Bakteri ”Mycoplasma pneumoniae” yang Mencuri Perhatian
Sekalipun gejala infeksi ”Mycoplasma pneumoniae” ringan, masyarakat tetap perlu waspada.
Peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan pada anak di China akibat infeksi bakteri Mycoplasma pneumoniae menyedot perhatian masyarakat. Kekhawatiran akan situasi pandemi Covid-19 tiba-tiba muncul.
Hal tersebut tidak dapat dimungkiri sebab sejumlah media global sempat memberitakan bahwa pneumonia di China tersebut disebabkan oleh patogen yang tidak biasa. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) turut memberikan perhatian khusus pada situasi tersebut.
Namun, informasi terakhir menyebutkan, tidak ditemukan patogen yang tidak terdiagnosis pada peningkatan kasus pneumonia di China. Dari beberapa jenis patogen yang ditemukan, bakteri Mycoplasma pneumoniae yang mendominasi.
Selain China, terdapat negara lain di Eropa yang juga melaporkan peningkatan kasus pneumonia akibat infeksi Mycoplasma pada anak. Pada 5 Desember 2023, Kementerian Kesehatan RI telah melaporkan adanya enam kasus yang terkonfirmasi positif infeksi Mycoplasma di DKI Jakarta. Semua kasus tersebut telah dinyatakan sembuh.
Baca juga: Enam Kasus ”Mycoplasma pneumoniae” Dilaporkan, Semua Kasus Sudah Sembuh
Masyarakat diharapkan tetap waspada terhadap infeksi akibat bakteri tersebut. Akan tetapi, kewaspadaan itu jangan menjadi sebuah kepanikan. Infeksi bakteri Mycoplasma pneumoniae bukanlah penyakit baru, apalagi misterius. Upaya pencegahan serta penanganan infeksi bakteri tersebut sudah tersedia.
Selain itu, infeksi akibat bakteri Mycoplasma pneumoniae juga biasanya menimbulkan gejala yang ringan. Infeksi ini tidak hanya bisa menyerang anak, tetapi juga orang dewasa. Karena itu, upaya pencegahan harus dilakukan oleh seluruh masyarakat dari semua kelompok usia.
Meski begitu, merujuk pada hasil analisis yang dilakukan di Chengdu, China, pada infeksi Mycoplasma pneumoniae pada anak tahun 2014-2020, kasus infeksi pneumonia akibat bakteri tersebut lebih banyak ditemukan pada usia anak sekolah.
Setidaknya, ada 32,98 persen anak usia sekolah dari jumlah sampel yang diteliti terinfeksi Mycoplasma pneumoniae. Sementara pada anak usia prasekolah sebesar 33,98 persen, usia anak balita sebesar 26,92 persen, dan bayi sebesar 4,24 persen.
Masyarakat diharapkan tetap waspada terhadap infeksi akibat bakteri tersebut. Akan tetapi, kewaspadaan itu jangan menjadi sebuah kepanikan. Infeksi bakteri ’Mycoplasma pneumoniae’ bukanlah penyakit baru, apalagi misterius.
Anggota staf Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Nastiti Kaswandani, dalam konferensi pers ”Waspada Ancaman Pneumonia Mycoplasma” pada Jumat (1/12/2023), menyebutkan, gejala akibat infeksi Mycoplasma pneumoniae umumnya ringan. Ketika gejala muncul biasanya ditandai dengan demam. Kemudian, gejala lain yang bisa muncul seperti batuk yang terjadi cukup lama, pilek, napas cepat, dan sesak napas.
Namun, anak yang terinfeksi Mycoplasma sering kali tidak menunjukkan tanda keparahan. Anak-anak masih bisa beraktivitas seperti biasa. Akan tetapi, jika pemeriksaan rontgen dilakukan akan terlihat kondisi yang cukup buruk. ”Itu sebabnya, infeksi Mycoplasma pneumoniae sering disebut sebagai walking pneumonia. Terjadi ketidaksesuaian antara gambaran rontgen yang parah dan gejala klinis yang tidak berat,” ujarnya.
Walaupun umumnya gejala tidak parah, pada kondisi tertentu masyarakat tetap perlu waspada. Infeksi Mycoplasma yang terjadi bersamaan dengan infeksi patogen lain seringkali membuat kondisi pasien menjadi buruk. Sekitar 26 persen pasien anak dengan pneumonia komunitas (community-acquired pneumonia/cap) memiliki koinfeksi, baik dengan virus maupun bakteri lain.
Adanya koinfeksi itu pula yang diperkirakan menjadi penyebab tingginya angka rawat inap pada anak yang terinfeksi Mycoplasma di China. Tata laksana yang diberikan pun tidak hanya untuk mengatasi infeksi Mycoplasma.
Nastiti menyebutkan, tata laksana pneumonia Mycoplasma yang diberikan kepada pasien anak tidak berbeda dengan pneumonia lainnya. Analisis tingkat keparahan perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat inap atau rawat jalan. Tata laksana penunjang lain dapat dipertimbangkan, seperti pemberian oksigenasi, terutama pada pasien yang mengalami sesak napas.
Pemberian antibiotik pada pasien harus sesuai panduan dengan memperhatikan usia, gambaran khas radiologis, serta temuan bakteriologis dari hasil tes cepat molekuler. Umumnya, antibiotik yang diberikan untuk jenis pneumonia atipikal, seperti infeksi Mycoplasma, yakni Clarithromycin ataupun Azithromycin.
Baca juga: Koinfeksi Penularan ”Mycoplasma pneumoniae” Memperburuk Kondisi Pasien
”Jika dalam 48-72 jam tanda klinis tidak membaik atau bahkan memburuk, dokter patut memikirkan adanya komplikasi. Pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan untuk melihat kondisi pasien,” kata Nastiti.
Ia pun menegaskan agar masyarakat tidak perlu panik dengan adanya kasus Mycoplasma pneumoniae di Indonesia. Penularan dan keparahan infeksi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan Covid-19, pneumokokus, dan influenza. Tingkat kematian pada kasus yang ditemukan juga rendah, sekitar 0,5 persen sampai 2 persen. Kematian itu juga biasanya ditemukan pada kasus koinfeksi antara infeksi Mycoplasma pneumoniae dan infeksi lainnya.
Untuk itu, Nastiti mengimbau agar orangtua bisa segera melengkapi status imunisasi anaknya. Imunisasi seperti PCV atau pneumococcal conjugate vaccine efektif mencegah penularan pneumonia akibat bakteri pneumokokus yang menjadi penyebab kematian tertinggi pada anak. Selain itu, imunisasi influenza juga bisa diberikan.
”Imunisasi lengkap pada anak memang tidak bisa mencegah infeksi Mycoplasma. Namun, jika terjadi koinfeksi, itu bisa melindungi anak agar tingkat keparahannya tidak menjadi lebih tinggi,” katanya.
Bakteri ”Mycoplasma pneumoniae”
Anggota Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Erlina Burhan, menuturkan, infeksi akibat bakteri Mycoplasma juga bisa terjadi pada usia dewasa. Akan tetapi, infeksi pada usia dewasa relatif ringan sehingga tidak sampai memburuk.
Ia menyebutkan, infeksi Mycoplasma pneumoniae sudah dikenal sebagai salah satu penyebab infeksi saluran pernapasan sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Insidensi infeksi bakteri tersebut di dunia pada 2017-2020 diperkirakan 8,61 persen. Angka tersebut semakin menurun menjadi 1,69 persen pada 2021 dan 0,7 persen pada 2022. Penurunan itu terjadi seiring dengan meningkatnya protokol kesehatan di era pandemi.
Bakteri Mycoplasma merupakan bakteri yang berukuran kecil dengan genom yang pendek sekitar 0,58 hingga 2,20 pasangan basa (Mb). Bakteri itu dapat ditularkan lewat cairan droplet melalui udara. Sebagai pemeriksaan penunjang, pemeriksaan hematologi, pemeriksaan kultur lewat tes usap, serta tes PCR (polymerase chain reaction) bisa dilakukan.
Baca juga: Infeksi ”Mycoplasma pneumoniae” Banyak Ditemukan pada Anak Usia Sekolah
Berbeda pada usia anak di bawah lima tahun, gejala infeksi Mycoplasma yang khas berupa batuk yang dapat memburuk dan bertahan hingga beberapa minggu. Gejala lain yang timbul juga terbilang ringan, seperti sakit tenggorokan, lemas, demam, dan nyeri kepala yang biasanya muncul 1-4 minggu setelah pasien terinfeksi bakteri.
”Yang terpenting saat ini adalah menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Itu menjadi kunci utama pencegahan penyakit infeksi Mycoplasma. Jaga kesehatan, tidak bepergian ketika sakit, menggunakan masker ketika sakit, serta segera periksa ke dokter jika ada gejala penyakit,” kata Erlina.