyebut judul buku. Lebih banyak guru yang termenung dan memikirkan buku-buku apa yang sudah dibaca selama satu minggu terakhir. Kadang ada guru yang menyebut sembari tertawa bahwa buku yang dibaca terakhir adalah buku mata pelajaran yang diampunya. Ucapan itu disambut tawa oleh guru-guru lainnya.
Apa yang saya temui mungkin kasus semata. Namun, saya berharap ada riset khusus yang memetakan bagaimana para guru di Indonesia membaca buku. Apakah mereka masih sempat membaca buku? Jenis buku apa yang mereka baca? Apakah buku-buku yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu? Atau buku-buku sastra terbaru? Atau bisa jadi buku-buku sosial politik, filsafat, dan buku motivasi? Akan menarik jika mendapatkan buku-buku apa saja yang mewarnai pikiran para guru di Indonesia.
Ilustrasi
Belakangan ini, misalnya, dunia pustaka kita disuguhi ragam filsafat Stoa atau Stoikisme. Apakah guru-guru kita mengikuti perdebatan di dalam diskusi-diskusi filsafat itu? Atau apakah guru-guru kita membaca pemikiran tokoh pendidikan lain, seperti Engku Mohammad Syafei, Willem Iskander, dan tokoh-tokoh lainnya?
Kita tentu berharap para guru aktif dalam diskusi-diskusi tersebut dan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka di ruang-ruang kelas. Dengan demikian, ruang kelas menjadi lokus persemaian peradaban, bukan hanya materi pelajaran.
Ketika ditelusuri lebih lanjut, para guru masih merasa terbebani dengan berbagai komponen administratif yang harus dipenuhi sehingga fokus pada kegiatan pembelajaran dan administrasi yang menyertai masih dianggap menjadi salah satu hal yang menyebabkan mereka kesulitan untuk dapat membaca berbagai literatur.
Selain itu, membaca masih dianggap sebagai minat, yang pada akhirnya tidak semua guru menjadikan itu penting. Di sisi lain, bagi guru-guru honorer, buku masih menjadi barang mewah karena mereka harus merogoh kocek lebih dalam jika ingin membaca buku. Seperti yang kita ketahui bersama, harga buku di Indonesia cukup mahal dan bukan menjadi bagian dari kebutuhan pokok.
Di sisi lain, tidak banyak perpustakaan di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lain yang lengkap fasilitasnya.
Fundamen penting
Membaca buku merupakan fundamen penting dari pendidikan. Meski saat ini sumber pengetahuan didapat dari berbagai media, buku tetap saja penting.
Jika ditilik dari masa ke masa, pemerintah sudah memiliki kebijakan-kebijakan yang cukup baik untuk mendorong budaya membaca, seperti membangun perpustakaan sekolah dan desa, Gerakan Literasi Sekolah, bebas biaya kirim buku setiap tanggal 17 melalui PT Pos, dan berbagai kebijakan lainnya.
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut cenderung tidak berkelanjutan. Kebijakan terhadap buku dan perpustakaan memang cenderung bukan hal yang prioritas.
Jika memperhatikan di lingkup yang lebih luas, bahkan dalam konteks Amerika Serikat, seperti yang ditulis Jim Trelease dalam buku The Read-Aloud Handbook (2017, edisi ketujuh) dipaparkan, sudah menjadi norma untuk menghilangkan jasa perpustakaan ketika suatu bangsa atau negara dalam keadaan krisis.
Padahal, seperti disampaikan oleh Neil Gaiman dalam Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun (Penerbit Tanda Baca, 2022), cara untuk menghancurkan kecintaan anak pada membaca, tentu saja, ialah memastikan tidak ada buku apa pun di sekitarnya serta tak menyediakan mereka tempat untuk membaca buku.
Tanpa perpustakaan, buku-buku berkualitas dan ruang pendidikan yang membangun budaya membaca mustahil anak-anak menjadi para pembaca yang cermat?
Mona Lansfjord (1999) dalam Good Reading and Writing Skills for Realising Individual Potential menyebutkan, sebuah kelas dengan banyak buku, di mana siswa berdiskusi, bercerita, membaca dan menulis, mendengarkan satu sama lain dan dengan cara yang berbeda berbagi pengalaman satu sama lain, merupakan lingkungan yang benar-benar kreatif.
Mengembangkan penggunaan bahasa, sebut Lansfjord (1999), menjadi bagian agar anak-anak bisa berkembang secara individual dan bisa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dunia sekitarnya.
Neil Gaiman (2022) menyatakan bahwa anak-anak perlu diberi kesempatan untuk membaca buku yang mereka suka.
Dengan demikian, mereka akan menapaki satu demi satu anak tangga literasi. Sebab, seperti yang disebut Trelease (2017), daya tahan para pembaca seperti para pelari, tidak dibangun hanya dalam waktu semalam, perlahan dan meningkat secara bertahap.
Membantu anak melalui tangga literasi dan meningkatkan daya tahan membaca buku tidak mungkin dilakukan oleh para guru yang tidak memiliki ketangguhan membaca, juga lingkungan pendidikan yang menihilkan buku-buku.
Guru yang membaca ragam literatur ialah guru merdeka yang memiliki keluasan cakrawala berpikir. Namun, guru jenis ini mustahil diwujudkan tanpa kebijakan politik yang lebih memberi perhatian terhadap pengadaan buku-buku berkualitas yang dapat dijangkau, perpustakaan yang memadai, atau kurikulum yang memberi waktu untuk membaca buku lebih intensif.
Anggi AfriansyahPeneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN